Allah ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَآءً وَتَصْدِيَةً

“Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah adzab disebabkan kekufuranmu itu.” (al-Anfal: 35)

Yang dimaksud dengan ‘mukâ’, adalah: bersuit, yaitu kedua tangan digenggam kemulut lalu ditiup hingga mengeluarkan suara suitan. Sedangkan ‘tashdiyah’, adalah bersorak-sorak sambil bertepuk tangan. Kata kerja shaddâ, shaffaqa, dan shaffaha artinya sama (yaitu bertepuk tangangan sambil bersorak).

Sebagian ulama berkata, “Yang dimaksud oleh mereka dengan melakukan siulan (suitan) dan tepukan tangan adalah tindakan pengelabuan dan pencampuradukan agar orang-orang tidak mau mendengarkan al-Qur’an dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ini seperti dinyatakan oleh firman Allah ta’ala ,

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لاَتَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْءَانِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ

“Dan orang-orang yang kafir berkata, “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan al-Qur’an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka).” (Fushshilat: 26).

Allah ta’ala menamakan siulan (suitan) dan tepukan tangan mereka sebagai “shalat”, dikarenakan mereka memposisikannya dalam kedudukan do`a dan tasbîh,sebagaimana yang terdapat dalam kitab “Tafsir al-Qur’an” karya al-’Izz bin Abdussalam, (1/539).

Dan firman Allah ta’ala tentang kaum Nabi Luth ‘alaihi sallam ,

وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنكَرَ

“Dan kalian mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” (QS.al-‘Ankabut: 29) diartikan dengan makna “tashfîr” (bersiul), dan diartikan dengan makna yang lainnya, sebagaimana terdapat di dalam kitab “ad-Durr al-Mantsûr”, (5/157); dan ini termasuk penafsiran dengan salah satu artinya.

Di sini, saya akan memaparkan sebuah ungkapan yang komperhensif berkaitan dengan masalah “tashfîq” (tepuk tangan).” Saya katakan: “Tepuk tangan tidak disyariatkan (tidak dibenarkan) di dalam agama, selain pada satu tempat (kondisi) untuk suatu kebutuhan. Yaitu, bagi wanita di saat shalat jika terjadi sesuatu, semisal imam lupa di dalam shalat. Maka, pada saat itu dianjurkan/disunahkan bagi wanita yang bermakmum kepadanya untuk mengingatkannya (dengan tashfîq), sedangkan bagi laki-laki mengingatkan imam dengan mengucapkan “subhânallâh”, (perempuan mengingatkan imam dengan menepuk tangan). Hal ini berdasarkan tuntunan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu \’anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

التَّسْبِيْحُ لِلرِّجَالِ وَالتَّصْفِيْقُ لِلنِّسَاءِ.

“Bertasbîh bagi jamaah laki-laki dan menepuk tangan bagi jamaah perempuan..”

Hukum bertasbîh bagi makmum laki-laki adalah sudah menjadi kesepakatan para ulama, sedangkan menepuk tangan bagi makmum wanita (untuk mengingatkan imam yang salah), maka mayoritas ulama (jumhur) berpendapat demikian. Sedangkan pengikut mazhab Maliki menilai makruh bagi makmum wanita untuk menepukkan tangan (tashfîq), dengan alasan hadîts tersebut diutarakan oleh Nabi sebagai bentuk celaan. Namun, pendapat ini bertentangan dengan sunah Nabi shallallahu \’alaihi wasallam, karena ada hadîts lain yang bersumber dari Sahal bin Sa’ad as-Sâ’idi radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا نَابَكُمْ شَيْءٌ فِيْ صَلاَتِكُمْ فَلْيُسَبِّحِ الرَّجُلُ وَلْتُصَفِّقِ النِّسَاءُ.

 

“Jika ada sesuatu yang terlupakan oleh kalian di dalam shalat, maka hendaknya makmum laki-laki mengucap kalimat: ‘subhanallah’, sedangkan jamaah wanita menepuk tangan..” (HR. Abu daud).

