Allah ta’ala berfirman,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (al-A’raf: 55). Sebagain ahli tafsir berkata, “Maksudnya adalah orang-orang melampaui batas dengan mengeraskan suara mereka sewaktu berdo`a.”

Ibnu Juraij di dalam tafsirnya berkata, “Termasuk sikap melam-paui batas adalah meninggikan suara, panggilan, do`a, dan teriakan. Jadi, mereka diperintahkan untuk merendahkan diri dan bersikap hina.”

Allah ta’ala berfirman,

وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِفْيَةً وَدُونَ الْجَهْرِمِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ وَلاَتَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ

 “Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (al-A’raf: 205).

Allah ta’ala juga berfirman,

وَلاَتَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَتُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً

“Dan jangan kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu. (al-Isra: 110). Kata ‘bi shalâtika’ berarti: dengan do`amu. Aisyah radhiyallahu ‘anha  berkata, “Ayat ini diturunkan berkaitan dengan do`a.” (Muttafaq ‘Alaih).

Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anha, bahwasanya mereka (para sahabat) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  dalam perjalanan (safar), lalu mereka mengeraskan takbir, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ، اِرْبَعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، إِنَّكُمْ لاَ تَدْعُـوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، إِنَّكُمْ تَدْعُـوْنَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا وَهُوَ مَعَكُمْ.

Wahai manusia, kasihanilah diri kalian, sesungguhnya kalian tidak berdo`a kepada Tuhan yang tuli lagi ghaib, akan tetapi kalian berdo`a kepada Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia bersama kalian. (HR. Bukhari, 6/135; dan Muslim, 4/2076).

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau telah mengusir dari masjid jamaah yang bertahlîl dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan suara keras. Beliau berkata kepada mereka: “Aku menganggap kalian sebagai para pembuat bid’ah.”

Bahkan, terdapat riwayat yang menjelaskan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita untuk mengiringi jenazah dengan mengeraskan suara tangisan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaih  bersabda,

لاَ تُتْبِعِ اْلجَنَازَةَ بِصَوْتٍ وَلاَ نَارٍ.

Janganlah kamu mengiringi jenazah dengan suara ataupun api.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُتَّبَعَ جَنَازَةٌ مَعَهَا رَانَّةٌ.

Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk mengiringi jenazah dengan jeritan kesedihan.” (HR. Ibnu Majah).

Oleh karena itu, para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang untuk meninggikan suara di samping jenazah, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dan yang lainnya.

Dari kesemuanya itu, jelaslah bahwa hukum asal di dalam berdzikir dan berdo`a adalah dengan suara pelan (isrâr). Batasannya adalah: “Mengucapkan lafazh dzikir atau do`a dengan mulut berkelumit mengucapkan huruf-hurufnya dari makhraj-makhrajnya dengan suara rendah yang bisa didengar oleh diri sendiri.” Sedangkan yang dimaksud al-jahr (berdzikir keras), adalah: “Mengucapkan lafazh dzikir atau do`a dengan suara yang bisa didengar oleh orang lain yang berada di sekitarnya.” Dan tidak ada batasan untuk bacaan yang paling keras.

Berdzikir dan berdo`a dengan suara keras yang diperbolehkan itu dalam kondisi-kondisi yang kecualikan, yaitu pada kondisi yang diperbolehkan oleh syari’at agama, dan hukumnya berkisar antara wajib dan sunnah, dan kebanyakan terdapat di dalam dzikir, atau dzikir yang bercampur do`a.

Di antara dzikir yang wajib dikeraskan suaranya sesuai maksud yang diinginkan adalah: adzan, iqamah, takbirnya imam dan tasmî’nya[1], juga bacaan nyaring di dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya’ dan Subuh serta Jum`at), takbir-takbir tabligh sewaktu dibutuh-kan, mengucapkan salam ketika mengakhiri shalat, memberi salam dan menjawabnya, mengucapkan hamdalah sewaktu bersin dan men-do`akan orang yang bersin dengan bacaan “yarhamukallâh, berdo`a bersama kaum dan mengamininya.

Adapun di antara dzikir yang disunnahkan untuk dinyaringkan sesuai dengan kebutuhan adalah: mengucapkan ‘âmîn’ di dalam shalat dan meng-amin­-kan do`a, ber-takbîr pada dua ied (iedul fitri dan iedul adha), dzikir setelah shalat, membaca talbiyah dan bertakbir di waktu menunaikan ibadah haji, membaca al-Qur’an, dan membaca basmalah sewaktu menyembelih hewan.

Lalu, orang-orang pun, baik secara berkelompok maupun sendiri-sendiri berbuat bid`ah, mengucapkan dzikir dan do`a dengan suara yang sangat keras dan berlebih-lebihan menyaringkan suara dan teriakan, dzikir dengan memakai pengeras suara, serta berbagai hal yang mengiringinya, seperti dzikir yang dilagukan, dinyanyikan, dilantunkan dengan suara merdu, dengan nada sedih, sampai-sampai, mencium hajar aswad dengan mengeluarkan bunyi suara dijadikan mereka sebagai suatu kesunnahan.

 

[p][b][Sumber:[/b] Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul HaqJakarta]

 


[1]  Takbir adalah ucapan “Allâhu Akbar, sedangkan Tasmi’ adalah ucapan “Sami’allâhu liman hamidah.