Kaidah Kelima Belas: Kaidah Mufâdhalah (levelisasi) di antara macam-macam dzikir. Artinya, bahwa membaca al-Qur’an al-Karim itu lebih utama daripada dzikir dan do`a yang umum, sedangkan dzikir itu lebih utama daripada do`a. Adapun dzikir yang terikat oleh waktu, tempat dan keadaan, maka mengamalkannya adalah lebih utama.[1]

Kaidah Mufâdhalah di antara macam-macam ibadah, yaitu do`a, dzikir, shalat, jihad dan lain sebagainya, adalah sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah -setelah beliau  menyebutkan perselisihan pendapat yang ada di dalamnya terbagi menjadi empat kelompok-[2] beliau mengatakan: “Kelompok yang keempat: Mereka mengatakan, bahwa ibadah yang paling utama, adalah beramal untuk mendapatkan keridhaan Allah ta’ala pada setiap waktu, dengan sesuatu yang sesuai tuntutan dari waktu tersebut beserta fungsinya. Maka, sebaik-baik ibadah pada waktu jihad adalah ber-jihad, meskipun konsekuensinya harus mengabaikan bacaan wirid rutin, seperti meninggalkan shalat malam dan puasa, dan bahkan lebih utama daripada menyempurnakan shalat fardhu (shalat wajib secara sempurna) sebagaimana waktu kondisi normal. [Shalat dalam kndisi perang itu sangat tergantung pada kondisi, hingga bisa jadi shalat sambil mengangkat senjata, sambil berlari. Peng.]

Misalnya, yang paling utama sewaktu kedatangan tamu adalah memenuhi hak tamu tersebut dan memilih sibuk melayaninya daripada membaca wirid yang disunnahkan. Begitu pula, sewaktu menunai-kan hak isteri dan keluarga.

Yang paling utama pada saat-saat sahur adalah melakukan shalat, membaca al-Qur’an, do`a, dzikir dan beristighfâr.

Yang paling utama pada waktu murid meminta nasihat dan mengajar orang bodoh adalah memberinya nasihat dan mengajarinya.

Yang paling utama sewaktu mendengar adzan adalah meninggalkan bacaan wirid yang dia ucapkan, dan sebagai gantinya adalah menjawab adzan tersebut.

Yang paling utama di waktu-waktu shalatlimafardhu adalah bersungguh-sungguh dan tulus menunaikannya dengan cara yang paling sempurna, dan bersegera menunaikannya di awal waktu, serta berangkat ke masjid jami’ meskipun tempatnya jauh itu lebih utama.

Yang paling utama pada waktu memberikan bantuan kepada orang yang sangat membutuhkan, baik dengan jabatan, bantuan fisik ataupun harta, adalah membantunya dan menolongnya, dan memprioritaskan hal itu daripada membaca wirid.

Yang paling utama pada waktu membaca al-Qur’an adalah memusatkan jiwa dan kemauan untuk merenungi dan memahami isinya, hingga seolah-olah Allah ta’ala sedang berbicara kepada anda. Anda konsentrasikan hati untuk memahami dan merenunginya dan bertekad melaksanakan segala perintah yang ada di dalamnya, itu lebih mulia daripada orang yang serius dan  konsentrasi mendapat sepucuksurat dari seorang raja.

Yang paling utama pada waktu wuquf di Arafah adalah bersungguh-sungguh dalam menundukkan diri kepada Allah, berdo`a dan berdzikir, bukan malah berpuasa yang makin melemahkan kita untuk melakukan hal tersebut.

Yang paling utama pada hari kesepuluh dari bulan Dzulhijjah, adalah memperbanyak ibadah, terutama bertakbir, tahlîl dan tahmîd. Itu lebih mulia daripada jihad yang tidak diwajibkan.

Yang paling utama pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan adalah berdiam diri, berkhalwat dan beri’tikaf di dalam masjid, bukan malah membaur dan bersibuk-sibuk dengan orang banyak. Bahkan, yang demikian ini lebih utama daripada mengajar al-Qur’an atau disiplin ilmu lainnya kepada mereka, sebagaimana menurut kebanyakan ulama.

Yang paling utama pada waktu saudara anda sesama Muslim sedang sakit atau meninggal dunia adalah menjenguknya, mendatangi jenazahnya dan mengantarkannya, serta memprioritaskan hal itu dari menyepi untuk beribadah.

