Kedudukan Bulan Muharram

Sesungguhnya bulan Muharram adalah bulan yang mulia dan penuh berkah, ia adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah dan salah satu bulan dari Asyhurul Hurum (bulan-bulan mulia). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

{إنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ} [التوبة:36].

”Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu,dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At-Taubah: 36)

Dan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

«.. السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ: ثَلاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ» [رواه البخاري 2958]

“Sesungguhnya zaman berputar sebagai mana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhari 2958)

Dinamakan bulan haram karena ia adalah bulan yang mulia dan sangat dimuliakan.

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

{فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ}

” Maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu,…” (QS. At-Taubah: 36)

Maksudnya adalah janganlah menganiaya diri (melakukan dosa-dosa) pada bulan-bulan tersebut, karena kemaksiatan pada bulan-bulan itu dosa-dosanya lebih besar dan lebih buruk.

Qatadah rahimahullah berkata dalam menafsirkan firman Allah ini:”Sesungguhnya kezhaliman (kemaksiatan) pada bulan-bulan ini lebih besar dosa dan kesalahannya dibandingkan dengan kezhaliman di bulan-bulan selainnya, sekalipun kezhaliman kapanpun adalah sesuatu yang besar (dosanya). Akan tetapi Allah membesarkan urusan-Nya sesuai kehendak-Nya.”

Beliau juga berkata:”Sesungguhnya Allah memilih pilihan-pilihan di antara makhluknya; Memilih utusan-utusan di antara para Malaikat-Nya, memilih utusan-utusan juga dari kalangan manusia. Memilih dzikir-dzikir tertentu di antara ucapan-ucapan manusia, memilih masjid di antara bagian Bumi yang lainnya, memilih Ramadhan dan bulan-bulan haram, memilih hari jum’at, dan memilih malam lailatul Qadr di antara malam-malam lainnya. Maka agungkanlah apa-apa yang diagungkan oleh Allah. Maka sesungguhnya engkau mengagungkan perkara-perkara, dengan apa-apa yang dengannya Allah mengagungkan orang yang berilmu dan berakal.” (Tafsir ayat 36 dari surat At-Taubah Tafsir Ibnu Katsir)

Keutamaan Memperbanyak Berpuasa Sunnah Di Bulan Muharram

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

«أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ» [رواه مسلم 1982].

”Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah (bulan) Muharram.” (HR. Muslim no. 1982)

Sabda beliau “bulan Allah” adalah bentuk penyandaran (penisbatan) kata bulan kepada lafazh Allah, dan itu adalah penyandaran dalam rangka pengagungan/pemuliaan (terhadap bulan tersebut). Al-Qari berkata:”Secara zhahir (makna yang nampak) adalah bahwa yang dimaksud adalah satu bulan Muharram penuh” (Maksudnya puasa Nabi)

Akan tetapi telah valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau tidak pernah berpuasa satu bulan penuh selain di bulan Ramadhan. Maka hadits ini dibawa kepada makna anjuran untuk memperbanyak berpuasa pada bulan Muharram, bukan berpuasa di bulan Muharram satu bulan penuh.

Dan telah valid dalam hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, dan mungkin saja tidak diwahyukan kepada beliau tentang keutamaan bulan Muharram kecuali di akhir hayat (kehidupan) beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sebelum beliau memiliki kesempatan untuk melakukannya. (Syarah Shahih Muslim)

Allah Mengistimewakan Waktu Dan Tempat Yang Dia Kehendaki

Al-‘Izz bin ‘Abdussalam rahimahullah berkata:”Pengunggulan tempat-tempat tertentu (dibandingkan dengan tempat lain) atau waktu-waktu tertentu (dibandingkan yang lainnya) ada dua macam:Yang Pertama adalah bersifat duniawi, seperti Allah mengunggulkan musim semi dibandingkan musim-muslim lainnya, seperti pengunggulan sebagian Negeri dibandingkan negeri-negeri yang lainnya dengan keberadaan macam bunga-bunga, buah-buahan dan cuaca yang baik yang sesuai dengan keinginan manusia. Yang Kedua bersifat diini (agama), ia kembali kepada Allah yang bersikap dermawan (murah) terhadap hamba-hamba-Nya dengan melipatgandakan pahala di dalamnya. Seperti pengunggulan puasa Ramadhan dibandingkan puasa pada bulan-bulan lain, puasa pada hari Asyuraa’, 10 Dzulhijjah(10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah kecuali tanggal 10-ed), dan 6 hari di bulan Syawwal. Maka keutamaannya kembali kepada kebaikan Allah dan kemurahan-Nya kepada para hamba-hamba-Nya di dalamnya.” (Qawaaidul Ahkam: 1/38)

Hari Asyuraa’ Dalam Sejarah

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة فرأى اليهود تصوم يوم عاشوراء فقال: «مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ، هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى، قال: فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ»

