Pembaca yang budiman, pada bagian kedua tulisan ini telah dijelaskan tentang “Kedudukan ittiba’ dalam syariat Islam”, bahwa Ittiba’ mempunyai kedudukan yang tinggi dalam syariat Islam; merupakan syarat diterimanya ibadah, salah satu prinsip Islam, bukti cinta kepada Allah, jalan untuk mencapai cinta kepada Rasul yang sejati, cara melaksanakan perintah untuk mentaati Rasul dan cara menjauhi ancaman yang diberikan atas hal itu, merupakan sifat yang senantisa harus melekat pada orang-orang yang beriman, salah satu tanda ketakwaan, dan penyebab masuk Surga. Adapun bahasan pada bagian ketiga tulisan ini adalah tentang “Kaedah-kaedah penting mengenai Ittiba’.” Selamat membaca.

a. Agama Islam dibangun di atas dasar wahyu dan riwayat yang shahih, bukan akal dan istinbath. Apa yang datang kepada kita berupa perintah dan larangan dalam Kitabullah atau sunnah RasulNya kita wajib menerimanya dan bersegara menjalankannya, baik mengerjakan maupun meninggalkan.

Karena itu para salaf senantiasa menyesuaikan diri dengan nash-nash, dan mereka menghukumi seseorang berada pada jalan yang benar selama menetapi atsar. Az-Zuhri rahimahullah berkata, “Dari Allahlah risalah itu, tugas Rasul ialah menyampaikannya, dan kewajiban kita ialah menerimanya secara bulat (Shahih al-Bukhari ma’a al-Fath, 13/504)

Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata, menjelaskan pernyataan ath-Thahawi rahimahullah “Telapak kaki Islam tidak akan tegak melainkan di atas dasar penerimaan dan penyerahan”, yakni, belum mantap keislaman orang yang belum menerima nash-nash kedua wahyu serta tunduk kepadanya, tidak menentangnya, dan tidak mengkontradiksikannya dengan pendapatnya, akal dan analoginya (Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah, 1/219)

b. Wajib atas umat Islam untuk mencari hukum syar’i dan mengkaji keabsahannya sebelum mengamalkan dalam segala aspek kehidupannya, karena sabdanya, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka tertolak (HR.Muslim)

Mempraktekkan hal itu adalah hakikat ittiba’ dan mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Setiap orang yang mencari tugas-tugas syariat, padahal tugas-tugas tersebut tidak disyariatkan baginya, maka ia telah menentang syariat. Dan setiap orang yang membatalkan syariat maka amalannya batil. Kemudian barangsiapa mencari tugas-tugas agama, padahal tugas-tugas itu tidak disyariatkan, maka amalnya batil (al-Muwafaqat, 2/333)

c. Yang dimaksud dengan ittiba’ Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam ialah mengamalkan segala yang dibawanya berupa perintah dan larangan dalam al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengamalkan sunnahnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ، أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

Ketahuilah bahwa aku diberi al-Qur’an dan semisalnya bersamaan, ketahuilah bahwa aku diberi al-Qur’an dan semisalnya bersamaan (HR. Ahmad)

Atha’ rahimahullah berkata, “mentaati Rasul ialah mengikuti al-Qur’an dan sunnah (ad-Darimi, 1/77, no. 223)

As-Sa’di rahimahullah berkata, “ Apa yang dibawa oleh Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam maka para hamba harus mengambilnya dan mengikutinya serta tidak boleh menyelisihinya. Jika Rasul telah menashkan suatu hukum, seperti Allah menashkannya, maka tidak ada keringanan dan alasan bagi seseorang untuk meninggalkannya, serta tidak boleh mendahulukan ucapan seseorang atas ucapan Beliau (Tafsir as-Sa’diy, 7/333)

d. Apa yang ditinggalkan oleh Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam dari jenis peribadatan dan Beliau tidak pernah mengerjakannya, padahal itu bisa dilakukan pada masa Beliau, maka mengerjakannya adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah, seperti merayakan maulid Nabi dan sejenisnya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak (HR.Muslim)

Imam Malik rahimahullah berkata, “Apa yang pada saat itu bukan termasuk agama, maka pada hari ini bukan termasuk agama pula (al-I’tisham, asy-Syathibi, 1/49)

e. Segala yang dibutuhkan manusia mengenai prinsip-prinsip agama (ushul ad-Din) dan cabang-cabangnya, mengenai perkara dunia dan akhirat, berupa ibadah dan muamalat dalam perang dan damai, mengenai politik dan ekonomi dan seterusnya … syariat telah menjelaskannya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, artinya, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (Qs. An-Nahl : 89)

“ Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Qs. Al-Maidah : 3)

Seorang dari kaum musyrikin berkata kepada Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, “Apakah Nabimu telah mengajarkan kepadamu tentang segala sesuatu hingga masalah buang air? “ ia menjawab, ”ya.” Beliau melarang kami menghadap kiblat pada saat buang air besar atau buang air kecil (HR. Muslim)

f. Ittiba’ itu hanya terlaksana apabila suatu amalan sesuai dengan syariat dalam enam perkara, yaitu:

1. Sebab: Apabila manusia beribadah karena Allah dengan suatu ibadah yang dihubungkan dengan suatu sebab yang tidak disyariatkan, maka itu adalah bid’ah yang tertolak pada pelakunya. Misalnya, menghidupkan malam 27 Rajab dengan tahajjud karena mengklaim bahwa malam itu adalah malam Isra’ dan Mi’raj. Tahajjud pada asalnya adalah ibadah, tetapi ketika dihubungkan dengan sebab tersebut maka menjadi bid’ah, karena ia dibangun di atas sebab yang tidak sah secara syariat.

