Kaidah Ketiga: kaidah perbedaan antara do`a dan dzikir yang terikat oleh keadaan, waktu dan tempat dengan do`a dan dzikir yang mutlak. Perbedaan di antara keduanya tersebut adalah sebagai berikut:

Setiap dzikir atau do`a yang terikat dengan keadaan, waktu atau tempat, itu dilakukan menurut waktu, keadaan, tempat dan sesuai dengan lafazhnya, juga menurut anjuran cara bagaimana pemohon melakukannya, tanpa ada penambahan, pengurangan, atau penggantian redaksinya dengan kalimat (redaksi) yang lainnya.

Adapun setiap dzikir atau do`a yang mutlak, jika ia wârid (ada dasar riwayatnya), maka dilakukan menurut riwayat lafazhnya yang ada. Sedangkan jika ia bukan yangwârid, akan tetapi berasal dari pemohon sendiri, atau berasal dari para ulama salaf, maka diper-bolehkan bagi seorang hamba untuk berdzikir dan berdo`a dengan do`a yang bukan yang wârid dalam masalah do`a dan dzikir yang mutlak ini dengan lima syarat:
1. Memilih lafazh yang paling bagus, indah dan jelas maknanya, karena do`a merupakan kedudukan munajat seorang hamba kepada Tuhannya, Allah Ta,ala.

2. Lafazhnya sesuai dengan makna arabnya dan tuntutan ilmu i’râb.

3. Do`a tersebut bersih dari segala unsur yang terlarang secara syara’, baik lafazh maupun maknanya.

4. Do`a tersebut termasuk dalam lingkup dzikir dan do`a yang mutlak, bukan yang terikat dengan waktu, keadaan dan tempat.

5. Pemohon tidak menjadikannya sebagai suatu kesunahan yang selalu dia tekuni.

Yang demikian itu dilihat dari segi lafazhnya. Adapun dari segi cara pemohon melaksanakannya, maka jika terdapat tuntunan cara yang diriwayatkan di dalam nash terhadap dzikir dan do`a yang mutlak ini, maka pemohon harus melaksanakannya sesuai tuntunan riwayat tersebut. Namun, jika di sana tidak terdapat tuntunan cara yang syar’i, maka pemohon boleh melaksanakannya dengan cara apa pun, selama masih dalam batasan-batasan yang disyariatkan (masyru’), di antaranya: dia boleh mengangkat kedua tangannya, dan boleh tidak mengangkatnya. Wallahu ‘Alam.

Kaidah Keempat: Setiap ibadah yang diriwayatkan dengan dua bentuk atau lebih karena perbedaan variasi dalam beribadah, maka tidak boleh digabungkan.

Termasuk dalam kaidah ini adalah: bahwa setiap dzikir atau do`a yang diriwayatkan dengan dua macam atau lebih, maka bagi si pelaku tidak boleh menggabungkan yang berbeda jenisnya tersebut di dalam satu bentuk. Akan tetapi, dia harus melakukan dengan jenis yang satu pada suatu waktu, dan jenis yang satunya lagi pada waktu yang berbeda. Sebagai contohnya adalah dalam shalat: jenis-jenis do`a istiftah, ta’awwudz dan qira’at, jumlah tasbîh di dalam ruku’ dan sujud, bacaan tahmîd, tahiyyat, shalawat ibrahimiyah, dan salam. Dan terkadang salah satu dari kedua jenis atau jenis-jenis tersebut lebih pasti dilakukan (râjih) dari pada yang lainnya.

Kaidah Kelima: Setiap dzikir atau do`a yang berbilangan (‘adadi) yang berasal dari satu jenis, yang diriwayatkan dengan dua jenis bilangan atau lebih, maka bagi si pelaku dzikir atau do`a boleh melakukan jenis dzikir atau do`a mana saja yang telah diriwayatkan oleh nash. Dan ketika terdapat riwayat yang lebih banyak bilangannya, maka itu lebih sempurna dan utama. Contohnya dalam bacaan ‘la ilaha illallah’ pada dzikir pagi dan petang, ada yang sekali saja, sepuluh kali, dan seratus kali; dan saya telah menjelaskan semua ini di dalam ‘Adzkar Tharafay an-Nahar’ (Dzikir pagi dan sore).