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa di hari ‘Asyuraa’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya:“Hari apa ini?” Mereka (orang-orang Yahudi) menjawab:“Ini adalah hari baik, hari ini hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa ‘alaihissalam berpuasa pada hari ini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Maka aku lebih berhak mengikuti Musa dibandingkan kalian (kaum Yahudi).” Lalu beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummatnya untuk berpuasa (di hari itu)” (HR Al Bukhari)

Sabda beliau «هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ» (ini hari yang baik) dalam riwayat imam Muslim rahimahullah disebutkan:

«هذا يوم عظيم أنجى الله فيه موسى وقومه وغرّق فرعون وقومه»

”Ini adalah hari yang agung, pada hari itu Allah menyelamatkan Musa ‘alaihissalam dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya”

Sabda beliau: «فصامه موسى» (lalu Musa ‘alaihissalam berpuasa (di hari itu)), imam Muslim rahimahullah menambahkan di dalam riwayatnya:

«شكراً لله تعالى فنحن نصومه»

”Dalam rangka bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kami juga berpuasa.”

Dalam riwayat imam Al-Bukhari rahimahullah disebutkan:

«ونحن نصومه تعظيماً له»

”Dan kami berpuasa (di hari itu) untuk memuliakannya.”

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam «وأمر بصيامه» (dan beliau memerintahkan untuk berpuasa), dalam riwayat imam Al-Bukhari rahimahullah disebutkan:

«فقال لأصحابه: أنتم أحق بموسى منهم فصوموا».

”Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada para Shahabatnya:”Kalian lebih berhak terhadap Musa dibandingkan mereka, maka berpuasalah.”

Dan puasa ‘Asyuraa’ sudah dikenal semenjak dahulu, sampai-sampai di zaman Jahiliyah sebelum diutusnya Nabi juga mengenalnya. Telah valid hal tersebut dari ucapan ’Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa dia berkata:

«إن أهل الجاهلية كانوا يصومونه»

”Bahwasanya masyarakat Jahiliyyah dahulu terbiasa berpuasa di hari itu.”

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata:”Mungkin orang-orang Quraisy menyandarkan puasa tersebut kepada syari’at ummat yang telah lalu, seperti Ibrahim ‘alaihissalam dan telah valid juga bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan puasa pada hari itu di Mekah sebelum hijrah ke Madinah. Lalu ketika hijrah beliau mendapati orang-orang Yahudi merayakan hari tersebut. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada mereka tentang sebab hal itu. Lalu mereka menjawab sebagaimana dalam hadits yang lalu. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi mereka di dalam menjadikannya sebagai hari raya sebagaimana dalam hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu“:

«كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَعُدُّهُ الْيَهُودُ عِيدًا»

”Dahulu hari ‘Asyuraa’ dijadikan hari raya oleh orang-orang Yahudi.” Dalam riwayat Muslim:

«كان يوم عاشوراء تعظمه اليهود تتخذه عيدا»

”Dahulu hari ‘Asyuraa’ diagungkan oleh orang-orang Yahudi, mereka menjadikannya hari raya.” Dan dalam riwayat lain:

«كان أهل خيبر (اليهود) يتخذونه عيدا، ويلبسون نساءهم فيه حليهم وشارتهم». ققال النبي صلى الله عليه وسلم: «فَصُومُوهُ أَنْتُمْ» [رواه البخاري].

”Dahulu orang-orang Khaibar (orang-orang Yahudi) menjadikannya hari raya, mereka mengenakan perhiasan pada wanita-wanita mereka. lalu, nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, oleh karena itu, hendaklah kalian berpuasa.”

Puasa ‘Asyuraa’ hukumnya sunnah, bukan wajib
Puasa ‘Asyuraa’ hukumnya sunnah, bukan wajib sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

[ إن عاشوراء يوم من أيام الله فمن شاء صامه و من شاء تركه ] رواه مسلم وغيره من حديث ابن عمر رضي الله عنهما

”Sesungguhnya ‘Asyuraa’ adalah salah satu Ayyamillah (hari-hari Allah), maka barangsiapa yang mau silakan berpuasa dan barangsiapa yang mau meninggalkannya.”(HR. Muslim dan lainnya dari hadits Ibnu’Umar radhiyallahu’anhuma)

Hari ‘Asyuraa’ termasuk salah satu Ayyamillah (hari-hari Allah), dikarenakan pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan Musa ‘alaihissalam dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Hal itu sebagaimana telah valid dalam hadits Shahih Muslim dan lainnya.

Puasa ‘Asyuraa’ menghapuskan dosa satu tahun

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam:

وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

”Puasa hari ‘Asyuura saya memohon kepada Allah agar menjadikannya sebagai penebus (dosa) satu tahun sebelumnya.” (HR Muslim)

Namun apakah puasa ‘Asyuura menghapus dosa besar (al-Kabair) atau hanya dosa kecil saja?

