Di antara hal-hal baru (bid`ah) di dalam ibadah adalah: beribadah dengan sya’ir dalam do`a dan dzikir, baik secara berjamaah maupun perorangan, yang mereka beri nama dengan nuzhum al-shawt (paduan suara) dan as-samâ’ untuk menyesatkan orang-orang awam. Mereka katakan: “As-samâ’ adalah jaring untuk memerangkap orang-orang awam”, agar hati mereka lembut dan penuh dengan kecintaan kepada Allah Ta’ala, serta mencapai tingkatan: “as-sukr” (mabuk) dan “ghalabah” (tripping,). Semua ini adalah bid`ah yang dibuat-buat, dan termasuk perbuatan menjadikan yang lebih hina sebagai ganti apa yang lebih mulia, dan perbuatan mengikuti dugaan dan hawa nafsu. Ia mencakup penyakit syubhat dan syahwat,

إِنْ هِيَ إِلآ أَسْمَآءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُم مَّآأَنزَلَ اللهُ بِهَا مِن سُلْطَانٍ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَمَاتَهْوَى اْلأَنفُسُ وَلَقَد جَآءَهُم مِّن رَّبِّهِمُ الْهُدَى

Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (an-Najm: 23). Kata ‘azh-zhann’ di dalam ayat ini, berarti: syubhat. Sedangkan kalimat ‘wa mâ tahwa al-anfusu’, berarti: nafsu syahwat.

Coba perhatikan bagaimana setan mempermainkan banyak orang dari satu arah, sementara para ahli kebatilan dan pengang-guran dari arah yang lain. Mereka memalingkan orang-orang tersebut dari dzikir dan do`a yang disyariatkan agama yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka melantunkan bait-bait syair  untuk orang awam untuk tujuan ibadah dengan berbuat bid`ah dalam agama, mengabai-kan do`a yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka, beribadah dengan sya’ir-sya’ir ini sebagai ganti dari wirid-wirid dan do`a-do`a yang disyariatkan adalah bentuk pelanggaran di dalam do`a. Dan keba-nyakan dari sya’ir itu berisi ungkapan-ungkapan syirik, tawassul yang bid’ah, ghuluw, berlebih-lebihan dalam memuji, sanjungan, dan rayuan.

Mereka mengharuskan muridnya berwirid dengannya, dan mereka menyusunnya berdasar konteks waktu, tempat dan kondisi-kondisi tertentu. Semua ini adalah bid’ah yang diada-adakan di dalam agama, dan bentuk penentangan terhadap petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang wajib diberantas beserta semua hal yang berkaitan dengannya, dan yang wajib diingkari. Tidak boleh bagi seorang muslim yang bertauhid untuk menghadiri majlis-majlis semacam ini, yaitu majlis kaum pengangguran, ahli bid`ah. Dan apa yang dipilihkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk umatnya itu jauh lebih baik, selamat dan menguntungkan.

Paraulama secara berkesinambungan telah berupaya menun-jukkan kalimat kebenaran (al-haq) untuk mengingkari perbuatan bi`ah ini dan mengingkari pelakunya, serta mengingkari kebiasaan mereka jadikannya sebagai sarana untuk beribadah di dalam dzikir dan do`a, baik dalam bentuk sya’ir murni, tepuk tangan, siulan, gendang dan lain sebagainya. Upaya ini dimulai dari pengingkaran Imam Syafi’i (w. 204 H), al-Hafizh Yazid bin Harun (w. 206 H), dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) terhadap dzikir dengan lan-tunan suara yang diiringi musik (taghbîr), hingga sampai pada giliran al-Hafizh Ubaidillah bin Muhammad bin Batthah (w. 387 H) di dalam kitabnya “Asy-Syarh wa al-Ibânah, hal. 364.

Muhammad bin Walid ath-Thurthusyi (w. 520 H) berkata, “Di antara keanehan yang paling aneh, adalah bila kamu berpaling dari do`a-do`a yang telah disebutkan oleh Allah ta’ala di dalam kitab-Nya (al-Qur’an) melalui para nabi dan orang-orang suci yang dibarengi dengan kemustajaban, lalu sebaliknya kamu justeru memilih ungkapan-ungkapan para penya’ir dan penulis, seolah-olah kamu dalam peng-akuanmu telah berdo`a dengan seluruh do`a-do`a mereka, lalu kamu merasa tidak membutuhkan do`a-do`a yang bersumber dari selain mereka.”

