Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Khaththab –semoga Allah meridhainya-, ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

‘Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang diniatkannya. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Penjelasan :

Sabda beliau, إِنَّمَا kata ini mengandung makna hashr (makna pembatasan). Yakni, menetapkan hukum yang ada pada kontek kalimat dan meniadakan yang lainnya.

Sabda beliau, الْأَعْمَالُ setiap perbuatan. Kata الْأَعْمَالُ adalah bentuk jama’ dari kata عَمَلٌ (perbuatan), yang mencakup perbuatan hati, lisan dan anggota badan. Perbuatan hati, yaitu semua perbuatan yang bersumber dari hati, seperti rasa tawakkal kepada Allah, dll. Perbuatan lisan, yaitu, semua amalan yang bersumber dari gerakan lisan. Adapun perbuatan anggota badan; maka hal ini adalah semua perbuatan yang dihasilkan dari usaha kedua tangan dan kaki.

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, بِالنِّيَّاتِ  tergantung niatnya. Kata النِّيَّاتُ adalah bentuk jama’ dari kata  النِّيَّةُ yang secara bahasa berarti ‘maksud’ dan ‘tujuan’. Adapun secara istilah syar’i, niat adalah kuatnya hati untuk melakukan suatu ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Tempat munculnya niat adalah hati, dan niat pada dasarnya adalah perbuatan hati yang tidak ada kaitannya dengan amal angota tubuh lainnya, seperti mulut. Oleh karenanya, sama sekali tidak membutuhkan pengucapan, karena kita semua beribadah kepada Dzat yang Maha Mengetahui apa yang nampak maupun bathin.

 إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ مِنَ الْقَوْلِ وَيَعْلَمُ مَا تَكْتُمُونَ

Sesungguhnya Dia mengetahui perkataan (yang kamu ucapkan) dengan terang-terangan dan Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan. (Qs. al-Anbiya : 110)

Allah ‘Azza wa Jalla mengetahui semua yang terlintas di dalam hati manusia,

وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ ۖ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui segala isi hati. (Qs. al-Mulk : 13)

Anda tidak sedang menghadap sesuatu yang tidak mendengar sehingga membutuhkan pemberitahuan bahwa Anda akan melakukan sesuatu peribadatan, akan tetapi sungguh Anda akan menghadap Dzat yang mengetahui apa yang dibisikan hati Anda.

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى  Dan sesunggunya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang ia niatkan.

Ini tentang niat amalan. Dan, manusia dalam hal ini sangat berbeda satu sama lain. Bisa saja, dua orang yang melakukan shalat yang sama, namun pahala mereka berdua sangat berbeda, bagaikan jarak antara timur dan barat, sebab yang satu berbuat dengan penuh kaikhlasan sedangkan yang satunya tidak demikian (yakni, ia riya, sum’ah dan lain-lain). Bisa juga dua orang yang sama-sama mempelajari tauhid, fikih atau tafsir dan lain sebagainya, namun yang satu jauh dari Surga-Nya Allah, sedangkan yang satunya dekat dengannya. Karena adanya perbedaan dalam niatnya, yang satu dengan niat untuk menyebarkannya kepada ummat, sementara yang lainnya dengan niat agar mendapatkan harta dunia dan pujian manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa yang mempelajari ilmu dimana dituntut dari pelakunya keikhlasan kepada Allah, sementara ia melakukannya karena ingin mendapatkan kesenangan dunia, niscaya ia tidak akan mencium baunya Surga (HR. Abu Dawud)

Kemudian -dalam hadis ini- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan perumpamaan dengan seorang yang berhijrah, yaitu berpindah dari daerah kafir kepada daerah Islam, seraya mengatakan,

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

‘Barangsiapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang diniatkannya.

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya.

Contohnya, seperti yang dilakukan oleh para sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang berpindah dari Makkah ke Madinah sebelum pembebasan kota Makkah, di mana yang diinginkan mereka adalah hanya mengharap pahala dan keridhaan Allah. Ini adalah contoh niat yang baik, niat yang ikhlash. Maka, dengan niat yang baik, niat yang ikhlash inilah mereka mendapatkan apa yang diniatkannya. Bahkan, sekalipun maut sudah menjemputnya sebelum mereka sampai ke tujuannya. Kebaikan itu akan tetap didapatkannya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang  (Qs. an-Nisa : 110)

Sabda beliau, “Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang diniatkannya.”