Jawabnya:

Bahwasanya shalat dan puasa Ramadhan yang lebih mulia dan lebih agung dari hari ‘Asyuura, namun demikian Nabi bersabda:

[ الصلوات الخمس و الجمعة إلى الجمعة و رمضان إلى رمضان مكفرات لما بينهن إذا اجتنبت الكبائر ] رواه مسلم والترمذي

“(antara) Sholat lima waktu (yang satu dengan berikutnya), Jumat dengan Jumat, Ramadhan dengan Ramadhan, sebagai penghapus dosa di antaranya jika dosa-dosa besar ditinggalkan “ (HR. Muslim dan at-Tirmidzi)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:Dan penghapusan dosa yang dilakukan karena thaharah (bersuci), shalat, puasa Ramadhan, puasa ‘Arafah dan puasa ‘Asyuraa’ adalah untuk dosa-dosa kecil saja, dan demikian pula haji, karena shalat dan Ramadhan lebih mulia daripadanya.”( Fatawaa al-Kubra jilid 3 halaman 428 dan Al-Ikhtiyaaraat halaman 65)

Imam Nawawi rahimahullah berkata:”Puasa hari ‘Arafah menghapus semua dosa-dosa kecil, dan maksudnya diampuni semua dosa-dosanya kecuali dosa-dosa besar. Adapun dosa besar maka dia membutuhkan taubat secara khusus.”

Maka kami nasehatkan kepada saudara-saudara sekalian untuk bersegera bertaubat dan menyesali dosa-dosanya sebelum nyawa sampai ditenggorokan, karena orang yang bertaubat dari dosa-dosanya seperti orang yang tidak memiliki dosa.

Disunnahkan puasa tanggal 9 Muharram dan 10 Muharram

Dalilnya adalah Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma:

[ لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع ]رواه مسلم م2ص798 برقم1134 كتاب الصيام ورواه غيره

”Seandainya aku masih hidup pada tahun mendatang, niscaya aku akan berpuasa tanggal sembilan.”(HR. Imam Muslim, jilid 2 halaman 798 no 1134 kitab Ash-Shiyam dan diriwayatkan pula oleh selainnya)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari (4/245) ketika mengomentari hadits di atas:Apa yang beliau inginkan berupa puasa tanggal 9 (muharram) kemungkinan maknanya adalah tidak mencukupkan hanya puasa hari itu saja, akan tetapi beliau gabungkan dengan puasa tanggal 10, bisa jadi sebagai bentuk kehati-hatian, atau bisa jadi sebagai bentuk penyelisihan terhadap Yahudi dan ini pendapat yang lebih kuat. Dan ini yang diisyaratkan oleh sebagian riwayat Muslim yang lain.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagaimana dalam Fatawaa al-Kubra (2/259) berkata:”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang bertasyabbuh (menyerupai-ed) Ahli Kitab dalam hadits-hadits yang banyak, seperti sabda beliau:’ Seandainya aku masih hidup pada tahun mendatang, niscaya aku akan berpuasa tanggal sembilan.’

Dalam riwayat yang lain Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata:

حين صام رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء، وأمر بصيامه، قالوا: يا رسول اللَّه إنه يوم تعظّمه اليهود والنصارى؟ فقال رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم : فإذا كان العام القابل – إن شاء اللَّه – صمنا اليوم التاسع، قال: فلم يأت العام المقبل، حتى توفي رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم .

”Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa Asyuraa’, dan memerintahkan Sahabat untuk berpuasa, mereka berkata:’Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:’Apabila kita berjumpa dengan tahun depan -Insya Allah- kita akan berpuasa di tanggal sembilan.’ Ibnu ‘Abbas berkata:’Maka tidak datang tahun depan hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat.’”(HR.Muslim 1134, Abu Dawud 2/327 no hadits 2445, Ahmad 1/236 dll)

Dan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“صوموا يوم عاشوراء، وخالفوا فيه اليهود، صوموا قبله يوماً، أو بعده يوماً” .

”Berpuasalah hari ‘Asyuraa’ (10 muharram), dan selisihilah orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sesudahnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah 2095, al-Baihaqi 4/287. Ibnu ‘Ady rahimahumullah dalam al-Kamil 3/956 dari jalur riwayat Hasyim bin Basyir, dan masih ada beberapa jalur riwayat yang lain.

Hadits ini dibawakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah secara marfu’ dan beliau mendiamkan hadits ini (tidak mengomentarinya-ed) dalam Talkhisul Habir, dan dibawakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah secara marfu’ juga dan beliau mendiamkan hadits ini (tidak mengomentarinya-ed) di kitab Zaadul Ma’ad. Akan tetapi asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam Nailul Authar :”Riwayat Ahmad ini dha’if (lemah) dan munkar dari jalur Dawud bin ‘Ali dari bapaknya dari kakeknya, dan Ibnu Abi Laila meriwayatkannya dari Imam Ahmad.”Dan Syaikh al-Albani rahimahullah menguatkan pendapat tentang dha’ifnya riwayat tersebut, dan beliau menyebutkannya dalam kitab Dha’if al-Jami’ ash-Shaghir.