Yang paling utama sewaktu anda tertimpa musibah dan perasaan disakiti oleh orang lain adalah bersabar dengan tetap membaur dengan mereka, bukan malah lari dari mereka. Karena, seorang Mukmin yang tetap berinteraksi dengan orang lain karena sabar menghadapi sikap buruk mereka, itu lebih utama daripada orang yang tidak mau berinteraksi dengan mereka, sementara mereka tidak menyakitinya.

Yang paling utama lagi adalah bergaul dengan mereka dalam kebaikan. Itu lebih baik daripada menjauh dari mereka dalam ke-baikan, dan menjauh dari mereka di dalam keburukan itu lebih utama daripada bergaul dengan mereka di dalam keburukan. Jika dia yakin bilamana bergaul dengan mereka, itu bisa menghilangkan atau setidaknya menimimalkan keburukan, maka bergaul dengan mereka itu lebih utama daripada menjauh dari mereka.

Jadi, yang paling utama di setiap waktu dan kondisi adalah lebih memprioritaskan untuk mendapatkan keridhaan Allah ta’ala pada waktu dan keadaan tersebut dan melaksanakan kewajiban waktu tersebut beserta fungsi dan tuntutannya.

Mereka itulah para ahli ibadah mutlak, sedang kelompok sebelum mereka adalah ahli ibadah yang terikat (muqayyad). Maka, ketika seorang dari mereka keluar dan meninggalkan jenis ibadah yang digelutinya, maka dia akan melihat dirinya seolah-olah telah mengurangi dan meninggalkan ibadahnya tersebut, karena dia ber-ibadah kepada Allah ta’ala hanya dengan satu bentuk ibadah. Sedangkan orang yang melakukan ibadah mutlak tidak punya tujuan di dalam ibadahnya tersebut yang lebih dia prioritaskan selain tujuannya adalah mencari keridhaan Allah ta’ala di mana pun keridhaan itu berada. Maka, fokus dari ibadahnya adalah mencari keridhaan Allah. Maka ia akan selalu berpindah-pindah ke berbagai bentuk tingkatan pengabdian (ubudiyah). Begitulah ia beramal menuju manâzil (tingkatan) ubudiyah dan terus melakukannya hingga tampak baginya satu tingkatan yang lain. Demikianlah kebiasaannya dalam hidupnya hingga selesai petualangannya.

Jika Anda melihat para ulama, maka Anda akan melihat dia bersama mereka. Jika Anda melihat para ahli ibadah, maka Anda akan melihat dia bersama mereka. Jika Anda melihat para mujahid (pejuang) maka Anda akan melihat dia bersama mereka. Jika Anda melihat orang-orang yang berdzikir maka Anda akan melihat dia bersama mereka. Jika Anda melihat orang-orang yang bersedekah dan berbuat baik terhdap orang lain, maka Anda akan melihat dia bersama mereka. Dan jika Anda melihat orang-orang yang lurus hatinya menghadap Allah ta’ala maka Anda akan melihat dia bersama mereka. Dialah seorang hamba sejati, yang tidak terikat oleh simbol dan ikatan. Dan amalannya pun tidak menurut kemauan nafsunya dan kenikmatannya yang ada di dalam ibadah tersebut, namun dia beribadah menurut kehendak Tuhannya, sekalipun kesenangan naf-sunya berada pada tempat lain.

Dialah orang sejati yang dengan secara benar mengaplikasikan ayat:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ {5}

Hanya kepadaMulah kami menyembah, dan hanya kepadaMulah kami memohon pertolongan, dengan sejujur-jujurnya melaksanakan kedua hal itu. Pakaiannya hanya sekadarnya, dan makanannya pun hanya seadaanya. Kesibukannnya melakukan perintah Allah pada setiap saat, pada setiap tempat di mana ia duduk, hingga tidak harus dipandu oleh isyarat dan tidak pula diatur oleh ikatan. Dan tidak pula ia terikat dengan simbol. Ia benar-benar bebas merdeka, berporos pada perintah, tunduk kepada Allah, kapan dan di manapun juga.

