Setiap kaidah yang bertujuan menolak bid’ah serta hal-hal baru di dalam agama, adalah kaidah yang menyentuh segala macam penyimpangan di dalam dzikir dan do`a. Karena, kedua hal tersebut adalah murni bentuk penyembahan (ibadah) kepada Allah Ta’ala sedangkan kaidah dasar dalam masalah ini adalah, bahwa ibadah itu bersifat tauqîfiyah (menurut petunjuk langsung dari Allah Ta’ala) yang diungkapkan dengan kalimat: “Ibadah bersandar pada petunjuk nash dan pembuat nash itu.

Kaidah ini disaring dari berbagai nash yang sangat banyak, di antaranya, sebuah hadîts shahih, yaitu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

Barangsiapa yang memunculkan di dalam urusan kita ini sesuatu yang bukan bagian darinya, maka itu tertolak.

Juga, hadîts shahih yang menyebutkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

Setiap hal baru yang dimunculkan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.

Kedua hadîts ini merupakan mutiara hadîts Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat singkat tapi sangat sarat dengan ma`na, dan hampir semua kaidah berikut ini termasuk dalam bingkai pemahaman kedua hadîts agung ini.

Berikutnya, kita akan menjelaskan beberapa kaidah yang berkaitan dengan dzikir dan do`a:

Kaidah Pertama Miftah Dar as-Sa’adah, hal.43, dan Mukadimah kitab ar-Radd ala al-Mukhalif: Setiap petunjuk yang telah diajarkan oleh Islam, yang wajib dipegang teguh oleh seorang muslim itu ada dua hal: meyakini (tashdîq) dan taat. Kedua hal ini merupakan poros Islam dan iman secara internal dan eksternal.

Penjelasannya: bahwa setiap penyimpangan dan sikap menentang keyakinan adalah termasuk penyakit syubhat yang dibisikkan oleh setan dari golongan manusia maupun jin. Dan penyakit syubhat ini berkisar antara syirik dan bid’ah.

Sementara setiap tindakan menyalahi ketaatan, seperti syahwat (kemauan nafsu) yang menjadi tabir penghalang antara seorang Muslim dengan ketaatan, atau yang menjadi penghalang sempurnanya ketaatan itu karena pengabaian dan maksiat, maka itu termasuk penyakit syahwat. Penyakit syahwat ini berkisar antara dua jenis maksiat, yaitu: dosa besar dan dosa kecil.

Untuk bisa menolak berbagai syubhat itu, maka wajib bermujahadah melawan rong-rongan jiwa.

Pada umumnya, yang sering mengotori do`a adalah penyakit syubhat yang berkisar antara syirik dan bid’ah. Maka wajib bagi siapa saja yang dikaruniai ilmu oleh Allah Ta’ala agar mengajarkan apa yang dia ketahui untuk menolak berbagai penyakit syubhat dan syahwat yang muncul. Dengan demikian, seorang hamba akan mengetahui betapa agungnya kedudukan do`a, dan betapa penting meluruskan do`a tersebut dari berbagai penghalang dan penyimpangan.

Ibnul Qayyim pernah berkata Al-Fawaid, hal.201-202.: “Penghalang itu adalah berbagai macam bentuk penyimpangan, baik yang zhahir maupun yang batin. Ia menjadi penghalang bagi hati untuk mengarungi jalan menuju Allah Ta’ala, bahkan ia memutus jalannya. Penghalang-penghalang ini ada tiga macam, yaitu: syirik, bid’ah, dan maksiat. Penghalang yang berupa syirik akan sirna dengan memurnikan tauhid kepada Allah Ta’ala, sedang penghalang yang berupa bid’ah akan pupus dengan mengaplikasikan sunnah, sementara penghalang yang berupa maksiat akan hilang dengan merealisasikan taubat….”

Kaidah Kedua: kaidah meneladani Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berdo`a.

Baik do’a yang wajib ataupun yang sunah, adalah do`a yang disyariatkan (diperbolehkan); mengingat istihbâb itu merupakan hukum yang hanya diperoleh dari Pembuat syari`at (Allah Ta’ala). Maka apa saja yang tidak Dia syariatkan, maka itu bukanlah yang dianjurkan, akan tetapi menjadi ajaran yang tidak direstui oleh Allah Ta’ala. Karena, sesungguhnya do`a merupakan ajaran agama yang paling agung.Al-Fatâwâ,(22/475).

Jika Anda telah mengetahui hal itu, juga mengetahui syarat-syarat do`a beserta adab-adabnya, dan waktu-waktunya yang dianjurkan, maka ketahuilah bahwa pilar dari semua itu adalah dua rukun ibadah: ikhlas dan mutâba’ah, dengan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berdo`a secara umum, baik dengan do`a-do`a yang ada dasar riwayatnya atau yang menyerupainya dari do`a yang tidak dilarang oleh syara’. Hanya saja, do`a yang bersumber dari nash syar’i (do`a-do`a yang ada dasar riwayatnya) lebih baik daripada do`a yang merupakan pilihan hamba sendiri.

Di samping itu, juga mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berdo`a yang terikat (muqayyad). Semua ini berada dalam lingkup kaidah ibadah, yaitu: “bahwa asal do`a itu diharamkan (tahrîm), kecuali bila terdapat dalil yang membolehkannya.” Al-Furuq, karya al-Qarafi, (4/264-265). Kaidah inilah yang diungkapkan oleh para ulama dengan perkataan mereka: “Ibadah bersandar pada nash dan pembuat nash di dalam enam aspek beribadah.” Yaitu: sebab, jenis, kadar (jumlah), cara, waktu dan tempat.

Jika di antara salah satu dari keenam aspek ini ada yang tertinggal, maka di dalam do`a tersebut terdapat kesalahan atau pelanggaran. Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ {55}

Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (al-A’raf: 55).

Pelanggaran di sini adalah: melampaui batas dalam segala hal. Sedangkan pelanggaran dalam berdo`a adalah melampaui batas yang telah ditentukan oleh syara’ yang suci dalam berdo’a. Sehingga, di dalam do`a tersebut terdapat penyimpangan menurut kadar kuat dan lemahnya penyimpangan yang terjadi, berupa: perbuatan syirik beserta perangkat-perangkatnya, bid’ah dan hal-hal baru yang di-munculkan.

Pelanggaran di dalam do`a itu ada dua macam Al-Fatâwâ (22/474-475).: Pertama: Pelanggaran di dalam lafazh (redaksi) do`a, atau karena diperbanyaknya lafazh tersebut; Kedua: pelanggaran di dalam maknanya.

Dari sini, bisa disimpulkan bahwa do`a itu ada limamacam: Do`a masy’ru, yaitu do`a yang wajib, do’a yang dianjurkan, do`a yang diharamkan, do`a yang makruh (masing-masing dari kedua do`a ini merupakan bentuk pelanggaran dalam do`a), dan do`a yang mubah. Al-Fatâwâ, (22/476).

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul HaqJakarta]