Tidak diketahui ada orang yang ditimpa berbagai bentuk musibah, kesulitan, kesengsaraan dan problem yang  berat sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun tetap dalam keadaan sabar dan berharap pahala kepada Allah.

Sabar di atas keyatiman, kemiskinan, kelaparan dan kesulitan hidup. Kemudian beliau didustakan namun beliau tetap sabar, mereka berkata tentang beliau, “Penyair, dukun, tukang sihir, gila, pembual, pendusta.” namun beliau tetap sabar. Mereka menyakiti beliau, mencela dan mencacimaki beliau, namun beliau tetap sabar.

Paman beliau, Abu Thalib, wafat, beliau bersabar. Istri beliau wafat dan beliau tetap sabar. Mereka mengusir dan memerangi beliau dan beliau tetap sabar. Paman beliau Hamzah bin Abdul Muththalib terbunuh dan beliau tetap sabar. Putra beliau wafat dan beliau tetap sabar. Istri beliau yang suci dituduh melakukan perbuatan keji secara dusta dan palsu dan beliau tetap sabar.

Beliau bersabar sekalipun kerabatnya dibunuh, para sahabatnya dibantai, para pengikutnya diusir, para musuh bersatu padu memusuhinya, para seterunya berkonspirasi terhadapnya, orang-orang berkumpul satu kata memeranginya.

Beliau bersabar atas kekurangajaran orang dekat, permusuhan orang jauh, kebengalan kebatilan dan sikap keterlaluan orang-orang yang mendustakan.

Beliau bersabar terhadap dunia dengan segala kenikmatan dan keindahannya, hati beliau tidak sedikitpun tergoda olehnya.

Beliau adalah orang yang sabar dan berharap pahala kepada Allah dalam segala urusan hidupnya, sabar adalah baju besi beliau, perisai, rekan dan sekutunya.

Setiap kali ucapan musuh-musuh mengganggunya, beliau teringat firman Allah ‘Azza wajalla,

فَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ

“Maka bersabarlah atas apa yang mereka ucapkan.” (Qs. Thaha : 130)

Setiap kali kekuatan musuh membuatnya khawatir dan rencana makar orang-orang kafir mengguncang tempat tidur beliau, beliau teringat firman Allah ‘Azza wajalla,

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ

Maka bersabarlah sebagaimana Rasul-rasul Ulul Azmi bersabar. “ (Qs. al-Ahqaf : 35)

Bukankah kesabaran dipelajari dari beliau ? Adakah seseorang yang diteladani kesabarannya selain beliau ?

Beliau adalah teladan dalam kelapangan dada, kebesaran sabar, keagungan memikul (tanggung jawab) dan keteguhan hati, beliau adalah imam orang-orang yang sabar dan teladan orang-orang yang bersyukur.

Kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam urusan dakwah merupakan teladan dan contoh terbaik sehingga Allah menegakkan bangunan agama ini.

Berliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَقَدْ أُوذِيتُ فِي اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَا يُؤْذَى أَحَدٌ وَأُخِفْتُ فِي اللَّهِ وَمَا يُخَافُ أَحَدٌ وَلَقَدْ أَتَتْ عَلَيَّ ثَلَاثُوْنَ مِنْ بَيْنِ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ وَمَا لِي وَلِعِيَالِي طَعَامٌ يَأْكُلُهُ ذُو كَبِدٍ إِلَّا مَا يُوَارِي إِبْطَ بِلَالٍ

Sungguh aku telah disakiti di jalan Allah ‘Azza wajalla dan tidak seorang pun yang disakiti (sepertiku), aku telah ditakut-takuti di jalan Allah dan tidak seorang pun ditakut-takuti (sepertiku). Dan sungguh aku pernah melewati tiga puluh hari, siang dan malam sementara aku dan keluargaku tidak mempunyai makanan yang bisa dimakan oleh pemilik hati, kecuali sesuatu yang (ukurannya hanya) bisa menutupi ketiak Bilal.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 11802; at-Tirmidzi, no. 2472, dan Ibnu Majah, no. 151 dari hadis Anas bin Malik, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 5125)

Dari Urwah bin az-Zubair radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku bertanya kepada Abdullah bin Amr tentang perbuatan paling berat yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Aku melihat Uqbah bin Abu Mu’aith mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang shalat, dia membelitkan kainnya ke leher Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu mencekik beliau dengan sangat kuatnya, lalu Abu Bakar shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan menyingkirkannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sambil berkata,

أَتَقْتُلُونَ رَجُلًا أَن يَقُولَ رَبِّىَ ٱللَّهُ

Apakah kalian hendak membunuh seorang laki-laki yang berkata, ‘Tuhanku adalah Allah’ ? (Qs. Ghafir : 28)

Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang shalat di dekat Ka’bah, saat itu Abu Jahal dan rekan-rekannya sedang duduk, sebagian berkata kepada sebagian yang lain, “Siapa di antara kalian yang mau menghadirkan jeroan unta Bani Fulan lalu meletakkannya di punggung Muhammad manakala dia sujud ?” Maka orang paling celaka bangkit dan datang membawanya, dia menunggu sesaat sampai beliau sujud dan dia meletakkannya di atas punggung beliau di antara kedua pundaknya. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “ Saat itu aku melihat, namun aku tidak bisa berbuat apa pun, seandainya aku mempunyai kekuatan saat itu.”