Kaidah Keenam: Setiap orang yang dalam melakukan ibadah seperti dzikir dan do`a yang terikat (muqayyad) membuat sesuatu dzikir yang baru yang bukan bagian darinya dengan tujuan membuat sunnah baru, maka dia telah berdosa dilihat dari empat aspek:

1. Mengabaikan doa` dan dzikir masyru’ (yang diajarakan syariat)

2. Meralat syariat

3. Menganjurkan sesuatu yang tidak syariatkan

4. Mengaburkan banyak orang bahwa apa yang dibuatnya itulah yang masyru’.

Hendaknya seorang hamba yang taat takut kepada Tuhannya menghindari perbuatan mengada-adakan hal-hal baru yang tidak disyariatkan. Sesungguhnya di dalam yang masyru’ terdapat segala kebaikan dan sudah cukup. Dan pilihan Allah Ta’ala bagi hamba-Nya itu lebih baik dari pada pilihan seorang hamba bagi dirinya sendiri.

Kaidah Ketujuh: Jika didapati suatu kondisi pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak ada yang menjadi penghalang, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menetapkannya sebagai sesuatu yang disyariatkan baik berupa ucapan maupun perbuatan, maka sunnahnya adalah meninggalkannya sebagai “bentuk mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Fath al-Bari, (11/97, 172, 196).”

Kaidah Kedelapan: Kaidah dzikir dan do`a adalah dengan suara rendah dan tidak menyaringkannya, sedangkan bacaan keras itu sebagai pengecualian dalam beberapa kondisi. Keterangan mengenai kaidah ini akan dirinci pada pembahasan: “Membaca dzikir dan do`a dengan suara nyaring.”

Kaidah Kesembilan: Dasar di dalam dzikir dan do`a adalah keinginan pemohon (pelaku dzikir) terhadap hakikat dzikir dan siapa yang didzikiri (mad’u bih). Terkadang lafazh tersebut diucapkan dalam bacaan dzikir dan do`a, namun tidak dimaksudkan kepada hakikat-nya berupa terkabulnya do’a tersebut, baik bagi orang yang dido’akan dengan kejelekan maupun dido’akan dengan keburukan, akan tetapi tujuan yang dikehendaki oleh pemohon. Di antara maksud si pemohon adalah:

1. Do`a jelek terhadap orang kafir atau zhalim untuk menerornya.

2. Do`a yang diucapkan sebagai ungkapan gembira bila bencana menimpa orang lain (syamâtah), seperti: ‘semoga Allah Ta’ala mematahkan hidungmu’, yang diucapkan pemohon kepada orang yang ingin dia rendahkan. Perhatikan ucapan: “semoga Allah mematahkan hidungmu”, di dalam ‘Mu’jam al-Manâhî’.

3. Do`a yang diucapkan sebagai bentuk kemarahan, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam‘’Aqrâ halqâ” (Sebuah ungkapan kemarahan).

4. Dzikir dan do`a yang diucapkan sebagai bentuk menakut-menakuti, seperti: takbirnya seorang penjaga karena takut terhadap para pencuri.

5. Do`a yang diucapkan sebagai ungkapan rasa takut, seperti do`a untuk orang yang ditakuti serangannya. Di antaranya, terdapat atsar yang berbunyi: “Sungguh kami lari melihat muka suatu kelompok, sedangkan hati kami melaknat mereka.”

6. Ucapan para makmum laki-laki untuk mengingatkan imam ketika lupa di dalam shalat, dengan mengatakan: “Subhanallah.” (Maha Suci Allah Ta’ala).

Kaidah Kesepuluh: Tidak dianjurkan bagi pemohon pada waktu berdo`a menghadap kecuali kearah kiblat yang menjadi kiblatnya orang shalat, yaitu kiblat yang telah diridhai oleh Allah Ta’ala bagi umat (Islam) ini, ke arah Ka’bah -semoga Allah Ta’alatetap menjaganya-. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan bagi pemohon untuk menghadap kuburan, wali, atau arah tertentu sewaktu berdo`a. Bahkan, ketika berada di sisi kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun setelah memberi salam kepada beliau dan kedua sahabatnya (Abu Bakar dan Umar) sekalipun. Dan melakukan hal itu merupakan bentuk sikap menyaingi orang-orang Nasrani di dalam ajaran mereka yang distorsif.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]