Para ulama sepakat (sependapat) bahwa laki-laki (yang sedang shalat) itu mencegah orang yang berjalan di depannya dengan tidak menepuk tangan, namun mereka berbeda pendapat: apakah dia mencegahnya dengan isyarat tangan, mendorong, atau dengan bertasbîh? Adapun bagi wanita, maka jumhur berpendapat bahwa wanita mencegahnya dengan isyarat, sedang pengikut mazhab Hanafi berpendapat bahwa wanita mencegahnya dengan menepukkan tangan.
Para ulama sepakat bahwa menepuk tangan di dalam shalat yang dilakuakan oleh seorang laki-laki ataupun wanita dalam bentuk main-main hukumnya haram, dan itu bisa membatalkan shalat bila berlebihan.

Perkara umat Islam ini tetap berjalan selamat dan benar apabila mereka menjauhi tepuk tangan dan tidak menjadikannya sebagai agama. Kecuali, tepuk tangan yang dikecualikan -karena suatu kebutuhan- berdasarkan nash (hadîts) dalam satu kondisi, yaitu, bagi wanita untuk mengingatkan imam sebagaimana tersebut di atas. Lalu, muncullah di tengah-tengah umat ini bentuk ibadah dengan tepuk tangan yang dilakukan oleh sebagian ahli bid’ah sewaktu membaca dzikir, wirid dan hizib, pada acara-acara peringatan maulid, pujian-pujian baik di dalam rumah, masjid dan di tempat-tempat lainnya. Fenomena ini terlihat sejak abad keempat, karena al-Hafizh Ubaidillah bin Batthah sangat mengingkari mereka melakukan hal itu, kemudian para ulama melakukan pengingkaran, celaan, dan membid’ahkan para pelaku hal tersebut. Di antara para ulama yang bersikap keras terhadap hal itu adalah Al-Hafizh Ibnul Jauzi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, muridnya, Ibnul Qayyim dan para ulama lainnya baik yang dahulu maupun para ulama masa kini, dengan ijma’ (kesepakatan) bahwa beribadah dengan bertepuk tangan merupakan bentuk bid’ah yang sesat dan keluar dari tuntunan syariat yang benar. Maka dari itu, wajib menjauhi ibadah dengan cara seperti itu, dan wajib pula mencegahnya.

Selanjutnya, pada perjalanan abad keempat belas forum-forum pertemuan dan perkumpulan kaum muslimin telah disusupi oleh fenomena tepuk tangan sewaktu terkagum, meniru kebiasaan orang-orang kuffar musyrik bertepuk tangan untuk memberi support dan aplaus serta mengungkapkan rasa simpati dan kagum.

Jika bertepuk tangan pada waktu beribadah merupakan bid’ah yang sesat -seperti yang telah disebutkan terdahulu-, maka menjadikan tepuk tangan sebagai tradisi (kebiasaan) di dalam forum-forum pertemuan sebagai cara memberi support dan aplaus adalah bentuk sikap meniru yang mungkar dan kemaksiatan yang wajib dicegah. Hal itu berdasarkan hal berikut ini: “Sudah kita ketahui, bahwasanya tuntunan Nabi shallallahu’alaihi wasallam ketika mengagumi sesuatu adalah memuji kepada Allahta’ala, dan berdzikir kepada-Nya dengan bertakbir, tasbîh, tahlîl dan yang serupa dengannya. Hadîts-hadîts tentang hal ini sangat banyak dijumpai di dalam kitab-kitab hadîts, bahkan sebagian di antaranya telah dijadikan sebagai judul (bagi bab-bab hadits) oleh Imam al-Bukhari rahimahullah di dalam Shahih-nya, dengan mengatakan: “Bab takbir dan tasbîh sewaktu mengagumi sesuatu.” Sedangkan para ulama lainnya memasukkan pembahasan ini di dalam kitab-kitab dzikir, di antara mereka adalah Imam Nawawi rahimahullah di dalam “Kitab al-Adzkâr”, beliau berkata, “Bab dibolehkannya kagum dengan mengucapkan tasbîh, tahlîl dan yang semisalnya”. Alhamdulillah, atas dasar petunjuk yang diberkahi inilah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga hari ini melangkah. Dan di dalam koridor petunjuk ini pulalah seharusnya seorang muslim berbuat di dalam mengagungkan Allah ta’ala , dan melatih lisannya untuk berdzikir kepada Allah ta’ala.

