Kehidupan terkadang membawa seseorang kepada keadaan di mana dia mesti memilih, seandainya pilihan itu mudah, terkadang pilihan yang terhidang ibarat simalakama, yang paling manis dari keduanya sangat pahit, ditambah lagi bila pilihannya antara Allah dengan manusia, yang pertama ditakuti adzabNya manakala didurhakai, yang kedua ditakuti amarahnya manakala tidak disetujui, lebih-lebih bila yang kedua adalah penguasa yang pedangnya terhunus yang bila tidak dipatuhi maka pedang bisa menyambar leher.

Kondisi yang di kalangan banyak orang cenderung memilih yang kedua, mementingkan menghindar dari amarah manusia dan sabetan pedang, mudharat yang hadir dan disegerakan, sementara untuk yang pertama, mudharat yang belum hadir, tidak terlihat, sehingga ia cenderung dikesampingkan. Padahal pertimbangan nalar lurus justru sebaliknya, mudharat hadir yang dikhawatirkan belum tentu terjadi, sementara yang belum hadir dipastikan terjadi, mudaharat hadir hanya kegetiran sesaat, sementara yang tidak hadir adalah kegetiran yang berkepanjangan.

Bila Anda dalam kondisi itu, apa yang Anda pilih, karena Allah atau karena manusia? Wajah Allah atau muka manusia? Mengucapkan yang haq atau berkelit untuk menghindari yang haq?

Dari Alqamah bin Martsad berkata, manakala Umar bin Hubairah tiba di Irak, dia mengundang al-Hasan dan asy-Sya’bi, keduanya ditempatkan di sebuah rumah, kedua tinggal di sana selama kurang lebih sebulan, kemudian Ibnu Hibairah datang kepada keduanya dan duduk dengan hormat di depan keduanya, dia berkata, “Sesungguhnya Amirul Mukminin Yazid bin Abdul Malik menulis sebuah surat kepadaku, aku tahu bahwa melaksanakan isinya sama dengan kebinasaan, bila aku menaatinya maka aku mendurhakai Allah, bila aku tidak mematuhinya maka aku menaati Allah. Menurut kalian apakah aku mempunyai alasan yang dibenarkan seandainya aku mengikutinya?”

Al-Hasan menjawab, “Wahai Abu Amru, Anda yang menjawab.” Maka asy-Sya’bi berbicara, dia berkata lunak cenderung kepada pendapat Ibnu Hubairah, seolah-olah dia memberinya pemakluman.

Maka Ibnu Hubairah bertanya kepada al-Hasan, “Bagaimana pendapatmu wahai Abu Said?” Maka al-Hasan menjawab, “Wahai Umar bin Hubairah, sudah dekat saatnya kedatangan seorang malaikat dari malaikat-malaikat Allah, keras dan kasar, tidak mendurhaki perintah Allah, dia mengeluarkanmu dari luasnya istanamu ke sempitnya kuburmu. Wahai Umar bin Hubairah, bila engkau bertakwa kepada Allah maka Dia akan melindungimu dari Yazid bin Abdul Malik dan sebaliknya Yazid bin Abdul Malik tidak mampu menjagamu dari Allah. Wahai Umar bin Hubairah, jangan merasa aman bila Allah melihatmu sedang melakukan perbuatan yang sangat buruk dalam rangka mematuhi Yazid bin Abdul Malik, akibatnya Dia bisa menutup ampunanNya di depanmu.”

Al-Hasan melanjutkan, “Wahai Umar bin Hubairah, sungguh aku telah bertemu dengan orang-orang dari angkatan pertama umat ini, berpalingnya mereka dari dunia padahal ia datang kepada mereka lebih kerasa daripada berkonsentrasinya kalian kepadanya padahal ia menjauh dari kalian. Wahai Umar bin Hubairah, sesungguhnya aku memperingatkanmu terhadap sebuah pertemuan di mana Allah telah memperingatkanmu terhadapnya, Dia berfirman,(artinya) “Hal itu untuk siapa yang takut saat menghadap kepadaKu dan takut kepada ancamanKu.” Ibrahim: 14. Wahai Umar bin Hubairah, bila kamu bersama Allah dengan menaatiNya niscaya Dia mencukupkanmu dari Yazid bin Abdul Malik, sebaliknya bila kamu bersama Yazid bin Abdul Malik dalam mendurhakai Allah maka Allah akan menjadikanmu bersandar kepadanya.” Maka Umar bin Hubairah menangis dan dia berdiri sambil menangis.

Esok tiba, keduanya diizinkan pulang dan diberi hadiah. Hadiah al-Hasan lebih banyak daripada hadiah asy-Sya’bi, maka asy-Sya’bi keluar ke masjid dan berkata, “Wahai manusia, barangsiapa di antara kalian bisa mementingkan Allah di atas makhlukNya maka silakan melakukan. Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, aku bukan tidak tahu apa yang diketahui oleh al-Hasan, tetapi aku mencari muka Ibnu Hubairah, maka Allah menjauhkanku darinya.”

Sebelum itu Rasulullah sudah bersabda, “Barangsiapa mencari ridha Allah sekalipun resikonya adalah amarah manusia, Allah akan meridhainya dan menjadikan manusia ridha kepadanya. Barangsiapa mencari ridha manusia sekalipun resikonya adalah amarah Allah, Allah akan memurkainya dan menjadikan manusia murka kepadanya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Aisyah. (Izzudin Karimi)

Dari Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah al-Maqdisi