Kelahiran Seorang Hamba dan Sekaligus Rasul, ‘Isa putera Maryam 

Banyak ulama Salaf yang menyebutkan bahwa Jibril ‘alaihissalam meniupkan ruh pada saku kantong Maryam, lalu tiupan itu turun ke farji (kemaluannya) lalu ia hamil seketika itu juga, sebagaimana seorang perempuan hamil setelah digauli oleh suaminya.

Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa Jibril meniupkan ruh lewat mulut Maryam, atau bahwasanya yang sebelumnya mengajak bicara Maryam ia adalah ruh yang masuk ke dalam tubuhnya lewat mulutnya, maka perkataannya menyelisihi apa yang dipahami dari konteks kisah ini di beberapa tempat dalam al-Qur’an. Karena sesungguhnya konteks kisah tersebut menunjukkan bahwa yang diutus kepada Maryam adalah salah satu Malaikat, yaitu Jibril ‘alaihissalam, dan bahwasanya dia meniupkan kepadanya, dan Malaikat tersebut (Jibril) tidak menghadap ke farji Maryam, akan tetapi dia meniupnya di kantong bajunya, lalu tiupan tersebut turun ke farjinya dan masuk ke dalamnya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


…فَنَفَخْنَا فِيهِ مِن رُّوحِنَا …{12{

” Lalu Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami…” (QS. At-Tahriim: 12).

Maka ini menunjukkan bahwa tiupan itu masuk ke farjinya bukan ke mulutnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab, dan juga bukan di dadanya sebagaimana diriwayatkan oleh as-Suddi dengan sahdanya dari sebagaian Shahabat radhiyallahu ‘anhum.

Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:فَحَمَلَتْهُ (Maka dia (Maryam) mengandungnya), maksudnya dia mengandung puteranya.


… فَانتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا {22}

” …Lalu ia menyisihkan diri (menyingkir) dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.” (QS. Maryam: 22)

Hal itu karena ketika hamil Maryam ‘alaihassalam merasakan kelemahan, dan dia tahu bahwa kebanyakan manusia akan memperbincangkannya (menggunjingnya). Banyak dari kalangan Ulama salaf, di antaranya Wahb bin Munabbih yang menyebutkan bahwa ketika nampak tanda-tanda kehamilan pada diri Maryam, maka yang pertama yang mengetahuinya adalah salah seorang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil yang bernama Yusuf bin Ya’qub an-Najjar, dan ia adalah anak paman Maryam dari jalur ibu. Maka Yusuf pun sangat terkejut, karena ia mengetahui kualitas keagamaan Maryam, kesuciannya dan ibadahanya, namun demikian ia melihat bahwa dia hamil tanpa seorang suami.

Maka pada suatu hari ia pun menemui Maryam dan bertanya:”Wahai Maryam, adakah tanaman tumbuh tanpa benih?” Maryam menjawab:”Ya ada, maka siapakah yang menciptakan tumbuhan pertama kali?” Kemudian ia (Yusuf) bertanya lagi:”Lalu apakah ia akan menjadi pohon tanpa ada air dan hujan?!” Dia menjawab:”Ya ada, maka siapakah yang menciptakan pohon pertama kali?’ Lalu Yusuf bertanya:”Apakah ada seorang anak lahir tanpa bapak?” Dia menjawab:”Ya ada, karena sesungguhnya Allah menciptakan Adam tanpa ayah dan ibu” Yusuf pun berkata:”Maka kabarkanlah kepadaku apa yang terjadi padamu.” Maka Maryam pun menjawab:”Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kabar gembira kepadaku:


} إِذْ قَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَامَرْيَمُ إِنَّ اللهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِّنْهُ اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ {45} وَيُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلاً وَمِنَ الصَّالِحِينَ {46}

” … Dengan kalimat (yang datang) dari-Nya, namanya Al-Masih ‘Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia termasuk di antara orang-orang yang saleh.” (QS. Ali ‘Imraan: 45-46)