Di antara hal-hal baru lainnya yang dimunculkan, adalah:

1. Melantunkan bait-bait qasidah untuk mengemis kepada orang-orang mati dan meminta pertolongan mereka, dan itu diucapkan di sisi jenazah, di kuburan, dan majlis-majlis perkumpulan. Juga, meng-adakan halaqah di dalam masjid untuk tujuan tersebut di masjid-masjid, dan juga melakukan kegiatan ritual di sekeliling kuburan orang yang dianggap wali, serta melagukan bait-bait qasidah terse-but dengan bareng-bareng, bahkan terkadang diiringi dengan bunyi rebana dan tabuhan gendang.

2. Berdzikir dengan menyanyikan qasidah, seperti ‘al-burdah’ karya al-Bushairi dengan berbagai unsur syirik, kesesatan dan ghuluw yang terkandung di dalamnya.

3. Berdzikir dan berdo`a dengan melantunkan ‘nudhum al-hamziyyah fî al-istighâtsat bi khair al-bariyyah’ (bait-bait sya’ir berirama huruf hamzah berisi meminta pertolongan kepada sebaik-baik manu-sia) dengan segala unsur syirik dan kesesatan yang terkandung di dalamnya.

4. Berdo`a dan betawassul dengan melantunkan ‘mandhûmat asmâ’ ahli badr’ (sya’ir tentang nama-nama tentara perang Badar).

5. Berdzikir dengan menyanyikan ‘mandhumat al-asmâ al-husnâ’ (sya’ir tentang nama-nama Allah ta’ala) dan berdo`a dengan membaca-kannya di belakang jenazah dan dalam berbagai halaqah di dalam masjid. Dan di dalamnya berisi pula nama-nama yang tidak bersum-ber dari Allah ta’ala.

6. Melantunkan sya’ir sebelum adzan dari atas menara.

7. Beribadah dengan melantunkan ‘al-qashaid al-ghazaliyyah’ (qasidah-qasidah percintaan) dari atas menara guna memacu sema-ngat ahli dzikir.

8. Beribadah dengan bait-bait sya’ir yang mereka beri nama ‘nudhum ummat khair al-anâm’ (sya’ir-sya’ir umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), yang dilantunkan oleh seorang muadzin setelah adzan shalat Subuh.

9. Melantunkan dua bait sya’ir setelah shalat Jum’at dengan niat agar mati dalam keadaan Islam, yaitu dua bait sya’ir Abu Nuwas: “ilâhî lastu lil-firdausi ahlan….. dst’.

10. Melantunkan qasidah-qasidah Andalusia(muwassyahât) dan qasidah rajaz pada waktu puasa sebelum berbuka. Dan terkadang dengan diiringi oleh tepukan tangan dan tabuhan rebana.

11. Mengadakan halaqah di dalam masjid, yang pada halaqah tersebut seorang qari’ membacakan al-Qur’an, dan pembaca do`anya berdo`a dengan qasidah dan sya’ir, dan yang lain menyambutnya dengan satu suara.

12. Menghapal dua bait sya’ir berikut ini agar sembuh dari sakit mata (trachoma), yaitu: ‘yâ nâdhirî bi ya’qûba A’îdzukumâ… (Hai Yang Melihatku, dengan Nabi Yaqub aku lindungkan kalian berdua)…. dst’.

13. Me-ruqyah (pengobatan dengan do`a) dengan membacakan dua bait sya’ir yang di dalamnya berisi nama-nama tujuh ulama fikih. Bunyi sya’ir: ‘idzâ qila man lil-fiqhi sab’atu abhurin …. dst’.

Beribadah dengan sya’ir dan nyanyian sebagai cara dzikir, do`a dan wirid, adalah bid’ah yang dimunculkan pada akhir-akhir abad kedua hijriyah, yang sengaja disusupkan oleh orang-orang zindik kepada kaum muslimin di Baghdad dengan nama “taghbîr, dan pada pembahasan terdahulu sudah kita kutip pengingkaran para ulama terhadap mereka. Juga tentang asal “taghbîr” ini, yaitu berasal dari bid’ah yang dibuat oleh orang-orang Nasrani di dalam ibadah dan nyanyian mereka. Bahkan, jelas sekali bagi saya, bahwa beribadah dan me-ruqyah dengan membacakan sya’ir merupakan warisan para pemuja berhala bangsa Yunani pada masa sebelum diutusnya Nabi Isa bin Maryam ‘alaiha wasallam, mengingat orang-orang Yunani dan para pemuja berhala lainnya selalu melantunkan ‘al-ilyâdzah’[1] karya Homerus pada waktu berdzikir, meminta perlindungan, dan me-ruqyah (mengusir ruh jahat dengan membaca mantera). Coba lihat bagaimana virus bid’ah ini menular kepada kaum sufi dari kaum muslimin dengan sanad yang paling rusak yang pernah diketahui oleh dunia. Yaitu: “Zindik meriwayatkannya dari orang Nasrani, dan ia meriwayatkannya dari penyembah berhala.” Lalu, apakah boleh bagi seorang muslim -setelah ini- untuk menjadikan nyanyian sebagai wirid, amalan dzikir, tameng dan pengusir ruh jahat (ruqyah)?!

