Di dalam mengkaji/menekuni displin ilmu apapun, diharuskan bagi seseorang untuk mengetahui dasar-dasar umum dan karakteristik khusus ilmu tersebut, sehingga orang yang mengkajinya memiliki pandangan akan ilmu tersebut. Dan seberapa besar kadar ilmu alat (ilmu penunjang untuk mendalami ilmu yang diinginkan) yang ia kuasai, sebesar itu pula pertolongan/kemudahan yang ia dapatkan dalam mengarungi ilmu tersebut. Yang mana ia bisa memasuki pasal-pasal (pembahasan) dari masing-masing bab dalam keadaan sudah diberi (memiliki) kunci-kuncinya.

Dan, apabila al-Qur’an al-Karim turun dengan bahasa Arab yang jelas, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ {2}

”Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2)

Maka kaidah-kaidah yang dibutuhkan oleh para Ahli Tafsir di dalam memahami al-Qur’an terpusat pada kaidah-kaidah bahasa Arab, cara memahami dasar-dasarnya, menghayati uslubnya (tata bahasanya) dan mengetahui rahasia-rahasia yang dikandungnya. Dan untuk hal itu semua ada pasal-pasal yang bertebaran (dalam kitab-kitab bahasa), pembahasan-pembahasan yang tersebar dalam cabang-cabang bahasa Arab dan ilmu-ilmunya. Hanya saja kami hanya mampu mengumpulkan dengan ringkas apa-apa yang wajib diketahui dalam masalah-masalah berikut ini:
Dhamir (kata ganti)

Dhamir (kata ganti) memiliki kaidah-kaidah bahasa yang disimpulkan oleh ulama Ahli Bahasa dari al-Qur’an, sumber-sumber bahasa Arab yang murni, hadits Nabawi, dan ucapan-ucapan orang-orang Arab yang dapat dijadikan rujukan, baik berupa prosa maupun puisi. Ibnul Anbari rahimahullah telah menulis kitab dalam dua jilid mengenai penjelasan tentang dhamir-dahmir yang ada dalam al-Qur’an. (al-Itqaan: 1/186)

Dan kaidah dasar pertama dalam masalah dhamir adalah bahwasanya, pemakaiandhamir adalah untuk mempersingkat (meringkas), maka ia telah mencukupi dari penyebutan lafazh-lafazh yang banyak, dan ia menempati posisi lafazh-lafazh tersebut, dengan tetap menjaga keselamatan (keutuhan) makna dan menghindari pengulangan. Maka ia (dhamir) di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


… أّعَدَّ اللهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا {35}

”… Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzaab: 35)

Telah menempati posisi dua puluh kata seandainya kata-kata tersebut diungkapkan tidak dengan dhamir, yaitu kata-kata yang tercantum dalam permulaan ayat di atas:


إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّآئِمِينَ وَالصَّآئِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أّعَدَّ اللهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا {35}

”Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzaab: 35)

Kaidah dasar berikutnya adalah bahwsanya penjelas (kata yang digantikan) mendahaului kata ganti (dhamir), dan para Ahli Nahwu (Ahli tata bahasa Arab) memberikan alasan pada kaidah dasar ini bahwa dhamir mutakallim (kata ganti orang pertama/pembicara) dan dhamir mukhathab (kata ganti orang kedua/lawan bicara) dijelaskan (diketahui maksudnya) dengan melihat secara langsung, sedangkan dhamir ghaib (kata ganti orang ketiga) tidak terpenuhi sisi penjelasan ini (tidak bisa dijelaskan/diketahui maksudnya dengan melihat secara langsung). Maka kaidah dasarnya adalah mendahulukan penyebutan kata tempat kembalinya dhamir sebelum penyebutan dhamir, agar bisa diketahui maksud dari dhamir tersebut. Oleh karena itu mereka berkata:”Tidak bisa mengembalikan dhamir pada kata yang datang setelah dhamir, baik dalam pengucapannya maupun dalam kedudukannya.”