Akan tetapi telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma secara mauquf

“صوموا التاسع والعاشر، خالفوا اليهود” وإسناده صحيح، وقد صححه ابن رجب في “اللطائف” ص(108.

”Puasalah tanggal sembilan dan sepuluh (muharram), selisihilah orang Yahudi.” Dan sanadnya shahih. Ibnu Rajab rahimahullah dalam al-Lathaif halaman 108 menshohihkannya.

Sebagian Imam Mengamalkan Hadits Ini

Mereka mensunahkan puasa tanggal sembilan dan sepuluh (muharram), lebih-lebih Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa tanggal sepuluh dan meniatkan puasa tanggal sembilan. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam al-Mughni (4/441):”Apabila telah valid (tetap) riwayat ini, maka disunnahkan puasa tanggal sembilan dan sepuluh (muharram) karena hal itu –maksudnya tidak adanya tasyabuh dengan Yahudi- Imam Ahmad menyatakan hal itu dan itu adalah perkataan Ishaq.”sampai di sini perkataan Ibnu Qudamah rahimahullah

Imam Ahmad berkata dalam riwayat al-Atsram:”Dalam masalah ‘Asyuraa’ aku berpendapat: Berpuasa tanggal sembilan dan sepuluh (muharram), berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma.”

Tingkatan puasa ‘Asyuraa’

Berdasarkan hal ini, maka Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’ad (2/72) dan Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul bari (4/246) menyebutkan bahwa puasa ‘Asyuraa’memiliki 3 tingkatan:

Pertama: Yang paling sempurna adalah berpuasa sebelumya sehari dan sehari setelahnya (jadi tiga hari-ed), kedua berpuasa tanggal 9 dan 10 dan yang terakhir berpuasa tanggal 10 saja.

Tidak mengapa hanya berpuasa pada tanggal 10 saja.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:”Puasa hari ‘Asyuraa’ adalah penghapus dosa setahun, dan tidak dimakruhkan berpuasa hanya pada hari itu (10 muharram) saja.” (Al-Ikhtiyaaraat halaman 10)

Ibnu Hajar al-Haitsami rahimahullah berkata:”Dan tidak mengapa menyendirikan hari ‘Asyuraa’ (10 Muharram) dengan berpuasa (maksudnya tidak disertai dengan tanggal 9 atau 11)” (Tuhfatul Muhtaj)

Lajnah Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’ yang dipimpin al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata:”Boleh berpuasa hari ‘Asyura satu hari saja, akan tetapi yang lebih utama adalah ditambah puasa sehari sebelumnya atau sesudahnya. Dan ini adalah sunnah yang telah valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sabda beliau:

[ لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع ]رواه مسلم

”Seandainya aku masih hidup di tahun mendatang, sungguh aku akan berpuasa tanggal sembilan.”(HR. Imam Muslim)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhumaberkata:”Maksudnya disamping puasa tanggal 10 muharram.” Dan Allahlah yang Maha memberi taufiq. (Fatawaa Lajnah Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’ jilid 10 halaman 401)

Lalau Bagaimana Jika Hari Asyuraa’ Bertepatan Dengan Hari Sabtu?

Untuk menjawab pertanyaan di atas mari ikuti pembahasan berikut, Insyaa Allah akan kita dapatkan jawabannya.

Dari ash-Shamma’a binti Busr radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

{ لا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إلاَ فِيمَا اُفْتُرِضَ عَلَيْكُمْ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إلَّا لِحَاءَ عِنَبٍ أَوْ عُودَ شَجَرَةٍ فَلْيَمْضُغْهَا } رَوَاهُ الْخَمْسَةُ وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ إلَّا أَنَّهُ مُضْطَرِبٌ وَقَدْ أَنْكَرَهُ مَالِكٌ وَقَالَ أَبُو دَاوُد : هُوَ مَنْسُوخٌ. قال أبو عيسى هذا حديث حسن ومعنى كراهته في هذا أن يخص الرجل يوم السبت بصيام لأن اليهود تعظم يوم السبت

”Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan bagi kalian. Jika salah seorang di antara kalian tidak mendapatkan (makanan untuk berbuka) kecuali kulit anggur atau ranting pohon, maka hendaklah ia mengunyahnya.”
(HR. al-Khomsah (Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasaa’i dan Ibnu Majah rahimahumullah), dan rijal (perawinya) tsiqat/kredibel, hanya saja ia adalah hadits yang mudhtharib, dan dingkari (dikatakan munkar) oleh Imam Malik rahimahullah dan Abu Dawud rahimahullah berkata:”ia mansukh (dihapus hukumnya).”. Imam at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini hasan, dan maknanya adalah makruh bagi seseorang untuk mengkhususkan hari sabtu dengan berpuasa, karena orang Yahudi mengagungkan hari sabtu)

Penilaian Para Ulama Terhadap Hadits ini:

Para ulama ahli hadits berbeda pendapat dalam menilai hadits ini, berikut beberapa penilaian mereka rahimahumullah

Al-Mubar Kafury rahimahullah berkata:”Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim sesuai syarat al-Bukhari.” Imam an-Nawawi berkata:”Telah dishahihkan oleh para imam”. Demikian yang ada dalam kitab al-Mirqah.