Dan diriwayatkan dengan riwayat seperti dari Zakariya ‘alaihissalam, bahwasanya dia ‘alaihissalam bertanya kepadanya (Maryam), lalu dia menjawabnya dengan jawaban seperti di atas. Wallahu A’lam

Kemudian yang zhahir (makna yang nampak) adalah bahwa Maryam mengandung selama sembilan bulan seperti hamilnya wanita biasa, dan melahirkan sebagaimana waktu melahirkannya mereka. Karena seandainya berbeda, tentu akan disebutkan.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan ‘Ikrimah rahimahullah, bahwa ia mengandung selama delapan bulan. Sedangkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:”Kehamilan dan kelahirannya hanyalah sekejap.”Sebagaian mereka (ulama) berkata:”Ia mengandungnya selama sembilan jam.” Mereka mendasari pendapat itu dengan firman Allah:


فَحَمَلَتْهُ فَانتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا{22} فَأَجَآءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ… {23}

” Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Lalu (dengan segera) rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (besandar) pada pangkal pohon kurma…” (QS. Maryam: 22-23)

Yang benar adalah, bahwa kata “lalu (dengan segera)” yang menunjukkan bahwa suatu kejadian datang setelah kejadian sebelumnya dengan jarak waktu yang singkat, adalah sesuai dengan konteks pembahasan, seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ أَنزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَتُصْبِحُ اْلأَرْضُ مُخْضَرَّةً إِنَّ اللهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ {63}

” Apakah kamu tiada melihat, bahwasanya Allah menurunkan air dari langit, lalu jadilah bumi itu hijau Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Hajj: 63)

Huruf ف(lalu) dalam ayat di atas tidak menunjukkan berarti bumi langsung hijau setelah turun hujan dalam sekejap, namun membutuhkan waktu. Padahal kata tersebut dalam bahasa ‘Arab menunjukkan terjadinya suatu kejadian setelah kejadian pertama dengan jeda yang sangat singkat.

Dan juga dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:


ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقًا ءَاخَرَ فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ {14}

” Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik” (QS. Al-Mu’minuun: 14)

Dan sebagaimana sudah diketahui bersama bahwa jarak antara tiap-tiap tahapan adalah empat puluh hari, sebagaimana yang valid dalam hadits yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim.

Dan perkataan Maryam ‘alaihissalam:


… قَالَتْ يَالَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنتُ نَسْيًا مَّنسِيًّا {23}

” …Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.” (QS. Maryam: 23)

Di dalamnya ada dalil tentang bolehnya berharap kematian dalam keadaan fitnah (ujian). Hal itu karena dia (Maryam) tahu bahwasanya manusia akan menuduhnya dan tidak percaya kepadanya, bahkan mereka akan mendustakannya ketika dia datang kepada mereka dengan membawa bayi di tangannya. Sekalipun di kalangan mereka dia (Maryam) termasuk ahli ibadah, khusyu’, kosentrasi mengurusi tempat ibadah, diasuh keluarga Nabi, dan ahli agama. Maka kesedihan itulah yang menyebabkan dia berharap/menginginkan kematian sebelum ia melahirkan, atau dia berharap:


… نَسْيًا مَّنسِيًّا {23}

” … menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.” (QS. Maryam: 23)

Artinya belum diciptakan sama sekali.

Firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:


فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَآ … {24}

” Maka dia menyerunya dari tempat yang rendah:”….” (QS. Maryam: 24)

Ada dua bacaan untuk ayat di atas, ada yang membaca مِنْ تَحْتِهَا (dengan bacaan seperti ini maka yang menyeru Maryam adalah Jibril dari tempat yang lebih rendah dari Maryam) dan ada pula yang membaca مَنْ تَحْتَهَا(dengan bacaan seperti ini maka yang menyeru Maryam adalah orang yang berada di bawah Maryam, yaitu anaknya yang baru lahir, yaitu ‘Isa ‘alaihissalam).