Dan mereka (Ahli Nahwu) mengecualikan dari kaidah ini masalah-masalah di manadhamir pada masalah-masalah tersebut kembali kepada sesuatu yang tidak membutuhkan penyebutan tempat kembalinya dhamir, dikarenakan adanya indikasi-indikasi yang menunjukkan hal itu pada lazah itu sendiri, atau kondisi-kondisi lain yang meliputi (melingkupi) konteks pembicaraan. Ibnu Malik rahimahullah dalam kitab at-Tashiil berkata:”Hukum asalnya adalah mendahulukan penjelas dhamir ghaib (atas dhamir ghaib), dan ia (dhamir) tidak kembali ke lafazh yang jauh dari dhamir, kecuali dengan dalil. Dan dalil itu bisa dijelaskan secara tegas (jelas) dengan lafazhnya, atau tidak membutuhkan penjelas dalam bentuk lafazh dengan adanya objek yang ditunjuk baik secara inderawi atau pengetahuan, atau dengan menyebutkan sesuatu yang menjadi bagiannya, atau keseluruhannya, atau sesuatu yang menyerupainya atau yang menyertainya dengan sisi apapun.”

Dengan demikian, maka Marja’ Dhamir Ghaib (tempat kembali dhamir orang ketiga) berupa sesuatu yang dilafazhkan (diucapkan), mendahuluinya (dhamir) dan sesuai dengannya -dan ini adalah yang mayoritas dan banyak terjadi- seperti firman-Nya:


… وَنَادَى نُوحُ ابْنَهُ .. {42}

”…Dan Nuh memanggil anaknya …” (QS. Huud: 42) (dhamir ه pada kata ابْنَهُ datang setelah kata نُوحُ yang menjadi tempat kembali dhamir)

Atau yang mendahuluinya itu mengandung apa yang dimaksud oleh dhamir, seperti dalam ayat:


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ للهِ شُهَدَآءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ {8}

”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena dia (adil) itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu kerjakan.” (QS. Al-Maa’idah: 8)

Maka dhamir هُوَ kembali kepada kata benda keadilan yang terkandung dalam lafazh kata kerja اعْدِلُوا (berbuat adillah), maka maknanya menjadi “Keadilan lebih dekat dengan ketakwaan”.

Atau terkadang yang mendahuluinya itu menunjukkan kepada dhamir berdasarkan keniscayaan (keharusan), seperti dalam firman-Nya:


… فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءُُ فَاتِّبَاعُ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ …{178}

”.. Maka barangsiapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, … .” (QS. Al-Baqarah: 178)

Maka dhamir pada lafazh إِلَيْه kembali kepada si pemberi maaf, yag hal itu keniscayaan (keharusan/konskwensi) dari lafah عُفِيَ (diberi maaf).

Dan terkadang tempat kembali dhamir datang belakangan setelah dhamir secara lafazh, namun secara kedudukan (posisi) tidak, seperti dalam firman-Nya:


فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُّوسَى {67}

”Maka Musa merasa takut dalam hatinya.” (QS. Thaha: 67)

Atau terkadang secara lafazh dan kedudukan, seperti dalam dhamir sya’n (kata ganti yang menunjukkan hal atau perkara), atau dhamir qishah (kata ganti yang bermakna cerita), atau pada Ni’ma (kata kerja yang menunjukkan pujian), atau Bi’sa (kata kerja yang menunjukkan celaan), seperti dalam firman-Nya:


قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ {1}

”Katakanlah bahwasanya:”Dialah Allah, Yang Maha Esa.” (QS. Al-Ikhlash: 1)

Dan firman-Nya:


… فَإِذَا هِيَ شَاخِصَةٌ…{97}

”….Maka tiba-tiba terbelalaklah (mata orang-orang kafir)….” (QS. Al-Anbiyaa’: 97)

Dan firman-Nya:


… بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلاً {50}

”… Amat buruklah (iblis itu) sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim.”(QS. Al-Kahfi: 50)

Dan firman-Nya:


سَآءَ مَثَلاً الْقَوْمُ … { 177}

”Amat buruklah perumpamaan orang-orang (yang mendustakan ayat-ayat Kami) ….”(QS. Al-A’raaf: 177)

Atau terkadang ia (tempat kembali dhamir) datang belakangan yang menunjukkannya (menunjukkan dhamir tersebut), seperti dalam firman-Nya:


فَلَوْلآ إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ {83}

”Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan.”(QS. Al-Waaqi’ah: 83)

Maka dhamir rafa’ (kata ganti yang marfu’ yang menunjukkan pelaku), tersembunyi dan ditunjukkan (dijelaskan) oleh kata الْحُلْقُومَ , maka perkiraan kalimat tersebut secara lengkap adalah:


فَلَوْلآ إِذَا بَلَغَتِ الروح الْحُلْقُومَ

Atau terkadang tempat kembali dhamir bisa dipahami dari konteks kalimat, seperti dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ {26}

”Semua yang ada di atasnya (di atas Bumi) akan binasa.” (QS. Ar-Rahman: 26)

Dhamir ها pada kata عَلَيْهَا kembali kepada kata Bumi.