Syaikh Abdurrahman Al-Bassam menshahihkan hadits ini dalam Taudhihul Ahkam syarh Bulughul Maram. Adapun Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Alu Humaid mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Syaikh Syu’aib al-Arnauth dalam ta’liqnya terhadap Musnad Ahmad berkata:”Rijal (para perawinya tsiqah, hanya saja dia memiliki ‘illah (cacat) disebabkan idhthirab (goncang) dan mu’aradhah (menyelisihi hadits-hadits lain) ”

Al-Mubar Kafury rahimahullah berkata:”Imam Abu Dawud rahimahullah berkata dalam kitab Sunan Abi Dawud:”Hadits ini mansukh.” Dan di dalamnya ia juga berkata:”Imam Malik berkata:’Ini adalah dusta.”.

Imam al-Mundziri rahimahullah berkata:”Hadits ini diriwayatkan dari hadits ‘Abdullah bin Busr dan dari hadits bapaknya, yaitu Busr dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dari hadits ash-Shamma’a dari’Aisyah radhiyallahu ‘anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Imam an-Nasa’i rahimahullah berkata:’Haidits-hadits ini mudhtharib (goncang/saling bertentangan).’” sampai di sini perkataan Imam al-Mundziri rahimahullah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam at-Talkhish berkata:”Imam al-Hakim berkata:”Ada hadits lain dengan sanad shahih yang menyelisihi hadits ini, kemudian diriwayatkan dari Kuraib bahwasanya sejumlah Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusnya untuk menemui Umi Salamah radhiyallahu ‘anha agar ia bertanya kepada Umi Salamah tentang hari-hari di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak berpuasa, maka beliau (Umi Salamah) mengatakan bahwa hari itu adalah hari sabtu dan ahad (minggu). Lalu aku (Kuraib) kembali kepada mereka (para Shahabat). Lalu mereka semua bangkit dan menanyakannya langsung kepada Umi Salamah radhiyallahu ‘anha dan beliau membenarkannya.”

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan (tentang hari sabtu dan ahad), sesungguhnya keduanya adalah hari raya bagi orang-orang Musyrik, maka aku ingin menyelisihi mereka. Dan diriwayatkan oleh an-Nasaa’i, al-baihaqi dan Ibnu Hibban. Dan Imam at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa dalam satu bulan pada hari sabtu, ahad, senin dan …sampai akhir hadits.”

Penjelasan Hadits:

Berikut ini beberapa penjelasan Ulama ahli hadits seputar hadits ini:

Al-Mubar Kafury rahimahullah berkata dalam Tuhfatul Ahwadzi:” Ath-Thayyibi rahimahullah berkata:”Mereka (para Ulama) berkata bahwa larangan tersebut adalah dengan menyendirikannya (dengan berpuasa) sebagaimana pada hari jum’at. Dan maksud dari larangan tersebut adalah untuk menyelisihi orang Yahudi. Dan larangan itu menurut jumhur ulama adalah larangan tanzih (makruh).”

Saya (Al-Mubar Kafury) berkata:”Hadits-hadits ini (maksudnya: hadits di atas dan hadits Umu Salamah yang menjelaskan bahwa Nabi banyak berpuasa pada hari sabtu dan ahad sebagaimana dalam riwayat Imam Ahmad dan an-Nasa’i serta hadits-hadits lain yang mengindikasikan bolehnya puasa hari jum’at kalau digabung dengan hari sebelumnya atau setelahnya (sabtu)) bisa digabungkan dengan mengatakan bahwa larangan itu ditujukan bagi orang yang berpuasa di hari sabtu dengan menyendiri (tidak digabung dengan hari lain), dan bolehnya berpuasa bagi yang menggabungkanya dengan hari sebelumnya atau sesudahnya. Yang menguatkan hal ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengizinkan bagi orang yang melakukan berpuasa hari jum’at untuk melakukan puasa pada sari sabtu setelahnya (setelah jum’at). Maka menggabungkan beberapa dalil selama masih memungkinkan lebih utama daripada mengatakan bahwa salah satunya mansukh/dihapus. Dan adapun alasan hadits itu mudhtharib maka mungkin bisa dibantah dengan apa yang dikatakan oleh al-Hafizh dalam Talkhish al-Habir. Adapun perkataan Imam Malik rahimahullah bahwa hadits itu dusta, maka tidak nampak bagiku sisi kedustaannya. Wallahu Ta’ala A’lam.”