Apabila hal itu telah diketahui, maka sesungguhnya kita tidak mengetahui di dalam berbagai riwayat yang bersumber dari para ulama yang menjadi panutan suatu tuntunan bertepuk tangan pada momen semacam ini, apalagi, adanya riwayat yang menganjurkan hal itu di dalam sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Atas dasar itu sama sekali tidak ada, maka bertepuk tangan di dalam berbagai perkumpulan majlis taklim dan lainnya, jika itu dilakukan sebagai bentuk ibadah (ta`abbud), maka hukumnya bid’ah yang secara syara’ diharamkan. Karena, bertepuk tangan bukanlah wasilah kita untuk beribadah kepada Allah ta’ala, dan ia menyerupai jenis bid’ah yang dimunculkan oleh sebagian kalangan sufi, yaitu bertepuk tangan sewaktu berdo`a dan berdzikir sebagaimana yang telah disinggung terdahulu.

Dan jika tepuk tangan tersebut dilakukan sebagai sebuah tradisi (kebiasaan), maka hal itu merupakan kemungkaran yang diharamkan, sebab itu berarti meniru orang-orang musyrik.

Terdapat hadîts dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu, bahwa ketika Rasulullah shallallahu \’alaihi wasallam memberitahukan kepada orang-orang Quraisy bahwasanya beliau telah melakukan perjalanan malam (isra’) ke Baitul Maqdis, mereka berkata, “Lalu pagi ini engkau berada di tengah-tengah kami?!” Beliau menjawab, “Benar.” Ibnu Abbas berkata, “Maka ada di antara mereka yang bertepuk tangan dan ada lagi yang memegang kepalanya sendiri keheranan karena beliau dianggap berdusta.” (HR. Imam Ahmad di dalam “al-Musnad”, no. 2820, Nasa’i dan yang lainnya).

Kita tidak mengetahui masuknya kebiasaan ini di dalam sejarah umat Islam, selain pada abad keempat belas, yaitu ketika di tengah-tengah kaum muslimin telah menggejala berbagai macam kebiasaan orang-orang kafir dan sikap meniru mereka.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Tepuk tangan adalah bentuk kemungkaran, yang mengasyikkan dan keluar dari batas kewajaran. Orang-orang yang berakal pasti menjauhi perbuatan semacam ini, dan pelakunya menyerupai orang-orang musyrik dalam apa yang mereka lakukan di sekitar Baitullah, yaitu bertepuk tangan yang karenanya Allah ta’ala mencela mereka dan berfirman,

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَآءً وَتَصْدِيَةً

“Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (al-Anfal: 35).
Kata mukâ berarti siulan, sedangkan kata tashdiyah berarti tepuk tangan.” Kemudian Ibnul Jauzi berkata, “Di dalam tepuk tangan ini terdapat bentuk sikap meniru kaum wanita. Seorang yang berakal tidak akan sudi keluar dari kebenaran dan beralih melakukan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang kafir dan kaum wanita.”
Maka, wajib bagi seorang muslim untuk selalu bertakwa kepada Allah ta’ala di dalam setiap tindakan dan perbuatannya, dan hendaknya bersikap sangat hati-hati menyikapi sesuatu yang disandarkan kepada syariat agama (karena belum tentu hal itu diajarkan oleh agama. Ed.).

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]