Peringatan[2]

Saya tidak mengetahui di dalam khutbah-khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, juga khutbah-khutbah para sahabatnya radhiyallahu ‘anhu terdapat pemakaian satu bait sya’ir atau lebih sebagai dalil. Dan atas dasar inilah, para pengikut setia mereka berjalan.

Sebagian khatib pada abad keempat belas telah mencantumkan satu bait sya’ir atau lebih di dalam khutbah Jum’at mereka, bahkan terkadang menjadikan potongan-potongan sya’ir tersebut sebagai dalil, dan terkadang justru melantunkan bait sya’ir yang dibuat oleh seorang ahli bid’ah, zindik dan orang gila.

Momen di dalam khutbah Jum’at adalah momen yang sarat de-ngan berbagai kekhususan yang tentunya berbeda dengan momen-momen lainnya, semisal pada waktu belajar, memberi ceramah, nasihat dan peringatan. Dia adalah sebuah momen yang agung untuk menyampaikan pesan-pesan agama ini secara puritan (bersih), yang di dalamnya khatib dengan lantang menyampaikan nash-nash al-Qur’an dan hadîts, mengagungkan keduanya di dalam hati, serta menjelaskannya sesuai dengan kedudukannya dan kedudukan berbagai kewajiban di dalam Islam. Maka, saya tidak melihat bagi anda -wahai khatib Jum’at- selain harus menjauhi nyanyian di dalam khutbah Jum’at sebagai tindakan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengingat beliau jauh lebih baik dibanding anda, dan jauh lebih sempurna dibanding kedudukan anda. Hanya Allah-lah tempat untuk memohon pertolongan.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul HaqJakarta]


[1]  al-Ilyâdzah, adalah sebutan orang-orang Yunani terhadap ibukota negara-negara ‘ath-tharâwid’ –dekat selat ad-Durdunîl-, yaitu sebuah prahara di dalam cerita berseri yang mengkisahkan tentang peperangan yang berlansung sangat lama di kota tersebut, Buku qashidah ini memuat sekitar enam belas ribu bait sya’ir. Seorang Nasrani di Lebanon bernama Sulaiman al-Bustani telah menterjemahkannya ke dalam bahasa Arab dan mencetaknya dalam dua jilid kitab. Isi pembukaannya adalah: “Wahai wanita penyair, nyanyikanlah kepada kami dan ceritakanlah tentang kemarahan (peperangan) yang maha dahsyat dari seorang Akhila bin Qila,’. Akhila bin Qila: adalah salah seorang pemimpin mereka. Sya’ir ini diajarkan secara turun temurun dan dinyanyikan oleh banyak orang. Khusus bagi kalangan tuna netra sya’ir ini mendapat perhatian yang lebih agar derajat mereka bisa terangkat dengannya. Sya’ir ini juga telah diterjemahkan ke berbagai bahasa selain bahasa Arab, namun terjemahan Sulaiman al-Bustani ini terhitung terjemahan yang paling pertama. Dia menyajikan terjemahannya ini dengan dua ratus lembar tentang Homerus beserta ilyâdzah-nya, dan sya’irnya yang lain. Dia menyusunnya sesuai dengan wadzan (irama) sya’ir Arab, menghapus poin-poinnya pada beberapa tempat dan membuat kesalahan pada beberapa tempat yang lain. Dan hal semacam itu, tidaklah asing bagi orang kafir. Berikut ini, saya akan memaparkan ringkasan perkataannya tentang Homerus dan sya’irnya sebatas untuk menelaah, bukan untuk menjadikan sandaran, kemudian setelah itu, saya mengomentari kesalahannya:

“Sesungguhnya Homerus adalah julukan (gelar) bagi penyair ini sebagaimana dise-butkan bahwa dia hidup sejak tiga puluh abad atau dua belas abad sebelum masehi, dan tidak pernah diketahui nama asli dan nasabnya. Dikatakan: dia adalah seorang tokoh fiktif, sama seperti tokoh-tokoh yang terdapat dalam kisah seribu satu malam dan yang lainnya. Dikatakan juga: dia adalah tokoh yang nyata ada (hakiki), namun di-kalahkan oleh gelarnya (Homerus), dikarenakan suatu hal yang besar, yaitu dia adalah bahasa Yunani. Lalu mereka berselisih pendapat tentang artinya.Adayang mengata-kan, artinya adalah ‘ar-rahînah’ (sandera) mengingat dia berada di dalam peperangan di antara para tawanan.Adayang berpendapat bahwa ia merupakan rangkaian (peng-gabungan) dari dua kata, yaitu: ‘seorang yang berbicara di dalam majlis’.Adalagi yang berpendapat: ia berarti orang yang buta, dan ini dikuatkan oleh keadaanya yang buta.