Setiap penegak kebenaran akan merasa tenang dengannya, dan setiap pembuat kebatilan akan merasa resah. Dia seolah-olah seperti hujan yang bila turun memberi manfaat. Juga, seperti pohon kurma yang tidak akan gugur daunnya, semua bagiannya bermanfaat hingga duri-durinya. Dia bersikap keras terhadap orang-orang yang menyelisihi perintah Allah ta’ala, juga marah manakala larangan-larangan Allah dilanggar. Dia hanya untuk Allah, demi Allah, dan bersama Allah ta’ala, menemani Allah ta’ala tanpa ciptaan, dan menemani manusia tanpa raga. Bahkan, jika dia sedang bersama Allah ta’ala, maka dia meninggalkan dan menjauhi manusia; dan jika sedang bersama manusia maka dia menanggalkan dirinya dari dalam dan menjauhi dirinya sendiri.

Betapa anehnya dia! Betapa asingnya dia di tengah-tengah orang banyak! Betapa gelisahnya dia terhadap mereka! Dan betapa senang, bahagia, dan tenangnya dia bersama Allah ta’ala! Hanya Allah-lah tempat meminta pertolongan, dan hanya kepada-Nyalah tempat berserah diri.”

Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitab ‘al-Wâbil ash-Shayyib’, juga berkata, “Pasal ketiga: membaca al-Qur’an itu lebih utama daripada dzikir, sedangkan dzikir lebih utama daripada do`a. Hal ini hanya kalau semata-mata dilihat hanya dzikir dan do`anya saja.

Terkadang di suatu saat yang mafdhûl (diungguli) itu menjadi lebih utama daripada yang fâdhil (mengungguli). Sehingga, tidak diperbolehkan mengganti yang mafdhûl tersebut dengan yang fâdhil. Misalnya, seperti ber-tasbîh di dalam ruku’ dan sujud, itu lebih utama daripada membaca al-Qur’an pada saat ruku` dan sujud. Bahkan, membaca al-Qur’an di dalam ruku’ dan sujud dilarang dalam arti haram atau makruh. Demikian pula, ucapan tasmi’ (sami`llâhu liman hamidah) dan tahmîd pada tempatnya juga lebih utama daripada bacaan al-Qur’an. Juga, bacaan tasyahhud dan “rabbighfirlî warhamnî wahdinî wa’afinî warzuqnî “ (Tuhanku, ampunilah dosaku, rahmatilah aku, serta berilah aku petunjuk, kesehatan dan rizki) pada saat duduk di antara dua sujud itu lebih utama daripada bacaan al-Qur’an. Juga, dzikir berupa bacaan tahlîl, tasbîh dan tahmîd sehabis shalat itu lebih utama daripada membaca al-Qur’an. Demikian pula menjawab adzan, mengucapkan apa yang diucapkannya itu lebih utama daripada membaca al-Qur’an, meskipun keutamaan al-Qur’an terhadap semua bentuk ucapan (dzikir) seperti keutamaan Allah ta’ala atas segenap makhlukNya. Akan tetapi, setiap tempat itu punya ucapan (dzikir)nya sendiri. Ketika ucapannya tersebut terlewatkan dan diganti dengan ucapan yang lainnya, maka hilanglah hikmah-nya, dan hilang pula maslahat yang diharapkan darinya.

Demikian pula, dzikir-dzikir yang terikat oleh keadaan dan tempat tertentu itu lebih utama daripada bacaan al-Qur’an yang mutlak, sedang bacaan al-Qur’an yang mutlak itu lebih utama dari-pada dzikir-dzikir yang mutlak.

Terkadang terjadi suatu kondisi pada seseorang yang membuat dzikir atau do`a lebih bermanfaat baginya dari membaca al-Qur’an, seperti saat merenungkan dosa-dosanya sehingga menimbulkan ke-sadaran bertobat dan minta ampunan. Atau muncul di hadapannya setan manusia atau setan jin yang dia takuti, lalu dia beralih kepada dzikir dan do`a yang dapat membentengi dan melindungi dirinya.

Begitu pula, terkadang terjadi pada seorang hamba suatu kebutuhan mendesak, yang bila dia sibuk dengan bacaan al-Qur’an atau dzikir, maka hatinya tidak bisa konsentrasi, akan tetapi bila dia memohon dan berdo`a, maka seluruh hatinya bisa terkonsentrasi kepada Allah ta’ala dan membuatnya tunduk, khusyu’ dan pasrah. Maka dalam kondisi semacam ini bisa jadi sibuk dengan do`a lebih bermanfaat, meskipun sebenarnya bacaan al-Qur’an dan dzikir itu lebih utama dan lebih besar pahalanya.