Dan dalam masalah Dhamir (kata ganti orang) dalam ayat ini ada dua pendapat; salah satunya adalah bahwa dhamir itu untuk Jibril ‘alaihissalam, ini adalah pendapat Al-‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya dia radhiyallahu ‘anhuma berkata:” ’Isa ‘alaihissalam tidaklah berbicara kecuali di hadapan orang banyak.” Demikian juga yang dikatakan oleh Sa’id bin Jubair, ‘Amr bin Maimun, adh-Dhahak, as-Suddi dan Qatadah. Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat Mujahid, al-Hasan, Ibnu Zaid, dan Sai’id bin Jubair dalam salah satu pendapatnya yang lain bahwa :”Ia adalah anaknya, yaitu ‘Isa ‘alaihissalam.” Dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir rahimahullah.

Firman-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam:


… أَلاَّ تَحْزَنِي قَدْجَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا {24}

” …Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Rabbmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” (QS. Maryam: 24)

Ada yang mengatakan bahwa kata سَرِيًّا dalam ayat di atas artinya adalah sungai, dan itu adalah pendapat Jumhur ulama.Dalam hal ini ada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir rahimahullah namun dha’if, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, dan inilah yang shahih (benar).

Dan dari al-Hasan, ar-Rabi’ bin Anas, Ibnu Aslam dan yang lainnya, bahwasanya makna سَرِيًّا adalah anaknya yaitu Isa ‘alaihissalam. Namun yang benar adalah pendapat yang pertama, berdasarkan firman AllahSubhanahu wa Ta’ala:


وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا {25}

” Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak.” (QS. Maryam: 25)

Karena disebutkan makanan dan minuman (dalam ayat ini). Oleh sebab itu, Dia berfirman:


فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنَا …. {26}

”…Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu…” (QS. Maryam: 26)

Kemudian dikatakan bahwa sebelumnya batang pohon kurma (yang sudah mati) itu kering. Namun ada yang mengatakan bahwa ia adalah pohon kurma yang sedang berbuah. Wallahu A’lam.

Mungkin saja ia memang pohon kurma (yang masih hidup) namun tidak berbuah saat itu, karena lahirnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam adalah ketika musim dingin, dan itu bukanlah musim berbuah. Dan hal itu bisa dipahami dari firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala, dalam konteks penyebutan nikmat-Nya:


… تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا {25}

” …Niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak.” (QS. Maryam: 25)

’Amr bin Maimun berkata:”Tidak ada makanan yang lebih baik bagi perempuan yang tengah menjalani masa nifas daripada tamr (kurma kering) dan ruthab (kurma segar).” Lalu dia membaca ayat ini.

Dan firman Allahs Subhanahu wa Ta’ala:


… فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا {26}

” …Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah:”Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.” (QS. Maryam: 26)

Ini adalah lanjutan (pelengkap) dari perkataan Malaikat yang menyerunya dari bawahnya, yang dia mengatakan.


فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنَا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ… {26}

” Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu Jika kamu melihat seorang manusia, ….” (QS. Maryam: 26)

Maksudnya jika kamu melihat seorang dari ummat manusia.


… فَقُولِي … {26}

” … Maka katakanlah:”…” (QS. Maryam: 26)

Maka, katakanlah kepadanya dengan menunjukkan keadaanmu dan dengan bahasa isyarat.


… إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا … {26}

”……Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk …” (QS. Maryam: 26)

Yakni, berdiam diri. Dan puasa menurut ketentuan syari’at mereka adalah tidak berbicara dan makan. Demikianlah yang dikatakan oleh Qatadah, as-Suddi, dan Ibnu Aslam. Hal itu diperkuat dengan firman-Nya:


… فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا {26}

” … maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.” (QS. Maryam: 26)

Adapun menurut ketentuan syari’at kita, dimakruhkan bagi orang yang berpuasa untuk diam dari siang sampai malam hari (seharian penuh).

(Sumber: Kisah Shahih Para Nabi. Pustaka Imam Syafi’i hal 531-539 dengan sedikit perubahan dan tambahan dari Qashahul Anbiya’ karya Ibnu Katsir rahimahullah. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)