Lalu mereka tertawa dan saling melempar perbuatan, sementara Rasulullah a sendiri tetap sujud tidak bangkit, sampai Fathimah datang dan membuangnya dari punggung beliau, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit dan mengucapkan, “Ya Allah, azablah Quraisy.” Beliau mengucapkannya tiga kali (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 240 dan Muslim, no. 1794 dari hadis Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh mereka telah memukul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai beliau pingsan, maka Abu Bakar datang dan berseru,’Celaka kalian, kalian ingin membunuh seorang laki-laki yang mengucapkan,”Tuhanku adalah Allah ?” Mereka bertanya,’Siapa dia ?’ Mereka menjawab,’Ibnu Abi Quhafah yang gila.’ (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, 3/70, dan menshahihkannya berdasarkan syarat Muslim, dan adz-Dzahabi menyetujuinya)

Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memikul permusuhan kaumnya, perlakuan mereka terhadapnya yang kasar, bengis dan menyakitkan, namun beliau tetap bersabar dan berharap pahala kepada Allah. Kemudian beliau pergi ke Thaif dengan harapan penduduknya berkenan memberikan dukungan, namun sikap mereka justru lebih menyakitkan dan menyedihkan hati beliau yang mulia, bahkan perlakuan masyarakat Tha’if itu meninggalkan luka paling mendalam di dalam hati beliau.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Pernahkan Anda mengalami hari yang lebih berat daripada hari Uhud?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Sungguh aku telah diperlakukan oleh kaummu sebagaimana aku telah diperlakukan. Perlakuan mereka terhadapku yang paling berat adalah di hari Aqabah, saat itu aku menawarkan diriku kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abd Kulal, namun dia tidak merespon ajakanku, maka aku meninggalkannya dengan bersedih. Aku baru sadar ketika aku sampai di Qarn ats-Tsa’alib, aku melihat ke atas, aku melihat awan yang memayungiku, di sana ada Jibril, dia memanggilku, ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan jawaban mereka atasmu, Dia mengutus seorang Malaikat gunung agar kamu memerintahkannya sekehendakmu.’ Maka Malaikat gunung memanggilku, dia mengucapkan salam kemudian berkata,’Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu kepadamu, aku adalah Malaikat gunung, Rabbmu mengutusku kepadamu agar kamu memerintahkanku sekehendakmu, jika engkau berkehendak, maka aku akan menimpakan dua gunung (al-akhsyabain) atas mereka’.”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Justru aku berharap Allah berkenan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 3231 dan Muslim, no. 1795, no. 1795)

al-akhsyabain adalah dua gunung yang mengelilingi Makkah, keduanya adalah Abu Qubais dan al-Ahmar, dinamakan demikian karena kerasnya batu keduanya, اَلْأَخْشَبُ adalah gunung yang keras (cadas) batunya.

Tidak ada keraguan bahwa kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam dakwah mengajak kita untuk meneladani beliau, berjalan di atas jejak beliau dan tidak membalas untuk kepentingan pribadi.

Perkaranya tidak berhenti pada batas ini, mereka tidak mengetahui kesabaran beliau atas mereka sehebat ini, mereka tidak memperhitungkan lapang dada beliau yang besar terhadap mereka, lebih dari itu mereka merencanakan makar jahat untuk membunuh beliau. Manakala mereka sepakat di atas itu, Allah ‘Azza wajalla mengizinkan beliau untuk berhijrah, maka beliau hijrah ke Madinah, berpindah kepada gangguan dan ujian lainnya, yaitu dari orang-orang Yahudi dan kaum munafik yang menyembunyikan rencana busuk terhadap beliau, menyusun makar-makar jahat, mengungkit-ungkit aurat kaum muslimin dan membeberkannya kepada orang-orang musyrikin, mereka menyimpan kebencian yang terdalam kepada beliau dan kaum Muslimin, namun beliau tetap menghadapi semua itu dengan kesabaran yang lebih kokoh.

Beliau berpindah kepada bentuk lain dari kesabaran dalam menghadapi orang-orang musyrikin, sabar menghadapi mereka di medan perang dan jihad, sabar di atas tusukan tombak tajam, ujung panah dan kilatan pedang, kesabaran seperti yang diperintahkan oleh para Rasul Ulul Azmi.

Kesabaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah habis, keteguhan beliau tidak pernah surut, beliau tetap melangkah maju berjihad dengan penuh kesabaran dari satu peperangan ke peperangan selanjutnya, dari satu ujian kepada ujian berikutnya.

Dalam perang Uhud gigi seri beliau patah, wajah beliau yang mulia terluka, luka-luka mendera beliau, aku korbankan bapak ibuku, anakku, dan diriku demi beliau, dan (sekalipun begitu), beliau tetap sabar dan berharap pahala dari Allah. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menceritakan hal ini, dia berkata,”Seolah-olah aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan seorang Nabi dari para Nabi, yang kaumnya memukulnya sampai berdarah sementara dia mengusap darah dari wajahnya sambil berucap,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Ya Allah, ampunilah kaumku sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 3477 dan Muslim, no. 1792)

Maha benar Allah ‘Azza wajalla yang berfirman,

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar di atas akhlak yang agung.” (Qs.al-Qalam : 4)

Wallahu A’lam (Redaksi)

Sumber :

A’zhamu Insan ‘Arafathu al-Basyariyyah a , Akhlaquhu Wa kaifa Nuhibbuhu Wa Nanshuruhu, Hisyam Muhammad Sa’id Barghisy, ei, hal. 59-65.