Manakala Umar bin Abdul Aziz hadir memegang tampuk khilafah, salah seorang ulama besar yang dekat dengannya adalah al-Hasan al-Bashri. Tabiin besar ini memayungi khalifah dengan nasihat dan bimbingan, meletakkan manhaj pemimpin yang adil baginya, hal ini merupakan peran aktif dari al-Hasan al-Bashri yang menjelaskan apa yang sepatutnya dilakukan oleh seorang ulama Rabbani yang berusaha membantu orang-orang yang melakukan perbaikan dari kalangan pemegang keputusan untuk menolong Islam, di samping ia menunjukkan kepada kita kesempurnaan kepribadian Islam yang dimiliki oleh al-Hasan al-Bashri, dia berperang aktif dalam jihad, pengajaran dan pendidikan kepada masyarakat, dia adalah pelopor madrasah perbaikan sosial di tengah-tengah kehidupan manusia, memperhatikan penyakit-penyakit hati dan obatnya, dia juga mempunyai sikap-sikap politik terhadap pemberontakan dan terhadap para penguasa yang zhalim.

Di sini terlihat kepribadian politik al-Hasan al-Bashri secara lebih besar daripada kedekatannya dengan Umar bin Abdul Aziz, dukungannya kepadanya, keberadaannya di sampingnya, mengawal langkah-langkah perbaikan dan pembaruan yang digawangi oleh Umar bin Abdul Aziz.

Dalam sebuah suratnya yang dia kirim kepada Umar bin Abdul Aziz, dia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, ketahuilah bahwa Allah menjadikan seorang pemimpin yang adil sebagai pelurus siapa pun yang menyimpang, penegur siapa pun yang berbuat zhalim, perbaikan bagi siapa pun yang berbuat kerusakan, kekuatan bagi siapa pun yang lemah, pembela siapa pun yang dizhalimi dan tempat berlindung siapa pun yang ketakutan.

Pemimpin yang adil wahai Amirul Mukminin seperti seorang pengembala yang menjaga untanya, yang menyayangi untanya sehingga dia mencari padang yang paling subur dan menjauhkannya dari sebab-sebab kematian, menjaganya dari binatang buas dan melindunginya dari gangguan panas dan dingin.

Seorang pemimpin yang adil wahai Amirul Mukminin adalah seperti bapak yang mengasihi anaknya, berusaha untuk mereka ketika mereka masih kecil, mendidik mereka manakala mereka dewasa, berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka dan menyimpan untuk mereka setelah kematiannya.

Seorang pemimpin yang adil wahai Amirul Mukminin adalah seperti seorang ibu yang mengasihi, meyayangi dan menyintai anaknya, dia mengandungnya dalam keadaan kepayahan dan melahirkannya juga dalam keadaan kepayahan, mendidiknya ketika dia masih kecil, dia tidak tidur manakala anaknya tidak tidur, dia tenang manakala anaknya tenang, terkadang menyusuinya dan terkadang menahan air susu darinya, berbahagia manakala dia sehat dan bersedih manakala dia sakit.

Seorang imam yang adil wahai Amirul Mukminin adalah seperti pengasuh anak yatim dan penanggung jawab atas orang-orang miskin, mendidik yang masih kecil dari mereka dan mencukupi kebutuhan yang sudah dewasa dari mereka.

Seorang pemimpin yang adil wahai Amirul Mukminin adalah seperti hati di antara anggota tubuh, anggota tubuh menjadi baik manakala hati itu baik, anggota tubuh menjadi rusak manakala hati tersebut rusak.

Seorang pemimpin yang adil wahai Amirul Mukminin adalah orang yang tegak berdiri di antara Allah dengan hamba-hambaNya, mendengar kalam Allah dan memperdengarkannya kepada mereka, melihat kepada Allah dan memperlihatkanNya kepada mereka, tunduk kepada Allah dan mengajak mereka kepadaNya, maka wahai Amirul Mukminin, janganlah engkau dalam apa yang Allah telah percayakan kepadamu seperti seorang hamba sahaya di mana majikannya menyerahkan amanat kepadanya, memintanya untuk menjaga harta dan keluarganya, namun dia malah menghabiskan harta dan menyia-nyiakan keluarganya, membuat keluarganya miskin dan hartanya habis binasa. Ketahuilah wahai Amirul Mukminin bahwa Allah Ta’ala menurunkan hukuman-hukuman had untuk memagari hamba-hambaNya dari perbuatan keji lagi buruk, lalu bagaimana jika pemimpinnya justru yang melakukannya? Bahwa Allah menurunkan hukum qishash untuk menjaga kehidupan hamba-hambaNya, lalu bagaimana jika pemimpin itu malah membunuh mereka? Siapa yang akan menuntut qaishah bagi mereka?

Ingatlah wahai Amirul Mukminin, kematian dan apa yang terjadi sesudahnya, saat itu tidak mempunyai pendukung dan penolong atsnya, maka berbekallah untuk menghadapinya dan menghadapi hari ketakutan besar sesudahnya. Ketahulilah wahai Amirul Mukminin, bahwa engkau mempunyai sebuah tempat kembali yang berbeda dengan rumah yang engkau huni selama ini, di sana engakau akan tinggal lama, orang-orang yang engkau cintai meninggalkanmu, mereka membiarkanmu di dalam dasarnya sendirian tanpa teman, maka berbekallah untuknya secara memadahi untuk menghadapi hari di mana seseorang berlari dari saudaranya, ibunya, bapaknya, istrinya dan anak-anaknya.

Ingatlah wahai Amirul Mukminin, bila apa yang ada di dalam kubur dibongkar, apa yang ada di dalam dada dibedah, rahasia-rahasia terlihat, buku catatan tidak membiarkan perkara kecil dan besar kecuali ia mencatatnya, saat ini wahai Amirul Mukminin, mumpung engkau masih dalam masa lapang sebelum ajal menghadang harapan terputus.

Jangan wahai Amirul Mukminin menetapkan hukum atas hamba-hamba Allah dengan hukum orang-orang jahiliyah, jangan meniti jalan orang-orang zhalim pada mereka, jangan menguasakan orang-orang yang sombong atas orang-orang yang lemah, karena mereka sama sekali tidak memelihara perjanjian dan pelindungan, akibatnya engkau harus memikul dosa-dosamu dan dosa-dosa mereka ditambah dengan dosa-dosamu, membawa beban berat mereka bersama beban beratmu, jangan terkecoh dengan orang-orang yang bernikmat ria dengan apa yang menjadi kecelakaanmu, mereka makan yang enak-enak di dunia namun hal itu membuatmu kehilangan yang baik-baik di akhiratmu, jangan melihat kemampuanmu hari ini, akan tetapi lihatlah kepada kemampuanmu besok saat engkau tertawan di dalam jaring kematian, berdiri di hadapan Allah dikelilingi oleh para malaikat, para nabi, para rasul dan saat itu wajah-wajah manusia tertunduk kepada Rabb alam semesta.

Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku, meskipun nasihatku tidak membuatku mencapai derajat orang-orang yang berakal sebelumku, namun aku tetap tidak pernah meremehkan dalam memberi nasihat dan ketulusan kepadamu, maka anggaplah suratku ini sebagai seseorang yang hadir untuk mengobati sahabatnya, dia memberinya minum obat yang pahit karena dia berharap kesembuhan dan kesehatan baginya, wassalamu alaika wahai Amirul Mukminin, warahmatullah wa barakatuh.” Izzudin.

Umar bin Abdul Aziz, Dr. Ali Muhammad ash-Shallabi.