Dan juga dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:


إِ نَّآ أَنْزَلْنَاهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1}

”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan.” (QS. Al-Qadr: 1)

Dhamir ه pada kata أَنْزَلْنَاهُ maksudnya adalah al-Qur’an.

Dan firman-Nya:


عَبَسَ وَتَوَلىَّ {1}

”Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling.” (QS. ‘Abasa: 1)

Dhamir Mustatir (kata ganti yang tersembunyi) yang ada pada kata عَبَسَ maksudnya adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

dan firman-Nya:


أَمْ يَقُوْلُوْنَ اْفتَرَاهُ … {13}

”Bahkan mereka mengatakan:” Dia (Muhammad) telah membuat-buat/mengada-ada hal itu ( al-Qur’an) …” (QS. Huud: 13)

Maka huruf و yang ada pada kata يَقُوْلُوْنَ maksudnya adalah orang-orang Musyrik, dan kata ganti tersembunyi dalam kata اْفتَرَى adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kata ganti ه dalam kata اْفتَرَاهُ adalah al-Qur’an.

Dan bisa jadi dhamir kembali kepada lafazh, dan tidak kembali kepada makna, seperti dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:


… وَمَايُعَمَّرُ مِن مُّعَمَّرٍ وَلاَ يُنقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلاَّ فِي كِتَابٍ… {11}

”….Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuz)….(QS. Fathir: 11)

Maka dhamir ه pada kata عُمُرِهِ yang dimaksud adalah umur yang dipanjangkan yang lain (bukan yang pertama).

Dan terkadang dhamir kembali kepada makna dan tidak kepada lafazh, seperti dalam firman-Nya:


يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلاَلَةِ إِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدُُ وَلَهُ أُخْتُُ فَلَهَا نِصْفُ مَاتَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدُُ فَإِن كَانَتَا اثْنَتَيْنِ … {176}

”Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah. Katakanlah:”Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan),jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, …” (QS. An-Nisaa’: 176)

Maka dhamir pada كَانَتَا tidak didahului oleh lafazh tatsniyah (lafazh yang menunjukkan dua) tempat kembali dhamir tersebut, karena kata الْكَلاَلَةِ bisa menunjukkan satu, dua atau jamak. Maka dalam hal ini dhamir dijadikan tatsniyah dibawa kepada makna.

Dan terkadang disebutkan dhamir terlebih dahulu kemudian dijelaskan dengan sesuatu yang menjelaskannya. Seperti dalam firman-Nya:


.. إِنْ هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا … {29}

”Dan tentu mereka akan mengatakan (pula):”Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, da kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan…” (QS. Al-An’aam: 29)

Terkdang dhamir dijadikan tatsniyah dan kembali ke salah satu lafazh yang disebutkan, seperti dalam firman-Nya:


يَخْرُجُ مِنْهُمَآ اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ {22}

”Keluar Dari keduanya mutiara dan marjan.” (QS. Ar-Rahman: 22)

Karena ia (mutiara dan marjan) hanya keluar dari salah satunya (salah satu perairan) saja, yaitu perairan asin (laut), karena jika ia keluar dari salah satu dari keduanya berarti ia telah keluar dari keduanya. Dengan inilah az-Zajjaj dan yang lainnya berkata.

Dan terkadang dhamir kembali kepada sesuatu yang memiliki hubungan erat dengannya, misalnya berkenaan dengan masalah waktu pada ayat:


… لَمْ يَلْبَثُوا إِلاَّ عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا {46}

”… mereka seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi.” (QS. An-Naazi’at: 46)

Maksudnya adalah waktu pagi di hari itu, bukan waktu pagi sorenya, karena sore tidak memiliki waktu pagi.

Terkadang dalam masalah dhamir yang diperhatikan pertama kali adalah lafazh, kemudian setelah itu makna, seperti dalam firman-Nya:


وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ {8}

”Di antara manusia ada yang mengatakan:”Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 8)

Dhamir pada kata يَقُولُ disebutkan dalam bentuk tunggal didasarkan pada lafazhnya, kemudian disebutkan dalam bentuk jamak yaitu dalam kata وَمَا هُم didasarkan pada maknanya.

(Sumber:مباحث علوم القرآن karya Syaikh Manna’ al-Qaththan rahimahullah, Maktabah al-Ma’arif Riyadh hal. 198-201. Diterjemahkan dan dipsosting oleh Abu Yusuf Sujono)