Dalam ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Syaikh Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadi (penulis kitab tersebut) berkata:”Ath-Thayyibi rahimahullah berkata:”Mereka (para Ulama) berkata bahwa larangan tersebut adalah dengan menyendirikannya (dengan berpuasa) sebagaimana pada hari jum’at. Dan maksud dari larangan tersebut adalah untuk menyelisihi orang Yahudi. Dan larangan itu menurut jumhur ulama adalah larangan tanzih (makruh). Adapun kata افترض (difardhukan) maka ia mencakup makna wajib, sunnah, qadha’, puasa kafarah dan yang semakna dengan itu adalah apabila bertepatan dengan puasa sunnah muakkadah, seperti puasa ‘Arafah, ‘Asyuraa’ atau puasa rutinnya (misal senin kamis). Dan Ibnu Malik menambahkan dan sepuluh dzulhijjah, atau di puasa yang terbaik yaitu puasa Dawud. Dan bahwasanya larangannya (larang puasa sabtu) adalah kalau kita terlalu serius memperhatikannya dan menjaganya (dalam mengamalkannya), sehingga seolah-olah ia menganggapnya wajib sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi.”

Ath-Thayyibi berkata:”Jumhur ulama sepakat bahwa larangan ini dan larangan menyendirikan berpuasa hari jum’at adalah makruh bukan haram.”

Dan hadits ini telah dikritisi oleh sejumlah imam, seperti Imam Malik bin Anas, Ibnu Syihab az-Zuhri, dan an-Nasaa’i. Dan jangan terpedaya dengan pernyataan Imam at-Tirmidzi yang mengatakan hadits tersebut hasan, atau Imam al-Hakim yang mengatkannya shahih. Dan jika memang benar hasan maka tidak bisa menentang hadits Juwairiyyah binti al-Harits radhiyallahu ‘anha yang disepakati keshahihannya oleh Syaikhani (al-Bukhari dan Muslim)

Imam as-Suyuthi rahimahullah dalam Syarah sunan Ibnu Majah berkata:”Janganlah kalian berpuasa hari sabtu” maksud dari larangan itu adalah menyendirikan puasa pada hari sabtu, bukan larangan puasa secara mutlak, karena ada hadits Umi Salamah radhiyallahu ‘anha, yang mana dia berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يصوم يوم السبت ويوم الأحد أكثر ما يصوم من الأيام ويقول انهما يوما عيد للمشركين فانا أحب ان اخالفهم رواه أحمد

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari sabtu dan ahad lebih banyak dibandingkan pada hari-hari lainnya, dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa keduanya adalah hari raya orang musyrik dan aku ingin menyelisihi mereka (HR. Ahmad)

Maka yang lebih utama adalah dengan mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita untuk meninggalkan puasa pada hari sabtu supaya tidak menunjukkan pengagungan terhadap hari tersebut dengan puasa. Dan di dalamnya ada penyelisihan terhadap orang yahudi, sekalipun mereka tidak berpuasa untuk merayakan hari raya mereka, tapi mereka (yahudi) mengagungkan hari raya mereka dengan cara yang lain. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada dua hari itu (sabtu dan ahad) untuk menyelisihi mereka. Dan kesimpulannya adalah sebab larangan adalah suatu masalah dan sebab perbuatan adalah masalah lain.

Ath-Thahawi rahimahullah beliau adalah salah seorang ahli hadits dari kalangan madzhab Hanafiah berkata dalam Syarh Ma’anil Atsar:”Berpuasa pada hari sabtu dibolehkan menurut kami .Sesungguhnya larangan puasa tersebut adalah agar tidak mengagungkan hari sabtu,sehingga orang menahan makan,minum,jima’ pada hari itu seperti yang dilakukan kaum Yahudi. Namun jika orang berpuasa bukan untuk mengagungkannya dan tidak bermaksud meniru kaum Yahudi maka hal itu tidak dimakruhkan.”

Imam Nawawi rahimahullah, beliau adalah salah seorang ulama ahli hadits dari kalangan madzhab Syafi’iyyah berkata dalam Al-Majmu’:”Dan yang benar dalam masalah yang telah kami paparkan dari sahabat kami, yakni dimakruhkan berpuasa pada hari sabtu saja jika tidak bertepatan dengan puasa rutin berdasarkan hadist ash-Shama’.”

Syaikh Musthafa al-‘Adawi hafizhahullah di dalam kitab beliau Mafatiihul Fiqh fiid Diin menjelaskan akan bolehnya berpuasa hari sabtu. Dan beliau mengharuskan kita untuk mengumpulkan nash-nash dalam suatu masalah yang sama sebelum menghukumi sesuatu. Jangan hanya melihat satu hadits ia mengharamkan atau menghalalkan sesuatu, sebelum ia melihat nash-nash yang lain yang berseberangan dengan nash tersebut.