2. Jenis : Jika seorang beribadah kepada Allah dengan ibadah yang jenisnya tidak disyariatkan, maka itu tidak diterima, seperti berkorban kuda; karena binatang kurban hanya dari jenis binatang ternak yaitu unta, sapi dan kambing.

3. Kadar : Sekiranya manusia hendak menambah shalat sebagai fardhu, atau satu raka’at dalam fardhu, maka amalnya tersebut bid’ah yang tertolak; karena itu menyelisihi syariat dalam hal kadar atau jumlah.

4. Kaifiyah (tata cara) : Sekiranya seseorang mengurangi wudhu dan shalatnya, maka wudhu dan shalatnya tidak sah; karena amalannya menyelisihi syariat dalam hal tata cara.

5. Waktu : Sekiranya seseorang berkorban pada bulan Rajab, berpuasa Ramadhan pada bulan Syawwal, atau wukuf di Arofah pada sembilan Dzulqa’dah, maka perbuatannya tidak sah; karena menyelisihi syariat dalam hal waktu pelaksanaannya.

6. Tempat : Sekiranya seseorang beri’tikaf di rumahnya bukan di masjid atau wukuf pada tanggal sembilan Dzulhijjah di Muzdzalifah, maka amalan tersebut tidak sah; kerena menyelisihi syariat dalam hal tempat tempat pelaksanaannya (Lihat, al-Ibda’ fi Bayani Kamal asy-Syar’ wa Khathar al-Ibda’, Ibnu Utsaimin, hal. 21-22)

g. Prinsip dalam ibadah dalam kaitannya bagi mukallaf ialah beribadah dan imtitsal (melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan), tanpa mengindahkan hikmah dan makna yang terkandung di dalamnya, meskipun itu nampak dalam kebanyakan ibadah. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata menjelaskan hal itu, “kita wajib mengetahui bahwa apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya atau apa yang dilarang Allah dan RasulNya adalah hikmah, maka kita harus menerimanya. Kita katakan, ‘apabila seseorang bertanya kepada kita tentang hikmah mengenai suatu perkara : “Hikmah itu adalah perintah Allah dan RasulNya dalam segala yang diperintahkan serta larangan Allah dan RasulNya dalam segala yang dilarang. Dalilnya dari al-Qur’an ialah firman Allah ‘Azza wa Jalla, artinya, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (Qs. Al-Ahzab : 36)

Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya, “Mengapa wanita haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat ? ia menjawab, “Kami haid lalu kami diperintahkan supaya mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat (lihat, al-Bukhari ma’a al-Fath, 1/501 no. 321)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berargumen dengan sunnah dan tidak menyebutkan ilat (alasan)nya. Inilah hakekat penerimaan dan ibadah itu yaitu menerima perintah Allah dan RasulNya, baik hikmahnya diketahui maupun tidak diketahui (Asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’, 4/165-166)

Ini bukan berarti bahwa mencari hikmah dan makna yang terkandung dalam ibadah yang ditunjukkan oleh berbagai pertalian (qarinah) bukan suatu yang diperintahkan. Tetapi yang dimaksudkan ialah sebagai peringatan untuk tidak memaksakan diri mencari-cari hikmah tersebut, atau mengaitkan praktek dan pengamalan dengan pengetahuan akan hikmah tersebut.

h. Masyaqqah (keberatan) bukanlah tujuan dalam syariat. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang orang tua yang bernazar untuk berjalan kaki dengan dituntun di antara kedua anaknya, “Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan penyiksaan orang ini terhadap dirinya.” Beliau memerintahkannya supaya naik kendaraan (HR. Muslim, 3/1263 no. 1642)

Al-‘Izz bin Abdus Salam rahimahullah menjelaskan hal itu, “Tidak sah taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dengan kepayahan. Karena mendekatkan diri kepada Allah seluruhnya adalah pengagungan kepada Rabb, dan kepayahan itu sendiri bukan merupakan pengagungan dan penghormatan (Qawa-id al-Ahkam fiMashalih al-Anam, 1/30). Tetapi, tidak diragukan bahwa kepayahan (yang tidak disengaja) yang dialami oleh mukallaf karena sebab melaksanakan amal yang disyariatkan akan menambah pahalanya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, artinya, “Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskan bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih (Qs. At-Taubat: 120)

(Redaksi)

Sumber :
Ittiba’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Fii Dhau-i al-Qur’an Wa Sunnah, Faishal bin Ali al-Ba’dani, dalam “Huququ an-Nabiy Baina al-Ijlal Wa al-Ikhlal” (E.id, 130-136, dengan ringkasan)