Ini adalah contoh niat yang tidak baik, niat yang tidak ikhlash, niat yang salah. Yang benar adalah seharunya ia ikhlash di dalam melakukan amal ibadah yang mulia ini, yakni, berhijrah.  Oleh karena ketidak ikhlasannya inilah maka ia tidak mendapatkan pahala. Meskipun bisa jadi ia berpeluang mendapatkan hal yang berfisat duniawi yang diinginkannya. Bisa jadi pula, ia tidak mendapatkannya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا

Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki (Qs. al-Isra : 18)

Ibnu Katsir –semoga Allah merahmatinya- mengatakan :  Dzat yang Maha Tinggi mengkhabarkan (dalam ayat ini) bahwa tidak setiap orang yang mencari dan menginginkan dunia dan nikmat-nikmat yang ada di dalamnya akan mendapatkannya. Bahkan, yang akan mendapatkan apa yang diinginkannya hanyalah bagi orang yang dikehendaki oleh Allah ta’ala. (Tafsir Ibnu Katsir, 5/62)

Dengan demikian, sungguh merugi bagi orang-orang yang melakukan amal ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla semisal berhijrah atau yang lainnya yang seharusnya ia lakukan dengan penuh keikhlasan, semata mengharap pahala dan ridha Allah ‘Azza wa Jalla, namun ia justru meniatkannya untuk tujuan duniawi. Mereka merugi, karena ibadahnya sia-sia belaka, tidak mendapatkan pahala dari Allah ‘Azza wa Jalla, amalnya tidak diterima-Nya.

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِي قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ : أَرَأَيْتَ رَجُلًا غَزَا يَلْتَمِسُ الْأَجْرَ وَالذِّكْرَ مَالَهُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَا شَيْءَ لَهُ فَأَعَادَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ يَقُوْلُ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَا شَيْءَ لَهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ اللهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

Dari Abu Umamah al-Bahiliy-semoga Allah meridhainya-, ia berkata, ‘ Seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia berkata, ‘Apa pendapat Anda tentang seseorang yang berperang dalam rangka mencari pahala dan agar disebut-sebut (sebagai pemberani, pahlawan, dll), apa yang akan ia dapatkan ? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab, ‘ia tidak akan mendapatkan apa-apa.’ Lalu, orang itu mengulanginya tiga kali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap saja mengatakan kepadanya, ‘ia tidak akan mendapatkan apa-apa.’ Kemudian, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal melainkan yang dilakukan dengan ikhlash dan untuk mencari wajah-Nya. (HR. an-Nasa-i)

Mereka –orang-orang yang tidak ikhlash dalam niatnya kala beribadah kepada Allah- juga merugi karena boleh jadi pula mereka tidak mendapkan apa yang mereka inginkan dari tujuan duniawinya. Semoga kita, saya dan Anda tidak termasuk golongan mereka. Dan, semoga pula keikhlasan senantiasa menyertai setiap niatan kita dalam melakukan segala bentuk amal ibadah kepada-Nya. Karena, memang inilah kewajiban kita kepada-Nya.

Faedah :

  1. Hadis ini merupakan salah atu hadis tentang inti ajaran Islam, sebab kebanyakan ulama mengatakan,”Inti ajaran Islam kembali kepada dua hadis; pertama hadis ini (hadis Umar bin Khaththab), dan kedua, hadis ‘Aisyah, di mana beliau bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka dia tertolak (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadis  Umar bin Khaththab adalah rujukan serta timbagan amalan hati, sedangkan hadis ‘Aisyah merupakan rujukan untuk amalan lahir.

  1. Hadis ini sangat mendorong kita untuk selalu ikhlash kepada Allah ‘Azza wa Jalla, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah membagi manusia kepada dua macam. Pertama, manusia yang menginginkan dengan amalnya wajah Allah ‘Azza wa Jalla dan balasan hari akhirat. Kedua, sebaliknya. Yakni, manusia yang menginginkan dengan amalnya bukan wajah Allah ‘Azza wa Jalla dan bukan balasan hari akhirat. Ia menginginkan balasan duniawi. Hal ini jelas sekali, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menganjurkan kita untuk selalu ikhlash kepada-Nya.

Wallahu A’lam (Redaksi)

Sumber :

Banyak mengambil faedah dari “Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah”,  Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, semoga Allah merahmatinya.