Beberapa Hadits Yang Mengindikasikan Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Berpuasa Pada Hari Sabtu

Hadits dari Juwairiyyah binti Harits radhiyallahu ‘anha:

أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل عليها يوم الجمعة وهي صائمة فقال أصمت أمس قالت لا قال تريدين أن تصومي غدا قالت لا قال فأفطري .

”Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke juwairiyah pada hari Jum’at, sedang dia (yakni : juawairiyah-ed) sedang berpuasa, lalu beliau bertanya kepadanya :“Apakah kemarin engkau berpuasa?” Ia menjawab:”Tidak.”. Nabi berkata lagi:“Apakah engkau ingin berpuasa besok (Sabtu)?” Ia menjawab:”Tidak.” Nabi bersabda:“(Kalau demikian) batalkan puasamu.” (hadits ini shahih diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Abu Dawud)

Dalam hadits di atas Nabi membolehkan Juwairiyyah berpuasa hari jum’at bila telah berpuasa satu hari sebelumnya atau akan berpuasa sesudahnya, yaitu hari sabtu. Ini menunukkan bahwa berpuasa hari sabtu boleh kalau digabungkan dengan hari lain.

Hadits Umu Salamah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, an-Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah:

أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ أَكْثَرَ مَا يَصُومُ مِنَ اَلْأَيَّامِ يَوْمُ اَلسَّبْتِ, وَيَوْمُ اَلْأَحَدِ, وَكَانَ يَقُولُ: ” إِنَّهُمَا يَوْمَا عِيدٍ لِلْمُشْرِكِينَ, وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَهُمْ ” – أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَهَذَا لَفْظُهُ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad.” Beliau pun berkata, “Kedua hari tersebut adalah hari raya orang musyrik, sehingga aku pun senang menyelisihi mereka.” (HR. An-Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)

Hadits yang dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ, إِلا اَنْ يَصُومَ يَوْمًا قَبْلَهُ, أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

“Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at, kecuali jika ia berpuasa pada hari sebelumnya atau sesudahnya.”(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa Nabi membolehkan seseorang berpuasa hari jum’at jika didahului dengan satu hari sebelumya atau satu hari setelahnya. Dan ini bisa dipahami bahwa berpuasa pada hari sabtu dibolehkan jika digabung dengan hari lain dan tidak terlarang secara mutlak.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak melakukan puasa di bulan Sya’ban dan pasti akan bertemu dengan hari Sabtu.

Dalil tentang keutamaan puasa ‘Arafah, dan bahwasanya beliau tidak mengecualikannya jika hari tersebut bertepatan dengan hari sabtu. Demikian juga puasa hari asy-Syura.

Dalil tentang keutamaan puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah sebelumnya berpuasa Ramadhan. Ini juga bisa bertemu dengan hari Sabtu.

Dalil tentang keutamaan puasa pada Ayyamul Biidh (13, 14, dan 15 Hijriyah) setiap bulannya, dan nabi tidak mengecualikanya apabila bertepatan dengan hari sabtu. Karena sudah dimaklumi bahwa pasti salah satu tanggal tersebut bertepatan dengan hari sabtu.

Dan masih banyak hadits yang mengindikasikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan puasa pada hari Sabtu.

Beberapa Fatwa ‘Ulama:

Berikut ini fatwa Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dan Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah seputar puasa hari Sabtu.

Fatwa Syaikh Ibnu Baz rahimahullah

Fadhilatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang hadits:

لا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إلاَ فِيمَا اُفْتُرِضَ عَلَيْكُمْ

”Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang difardhukan bagi kalian.”

Maka inilah jawaban beliau rahimahullah:

Hadits tersebut sudah dikenal dan ia ada di Bulughul Maram dalam kitab ash-Shiyam. Dan ia adalah hadits dha’if yang syadz (ganjil) dan menyelisihi hadits-hadits yang shahih, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

لا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ, إِلا اَنْ يَصُومَ يَوْمًا قَبْلَهُ, أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

“Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at, kecuali jika ia berpuasa pada hari sebelumnya atau sesudahnya.”(HR: al-Bukhari dan Muslim)

Dan sudah diketahui bersama bahwa hari setelahnya adalah hari sabtu, dan hadits ini ada dalam ash-Shahihain (shahih al-Bukhari 1985 dan Muslim 1144). Dan juga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu terbiasa berpuasa sabtu dan ahad, dan beliau bersabda:

أَنَّ رَإِنَّهُمَا يَوْمَا عِيدٍ لِلْمُشْرِكِينَ, وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَهُمْ ”

