Dari Shahabat mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    لا تقدموا رمضان بصوم يوم ولا يومين إلا رجل كان يصوم صوما فليصمه

”Janganlah kalian dahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari, kecuali seseorang yang memiliki kebiasaan berpuasa maka silahkan berpuasa.”(Muttafaq ‘alaihi, al-Bukhari (1914), dan Muslim (1082) dan redaksi hadits milik Imam Muslim)

Allah Yang Maha Bijaksana ingin membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan sehari-hari), dan juga ingin membedakan ibadah yang wajib dengan ibadah yang sunnah, supaya ada perbedaan di antara ha-hal tersebut.

Oleh sebab itu, Syari’at Islam melarang mendahului (menyambut) Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari dan yang semisalnya, supaya ia menjadi orang-orang yang benar-benar siap berpuasa di bulan Ramadhan. Kecuali barang siapa yang memiliki kebiasaan berpuasa, seperti puasa Senin Kamis, puasa Qadha’ jika waktunya telah sempit dan puasa nadzar yang wajib, maka baginya diperbolehkan puasa, karena puasanya berkaitan dengan sebab, berbeda dengan puasa sunnah Mutlak, maka minimal hukumnya makruh.”

Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini mengatakan:”Dalam hadits ini terdapat dalil dimakruhkannya memulai puasa satu hari atau dua hari sebelum memasuki Ramadhan dengan niat puasa sunnah, karena hal itu tidak masuk ke dalam rukhshah (keringanan yang diperbolehkan).”(Ihkamul Ahkam: 1/160)

Para Ulama berbeda pendapat tentang larangan yang ada dalam hadits ini, apakah larangannya menunjukkan haram atau makruh? Dan yang shahih adalah bahwa larangan tersebut bermakna haram, terlebih lagi pada hari-hari yang meragukan (akhir bulan Sya’ban), karena ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma berkata:

    مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يَشُكُّ فِيهِ النَّاسُ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Barang siapa yang berpuasa pada hari syak (yang diragukan, diragukan apakah satu Ramadhan atau 30 Sya’ban) maka dia telah durhaka terhadap Abu Al-Qasim (Rasulullah) shallallahu alaihi wasallam.” (HR. Abu Daud no. 1987, At-Tirmizi no. 686, An-Nasai no.2159, dan Ibnu Majah no. 1635)

Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah berkata:”Di dalamnya (dalam hadits ini) ada dalil yang menunjukkan bahwa puasa (sunnah) yang telah menjadi kebiasaan, jika waktunya bertepatan dengan satu atau dua hari sebelum Ramadhan boleh dilakukan, dan hal itu tidak masuk ke dalam larangan (yang ada dalam hadits ini), sama saja apakah puasa yang menjadi kebiasaannya tersebut degan nadzar, atau sukarela tanpa nadzar, maka keduanya masuk ke dalam keumuman sabda beliau:”Kecuali seseorang yang memiliki kebiasaan berpuasa.””

Hikmah dari larangan:

Pertama:Untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan lainnya, maka ibadah sunnah harus dibedakan dengan ibadah yang wajib.

Kedua:Larangan untuk berbuat ghuluw (berlebih-lebihan dan ekstrim), sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

    إياكم والغلو في الدين ، فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين . رواه النسائي وابن ماجه .

”janganlah kalian bersikap ghuluw (ekstrim) dalam beragama, karena yang membinasakan ummat sebelum kalian adalah ghuluw dalam beragama.”(HR. an-Nasaa’i, dan Ibnu Majah)

Dan ini bukanlah termasuk bentuk ihtiyath (kehatian-hatian). Di antara hal-hal yang menunjukkan bahwa kaidah ihtiyath tidak bisa diamalkan secara mutlak, karena jika engkau mengambil sikap hati-hati dalam setiap masalah, niscaya engkau akan mengambil pendapat yang paling keras. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    إن الدِّين يُسر ، ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه ، فسددوا وقاربوا . رواه البخاري .

” Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah seseorang berlebih-lebihan dalam urusan agama melainkan agama akan mengalahkannya, oleh karena itu berusahalah untuk tepat dalam beragama, dan dekatkanlah (miripkanlah).” (HR.Al-Bukhari)

Adapun pembedaan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain, dalam artian pembedaan ibadah yang wajib dengan ibadah sunnah, maka tidak hanya berlaku pada puasa saja. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam Shahihnya dari ‘Umar bin ‘Atha bahwasanya Nafi’ bin Jubair rahimahullah mengutusnya kepada Sa’ib bin Ukhti Namir menanyakannya tentang sesuatu yang dia lihat dari Mu’awiyyah radhiyallahu ‘anhu dalam shalat beliau, maka beliau berkata:”Ya. Aku pernah shalat jum’at bersama beliau di daerah Maqshurah, ketika imam salam aku langsung bangun di tempatku lalu aku shalat. Ketika dia masuk dia berkata kepadaku:”Jangan engkau ulangi, jika engkau shalat jum’at maka janganlah menyambungnya dengan shalat lain, sebelum engkau berbicara atau keluar. Karena sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami dengan hal itu, yaitu supaya kami tidak menyambung satu shalat dengan shalat yang lainnya sampai dia berbicara atau keluar.” (HR. Muslim)

Maka puasa Ramadhan tidak didahului oleh puasa satu atau dua hari sebelumnya, dan juga tidak disambung dengan puasa enam hari bulan Syawwal, akan tetapi puasa Ramadhan dipisahkan dengan puasa enam hari dengan hari raya ‘Idul fithri.

Pelajaran dari hadits:

1. Larangan mendahului puasa Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari sebelumnya

2. Dikecualikan dari larangan tersebut orang-orang yang memiliki kebiasaan atau, yang mana kebiasaan puasanya bertepatan dengan hari sebelum Ramadhan, seperti orang yang terbiasa puasa Senin Kamis

3. Di antara hikmah dari larangan tersebut adalah untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan yang lain, yang mana dalam hal ini puasa wajib harus dibedakan dengan puasa sunnah. Dan juga termasuk hikmah dari larangan ini adalah supaya seorang muslim benar-benar siap dan bersemangat untuk menghadapi Ramadhan, dan supaya puasa benar-benar menjadi ciri khas dari bulan mulia yang dibedakan ini.

4.Keutamaan bagi orang-orang yang terbiasa menjaga ibadah-ibadah sunnah. Yang mana dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah memberikan peluang/membolehkan berpuasa melanikan bagi orang-orang yang terbiasa berpuasa.

Renungan

Puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun kedua Hijriyah, ia adalah rukun Islam yang keempat, dan menurut sebagian ulama adalah rukun kelima, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam al-Bukhari. Karena sesungguhnya Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dengan redaksi:

  بُني الإسلام على خمس : شهادةِ أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله ، وإقامِ الصلاة ، وإيتاء الزكاة ، والحج ، وصومِ رمضان .

”Islam dibangun di atas lima hal; Syahadat (persaksian) tidak ada Ilah (sesembahan yang hak disembah) melainkan Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan.”

Dan yang perlu dicermati di sini adalah bahwa ummat Islam sangat antusias (perhatian) terhadap puasa dan bulan puasa (Ramadhan), dan itu bukanlah sesuatu yang aneh. Akan tetapi, menjadikan antusiasnya terhadap ibadah yang diwajibkan pada tahun kedua hijriyyah (puasa) lebih besar daripada antuisiasnya terhadap ibadah yang diwajibkan pada tahun sebelum hijriyah, dan bahkan ia diwajibkan langsung kepada Nabi di langit ketujuh ketika Isra’ Mi’raj, maka ini sungguh merupakan hal yang sangat mengherankan.

(Sumber: Disarikan dari beberapa kitab syarah Umdatul Ahkam, seperti Ihkamu al-Ahkam karya Ibnu Daqiqil I’ed rahimahullah, Taisir Alam karya Syaikh ‘Abdurrahman Ali Bassaam, syarh Umdatul Ahkam karya Syaikh Abdurrahman bin ‘Abdillah as-Suhaim di http://al-ershaad.com/vb4/showthread.php?t=6828 dan yang lainnya. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)