Pada dasarnya hukum jual beli adalah mubah dan sah, hal ini merupakan kelapangan dan kemudahan dari Islam kepada manusia, berarti antara jual beli boleh dan jual beli tidak boleh, lebih banyak yang boleh.

Urbun, uang muka: Pembeli menyerahkan uang kepada penjual sebagai mukadimah akad, bila akad terlaksana maka ia termasuk harga, bila batal maka ia milik penjual dan pembeli tidak mendapatkan apa pun. Dari Amru bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya berkata, “Nabi melarang jual beli urbun.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Imam Ahmad mendhaifkannya.

Pengecualian yang diketahui: Saya menjual pohon-pohon di kebun ini seluruhnya kecuali pohon ini, ini dan ini. Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah melarang pengecualian dalam jual beli.” Diriwayatkan oleh Muslim. An-Nasa`i dan at-Tirmidzi menambahkan, “Kecuali bila diketahui.”

Menjual dengan laba atau tanpa laba tanpa rugi atau dengan rugi: Yang pertama menjual di atas harga modal, yang kedua dengan harga modal dan yang ketiga di bawah harga modal. Yang pertama sudah umum. Yang kedua dan ketiga adalah haknya, termasuk membeli dari orang yang menjual karena terpaksa oleh keadaan.

Calo: Ibnu Abbas berkata, ‘Tidak mengapa seseorang berkata, ‘Juallah kain ini, kelebihan harga dari sekian adalah milikmu.” Imam al-Bukhari berkata, “Ibnu Sirin, Atha`, Ibrahim dan al-Hasan berpendapat calo itu boleh.”

Adapun hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda, “Orang kota jangan menjual untuk orang desa.” Lalu Ibnu Abbas ditanya tentang maksudnya dan dia berkata, “Tidak menjadi calo baginya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, maka maksudnya adalah pada barang-barang pokok yang bila dicaloi akan menyulitkan masyarakat.

Lelang: Menjual kepada penawar tertinggi, berbeda dengan penjualan di atas penjualan orang lain atau pembelian di atas pembelian orang lain. Yang pertama, seseorang datang kepada calon pembeli dan berkata, “Saya punya barang yang sama dengan harga lebih murah atau barang lebih bagus dengan harga sama.” Yang kedua, seseorang datang kepada calon penjual dan berkata, “Saya membelinya dengan harga lebih tinggi.” Keduanya dilarang dalam hadits, “Seseorang jangan menjual di atas penjualan saudaranya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.

Menjual dengan harga tunda lebih tinggi: Bila akad jual beli terjadi antara barang dengan alat pembayaran, buku seharga Rp. 10 misalnya, maka penyerahan barang dan pembayaran harga kembali kepada kesepakatan kedua belah pihak.

Menjual atau membeli dengan syarat: Penjual menetapkan syarat atas pembeli untuk mendiami rumah yang dijual selama satu bulan atau pembeli mensyaratkan atas penjual untuk mengantarkan barang yang dibeli ke rumahnya.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Jabir menjual unta kepada Nabi dan dia mensyaratkan mengendarainya sampai ke Madinah. Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kaum muslimin di atas syarat-syarat mereka.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad dan al-Hakim dari Abu Hurairah.

Inilah pendapat yang shahih dalam masalah ini. Adapun hadits, “Tidak halal dua syarat dalam jual beli.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa`i. At-Tirmidzi berkata, “Hasan shahih.” maka maksudnya adalah jual beli ‘Inah atau dua penjualan dalam satu penjualan.

Ada syarat lain, yaitu syarat yang menjadi konsekuensi akad itu sendiri, seperti serah terima. Atau syarat demi kemaslahatan akad seperti penundaan pembayaran, jaminan atau gadai, atau kriteria tertentu pada barang seperti burung bersuara merdu. Syarat-syarat ini tidak diperdebatkan kebolehannya. Wallahu a’lam.