“Kedua hari tersebut adalah hari raya orang musyrik, dan aku ingin menyelisihi mereka.” Lihat Musnad Imam Ahmad 26750, Shahih Ibnu Hibban (3616)

Dan hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak, semuanya menunjukkan akan bolehnya puasa sunnah hari sabtu. Semoga Allah memberikan taufiq kepada semuanya. Wassalamu ‘alaikum wa Rahmatullahi wa Barakaatuh.
[Majmu’ Fatawa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah Ibnu Baz imahullah (15/412-413). Dinukil dari http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=124143]

Fatwa Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:”Hendaklah diketahui bahwa puasa hari sabtu memiliki beberapa keadaan:
1. Keadaan pertama, yaitu berpuasa di hari sabtu pada puasa fardhu seperti puasa ramadhan, qadha, puasa kafarah, puasa pengganti hadyu tamattu’, dan yang lainnya. Maka ini tidak menagapa (boleh), selama ia tidak mengkhususkannya dengan keyakinan bahwasanya ia memiliki keistimewaan.
2. Keadaan kedua, ia berpuasa pada hari sebelumnya yaitu hari jum’at maka ini tidak mengapa, karena Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada salah seorang isterinya, Ummahatul Mukminin, yang ia sedang berpuasa pada hari Jum’at:”Apakah kemarin engkau berpuasa?” Ia menjawab:”Tidak” Nabi bertanya kembali:”Apakah engkau akan berpuasa besok?” Ia menjawab:”Tidak” Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Maka berbukalah”.

Maka sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ”Apakah engkau akan berpuasa besok?” menunjukkan boehnya berpuasa hari sabtu bersamaan dengan hari jum’at.
3. Keadaan ketiga, berpuasa hari sabtu bertepatan dengan puasa hari-hari yang disyari’atkan, seperti Ayamul Biidh (13, 14, 15 bulan Hijriyyah),hari ‘Arafah, hari ‘Asyuraaa’, enam hari bulan Syawal bagi yang berpuasa Ramadhan, dan puasa sembilan hari Dzulhijjah. Maka ini tidak mengapa,karena ia tidak berpuasa semata-mata karena ia hari sabtu, akan tetapi karena ia adalah hari-hari yang disyari’atkan untuk berpuasa.
4. Keadaan keempat, hari sabtu bertepatan dengan kebiasaan rutin puasanya. Seperti orang yang terbiasa berpuasa sehari dan berbuka satu hari (puasa Dawud), lalu jadwal puasanya bertepatan dengan hari sabtu, maka ini juga tidak mengapa (diperbolehkan), sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam ketika melarang mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya:”Kecuali seseorang yang memiliki rutinitas puasa, maka silahkan dia berpuasa” Dan ini (puasa hari sabtu) seperti itu juga.
5. Keadaan kelima, mengkhususkannya dengan berpuasa sunah sehari (tidak disambung dengan hari lain). Maka inilah letak larangannya, jika haditsnya shahih tentang larangan hal itu (puasa hari Sabtu).
[Majmu’ Fatawa wa Rasaa’il Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah (20/57). Dinukil dari http://www.4algeria.com/vb/showthread.php?t=315535]

Kesimpulan:

Sebagian Ulama ada yang mengatakan hadits di atas (larangan puasa hari sabtu) adalah hadits Maqbul (shahih atau hasan). Maka dari itu sebagian mereka mengharamkan secara mutlak puasa pada hari sabtu, baik didahului dengan satu hari sebelumnya atau tidak, dan sama saja apakah bertepatan dengan puasa sunnah yang lain atau tidak. Namun sebagian mereka yang mengatakan hadits itu hasan mereka tidak berpendapat dengan keharaman puasa pada hari sabtu, karena mereka melihat kepada hadits-hadits yang lain, seperti Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Alu Humaid dalam Fatawa Haditsiyyah.

Di antara ulama (dan ini sebagian besarnya) menyatakan bahwa hadits tersebut tidak shahih, ada yang mengatakan munkar, kadzib, syadz dan lain-lain. Sehingga mereka membolehkan puasa pada hari sabtu secara mutlak. Lebih-lebih jika bertepatan dengan puasa sunnah muakkadah seperti puasa Asy-Syura, puasa ‘Arafah dan lainnya.

Sebagian ulama lainnya menilai bahwa hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah jayid (boleh jadi shahih atau hasan). Namun yang mereka pahami, puasa hari Sabtu hanya terlarang jika bersendirian. Bila diikuti dengan puasa sebelumnya pada hari Jum’at, maka itu dibolehkan.

Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Maka dari penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa puasa ‘Asyuraa’ tetap boleh dilakukan sekalipun bertepatan dengan hari Sabtu. Wallaahu A’lam

(Sumber: Tuhfatul Ahwadzi, ‘Aunul Ma’bud, Taudhihul Ahkam, Syarh Sunan Ibnu Majah karya Imam Suyuthi dan sumber-sumber lainnya. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)