Sebagaimana terjadi simpang siur dalam namanya, dan arti gelarnya, begitu pula ter-jadi simpang siur mengenai tempat kelahirannya, apakah dia lahir di ‘Izmîr’ atau di tempat lainnya?Adayang mengatakan: dia dilahirkan di Mesir, namun pendapat ini tidak bisa dijadikan sandaran.

Mereka berkata, Sudah terlihat pada masa kecilnya gambaran akan kepintaran dan kecerdasannya. Salah seorang nelayan menjadikannya sebagai teman yang menemani-nya, lalu dia pun menempuh perjalanan ke Ebiria atau Spanyol, dan di sanadia mengalami sakit mata (trachoma) dan akhirnya mengalami kebutaan. Lalu, dia kembali ke negara asalnya ‘Izmîr’ setelah memperoleh pelajaran berharga dari keterasingannya, akan tetapi di negaranya tersebut dia merasa tidak bahagia, lalu dia pun pergi menuju negara-neagara jajahan orang-orang Kufah, di belakang sungai Hurmus, sampai pada saat dia berhenti di depan pintu toko, dia melantunkan beberapa bait sya’ir yang mengadukan keadaannya, sehingga pemilik toko itu pun terkagum dan memberinya tempat. Lalu dia pun mempersembahkan di hadapan pemilik toko bersama rekan-rekannya beberapa lagu dan nyanyian keagamaan, hingga akhirnya dia mempunyai kedudukan di mata tuan rumah dan disukai. Setelah beberapa waktu kemudian dia pergi ke negara lain, dan para penduduknya sangat menghormatinya, dia pun menya-nyikan sya’ir kepada mereka sehingga mereka merasa senang dia tinggal bersama mereka. Dia pun mensyaratkan kepada mereka untuk menanggung biaya hidupnya, maka sebagian mereka berkata, “Jika para tuna netra memperdengarkan bait sya’ir kepada kalian, maka mereka datang untuk mendapat tanggungan hidup mereka.” Seketika, dia pun marah kepada mereka dan akhirnya pergi ke ‘Fuqiya’ dekat ‘Izmîr’, di sana dia dijamu oleh seorang guru madrasah. Guru tersebut mendengarkan darinya sya’ir-sya’irnya dan menghafalnya, lalu ia menutup madrasahnya dan pergi ke pulau ‘Saqis’. Di sana, guru itu menyanyikan sya’ir-sya’ir tersebut kepada penduduknya, dan mengklaim sya’ir-sya’ir itu adalah karyanya. Ketika Homerus mendengar informasi tentang hal itu, dia segera berangkat menuju tempat tersebut meskipun banyak rintangan berat meng-hadang. Di sana, dia menjadi orang terhormat lalu dia menyanyikan qasidah-qasidah-nya yang terkenal dengan ‘harb az-zarâzîr’ (perang zarazir), ‘harb adh-dhafâdi’ wa al-fîrân’ (perang katak dan tikus), dan ’al-karkûnah’. Dia pun menjadi tenar dengan kecerdasan dan sya’ir-sya’irnya, dan banyak orang yang menggemarinya. Kemudian, dia terdorong untuk hijrah ke Athena, namun di tengah perjalanannya sewaktu di dalam kapal dia jatuh sakit, sehingga dia berubah pikiran untuk berlabuh ke pulau ‘Zeus’, di sana dia menemukan ajalnya dan akhirnya dikubur di dekat pantai.