Yang demikian ini merupakan bahasan bermanfaat yang membutuhkan pemahaman jiwa serta pembedaan antara keutamaan sesuatu dengan keutamaannya yang temporer, sehingga, setiap yang berhak diberi haknya, dan setiap sesuatu harus ditempatkan pada posisinya.

Maka, mata punya tempat sendiri, kaki punya tempat sendiri, air punya tempat sendiri, dan daging punya tempat sendiri. Dan menjaga posisi masing-masing termasuk kesempurnaan hikmah yang merupakan aturan dari perintah dan larangan. Hanya Allahlah Dzat pemberi petunjuk. Demikian pula, sabun dan griba (asynan) sangat berguna bagi pakaian pada suatu ketika. Juga, tajmir, cairan bunga dan menyeterikanya sangat berguna baginya pada waktu yang lain.

Pada suatu hari, aku berkata kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Seorang ulama pernah ditanya: manakah yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba, tasbîh atau istighfâr?, lalu beliau menjawab: Jika pakaian dalam keadaan bersih (suci), maka wangi-wangian dan air bunga mawar itu lebih bermanfaat baginya, namun jika pakaian tersebut dalam keadaan kotor, maka sabun dan air panas itu lebih berguna baginya.” Lalu, Ibnu Taimiyah rahimahullah bertanya kepadaku: bagaimana itu mungkin, sedangkan pakaian itu masih kotor?”

Dari bab ini juga, suratal-Ikhlas itu setara (pahalanya, keutamaannya) dengan sepertiga al-Qur’an, meskipun demikian ia tidak bisa menggantikan posisi ayat-ayat hukum waris, talak, khulu’, ‘iddah dan lain sebagainya. Bahkan, ayat-ayat ini pada waktunya dan ketika dibutuhkan itu lebih bermanfaat daripada membacasurat al-Ikhlas itu sendiri.

Oleh karena shalat mencakup bacaan al-Qur’an, dzikir dan do`a, dan shalat meliputi segala bagian ubudiyah secara sempurna, maka dari itu ia lebih utama daripada bacaan al-Qur’an, dzikir dan do`a (di luar shalat), mengingat shalat mencakup semua hal tersebut bahkan disertai dengan ibadahnya seluruh anggota badan.

Ini merupakan dasar yang sangat bermanfaat, dengannya seorang hamba dapat membuka pintu ma`rifat (pengetahuan) tentang tingkatan berbagai amalan, serta menempatkannya pada tempatnya, agar ia tidak menyibukkan diri dengan yang mafdhûl (tidak utama) daripada yang fâdhil (utama). Akibatnya, iblis akan beruntung mendapat keutamaan yang ada di antara keduanya. Atau, dia akan melihat yang fâdhil lalu menyibukkan diri dengannya daripada yang mafdhûl, meskipun itu pada waktunya. Akibatnya, dia akan kehilangan seluruh kemaslahatannya, karena beranggapan bahwa kesibukannya dengan yang fâdhil itu lebih banyak dan besar pahalanya.

Yang demikian ini membutuhkan pengetahuan terhadap kedudukan, tingkatan dan tujuan berbagai amalan tersebut. Juga, pengetahuan untuk memberi setiap amalan haknya masing-masing, menempatkannya pada posisinya, membedakannya untuk suatu hal yang lebih penting, serta memilah amalan yang paling prioritas dan utama. Hal itu, mengingat dia masih mungkin untuk diraih dan dilakukan. Namun, jika hilangnya yang mafdhûl ini tidak mungkin bisa diraih lagi, maka pada saat itu menyibukkan diri dengannya menjadi lebih prioritas. Seperti, meninggalkan bacaan al-Qur’an untuk menjawab salam dan mendo`akan orang yang sedang bersin, meskipun pada dasarnya al-Qur’an lebih utama. Karena, saat itu sangat mungkin dia melakukan yang mafdhûl ini, lalu kembali melakukan yang fâdhil. Berbeda, jika dia membaca al-Qur’an lalu dia malah kehilangan kemaslahatan dari menjawab salam dan mendo`akan orang yang sedang bersin. Begitulah semua amalan jika saling berbarengan/ mendesak. Hanya Alla-lah yang memberi petunjuk.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]


[1]  Lihat Syarh an-Nawawi li Muslim, (17/49); dan al-Muntakhab, karya Ibnu Hajar, hal. 82.

[2]  Madarij as-Salikin, (1/85-92); Miftah Dar as-Sa’adah, hal. 129; dan at-Taqrib li ‘Ulum Ibnil Qayyim, hal. 77.