Kaidah Kesebelas: Diharamkan mendo`akan orang kafir atau musyrik agar diampuni dosa-dosa mereka atau do`a yang serupa dengannya, berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Allah Ta’ala berfirman:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُوْلِى قُرْبَى مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam. (at-Taubah: 113).

Akan tetapi, seorang Muslim boleh mendo`akan seorang kafir dzimmi -jika dia telah berbuat baik kepadanya- agar dibukakan pintu hidayah kepada Islam baginya atau do`a yang serupa dengannya.[1]

Kaidah Kedua belas: Setiap do`a yang diucapkan oleh seorang Muslim, itu -berdasarkan orang yang dido`akannya- tidak terlepas dari salah satu dari empat macam:

1.  Seseorang berdo`a untuk dirinya sendiri, dan ini terlihat jelas (zhahir). Maka, orang tersebut mengucapkannya dalam bentuk shighat tunggal (orang pertama), seperti: (رَبِّ اغْفِرْ لِيْ) “Ya Tuhanku, ampuni-lah dosaku, hingga imam pun dalam shalat ketika membaca do`a-do`a yang dipelankan atau tidak dikeraskan, seperti do`a dalam sujud, serta do`a di antara dua sujud (diungkapkan dalam bentuk shighat tungal).

Tetapi jika do`a tersebut berasal dari do`a-do`a yang ada di dalam al-Qur’an al-Karîm, maka dia harus mengucapkannya sesuai lafazh/ungkapan yang terdapat di dalam al-Qur’an, baik berbentuk shighat tunggal maupun jamak, seperti firman Allah:

‏ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus.. Ungkapan dalam bentuk jamak di sini, padahal yang mengucapkan hanya satu orang, adalah termasuk kategori mengagungkan Allah ta’ala dan menghormati maqâm Ubudiyyah, seolah pemohon berkata:

Kami -segenap hamba-hambaMu- tunduk menyembah kepada-Mu.” Yang demikian ini seperti yang diucapkan oleh seorang rakyat biasa kepada seorang raja yang dimuliakannya: “Kami adalah para kawulamu dan senantiasa patuh kepadamu.” Maka, itu lebih pas dari pada dia mengucapkan: “Seorang kawulamu” (ungkapan tunggal), sebagaimana dijelaskan di dalam kitab “Badâ’i’ al-Fawâid”, (2/39-40).

2.  Berdo`a untuk orang lain, seperti do`a seorang Muslim (ayah) untuk anaknya: (اَلَّلهُمَّ أَصْلِحْهُ) “Ya Allah, jadikanlah dia anak yang shalih’.

3.  Berdo`a untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain dengan menggunakan dhamir (kata ganti) jamak, seperti dalam do`a qunut pada shalat jamaah, do`anya khatib, dan orang yang setingkat dengan khatib.

Di dalam hadîts Tsauban rahimahullah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَلاَ يَؤُمُّ رَجُلٌ قَوْمًا فَيَخُصُّ نَفْسَـهُ باِلدُّعَاءِ دُوْنَهُمْ فَإِنْ فَعَلَ فَقَدْ خَانَهُمْ.

Janganlah seseorang mengimami jama’ah, lalu dia mengkhususkan do`a untuk dirinya sendiri dengan mengabaikan mereka. Jika dia melakukan hal itu (untuk dirinya sendiri), maka dia telah mengkhianati mereka.” (HR. Tirmizi, Ibnu Majah dan Abu Daud. Namun, di dalam sanad-nya terdapat catatan).[2]

4.  Berdo`a untuk dirinya sendiri dan orang lain, maka hendaknya dimulai dengan untuk dirinya sendiri dan kemudian untuk orang lain[3], mengingat hadîts Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyebut seseorang lalu mendo`akan baik untuknya, maka beliau memulai dengan do`a untuk dirinya sendiri. (HR. Tirmizi, dan aslinya terdapat di dalam Shahih Muslim). Dan barangsiapa yang memperhatikan kebanyakan do`a yang terdapat di dalam al-Qur’an al-Karim, maka dia akan melihat do`a tersebut adalah seperti demikian: ( رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ ) “Ya Tuhanku, ampunilah (dosa)ku dan (dosa) kedua orang tuaku., dan

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَ لِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ

Ya Tuhan kami, ampunilah (dosa-dosa) kami dan (dosa-dosa) saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan iman.” Akan tetapi, Imam al-Bukhari rahimahullah di dalam Shahih-nya mencela untuk selalu membiasakan hal semacam itu, dengan mengatakan: “Bab firman Allah ta’ala: “Dan berilah rahmat kepada mereka., dan orang yang mengkhususkan do`a untuk saudaranya, bukan untuk dirinya sendiri.” Lalu, beliau menuturkan berbagai hadîts yang berkaitan dengan bab tersebut, dan di dalamnya terdapat do`a Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya tanpa memulainya dengan dirinya sendiri, hanya Allah ta’ala  yang lebih tahu hukum-hukumnya.[4]

Kaidah Keempat Belas: Setiap do`a yang diucapkan dengan cara marah, maka hukumnya haram, dan terkadang bisa menjadi suatu kekufuran.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]


[1]  Syarh al-Adzkar, (6/262-263).

[2]  Lihat Majma’ al-Fawâid, (2/82); Syarh al-Adzkar, (2/309), ‘Aun al-Ma’bûd, (1/161-162); Tuhfat al-Ahwadzî, (1/285); dan Zad al-Ma’ad, (1/263). Hadîts ini sangat penting.

[3]  Lihat Mu’jam al-Manâhî al-Lafdhiyyah, hal. 108; dan Fath al-Bâri, (11/135-138).

[4]  At-Taqyîd wa al-Idhâh ala Ibn ash-Shalâh, hal. 6.