Ini adalah ringkasan biografi Homerus yang telah dibumbui oleh banyak cerita-cerita fiktif dan bentuk pengkultusan. Jika bukan malah cerita ini sendiri sebenarnya fiktif. Karena begitu terkenalnya tokoh ini, maka ada mata uang yang dicetak dengan mema-kai namanya. Orang-orang Yunani, para raja, pemimpin, ulama dan orang-orang shaleh berebut untuk mempelajari sya’irnya, mengajarkannya dan menyebar luaskan kan-dungannya yang mengajarkan akhlak. Lalu dalam perjalanannya, sya’ir tersebut telah disusupi oleh hal-hal baru dan tambahan. Maka, berkumpullah tujuh puluh ulama untuk melakukan pelurusan terhadapnya, seperti berkumpulnya kelompok tujuh puluh untuk meriwayatkan Taurat dari bahasa Ibriyah kepada bahasa Yunani. Dan akhirnya tersebar luaslah sya’ir-sya’irnya yang terdiri dari ‘al-ilyâdzah’ dan lainnya. Sebagai-mana sya’irnya pengarang ‘syahnâmah’ yang diriwayatkan oleh orang-orangPersia, dan sya’irnya si Fulan dan si Fulan yang diriwiyatkan oleh orang-orang Arab.

Klimaks dari pengkultusan mereka tersebut adalah menjadikan sya’ir Homerus ini se-bagai do`a tameng dan perlindungan diri oleh orang-orang Yunani, Romawi dan bangsa-bangsa Eropa lainnya. Mereka menerjemahkan sya’rnya ini ke berbagai macam bahasa, dan bahkan dipelajari di sebagian universitas disana, meskipun sebagian kalangan orientalis mengingkarinya dan berpendapat Homerus sebagai sosok pribadi yang fiktif.

Masuknya sya’ir-sya’irnya Homerus ke negeri Arab terjadi pada masa khilafah Abba-siyyah di Baghdad, akan tetapi sya’ir-sya’ir tersebut belum diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Karenanya, orang-orang yang mempercayai adanya sosok ini hampir tidak memverifikasi sedikit pun dari sya’ir-sya’ir yang dinisbatkan kepada Homerus, selain ‘al-ilyâdzah’, dan ‘al-ûdzîsiyyah’ (udesa), karena selain dari keduanya dianggap jiplakan (plagiat), seperti ‘harb az-zarâzîr’ dan lain-lain.

Inilah ringkasan tentang Homerus dan ‘ilyâdzah’nya yang bisa dipaparkan di sini, dan hal itu karena saya terdorong oleh adanya sebagian kalangan sufi dari kaum muslimin yang menjadikan nyanyian sebagai wirid dan amalan pagi dan petang, seperti keadaan para pemuja berhala dan lainnya terhadap ‘al-ilyâdzah’ ini. Semoga ini bisa menjadi pendorong bagi orang yang meniru mereka dari kaum muslimin agar meninggalkan amalan ibadah dengan sya’ir di dalam wârid dan ruqyah.

Dan akhirnya saya tutup catatan pinggir ini dengan dua hal:

Pertama, mengingatkan kaum muslimin agar tidak menerjemahkan ‘al-ilyâdzah’ ini ke dalam bahasa Arab sepanjang masa. Karena, Allah ta’ala telah menganugerahkan Islam kepada mereka dan bahasa Arab sebagai bahasa yang paling indah. Dan secara mutlak para penyair Arab adalah yang paling fasih di dunia ini.

Kedua, Kesalahan al-Bustani bahwa al-ilyâdzah adalah qasidah yang terpanjang yang pernah dikenal oleh sejarah kemanusiaan, Sebab tidak diketahui pada umat yang mampu mengungguli orang-orang Arab dalam hal itu. Di sana terdapat Muhammad bin Ahmad bin ar-Rabi’ asy-Syafi’i (w. 335 H) yang mempunyai qasidah tentang sejarah dunia sebanyak seratus tiga puluh ribu bait sya’ir, dan sebelumnya ada Basyr bin al-Mu’tamir al-Hilali al-Baghdadi (w. 310 H) yang mempunyai qasidah sebanyak empat puluh ribu bait sya’ir, juga Basyir al-Ibrahimi yang mempunyai qasidah rajaz sebanyak tiga puluh enam ribu bait sya’ir yang dia karang sewaktu berada di dalam penjara, sebagaimana yang terdapat di dalam buku biografinya. Setelah menuturkan hal ini, al-Kitani di dalam kitabnya ‘at-Tarâtîb al-Idâriyyah’ (2/184-185) berkata, “Bagaimanapun kita menduga bahwa jumlah bait sya’ir tersebut terlalu berlebihan, maka setiap qasidah-qasidah ini melebihi jumlah bait ‘al-ilyâdzah’ yang jumlahnya hanya enam belas ribu bait saja’.

[2]  Lihat at-Tarâttîb al-Idâriyyah, (2/255, 299-300), yaitu dua bab penting pada awal penulisan sya’ir, dan anjuran untuk menjaganya agar bisa dijadikan syahid (dalil) guna menjaga lisan orang Arab.