A. Mengangkat Kedua Tangan

Pembahasan Pertama:
Yang Disyariatkan Berkaitan Dengan Keadaan Pemohon Dalam Mengangkat Kedua Tangannya Untuk Berdo’a

Terdapat beberapa hadîts mutawatir yang bersifat maknawi dalam berbagai kejadian yang berbeda-beda, yang di dalamnya disebutkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengangkat kedua tangannya sewaktu berdo`a. Di antaranya, pada enam tempat saat beribadah haji, yaitu: pada waktu berada di bukit Shafa dan bukit Marwah, di padang Arafah, di Muzdalifah, pada waktu melempar Jumrah pertama dan jumrah kedua. Adapun pada selain haji, terdapat pada shalat Istisqa`, qunut Nazilah dalam shalat-shalat fardhu, dan di dalam berbagai kejadian lainnya yang jumlahnya sekitar lima puluh tempat yang kesemuanya telah ditulis buku khusus tentang hal tersebut.

Hukum mengangkat kedua tangan

Mengangkat kedua tangan termasuk adab-adab dan sunnah do`a menurut kesepakatan kaum muslimin (ijma’), kecuali di dalam satu keadaan, yaitu waktu khutbah Jum’at. Di dalam khutbah Jum’at ini dimakruhkan bagi khatib dan para jamaah mengangkat kedua tangannya pada saat berdo`a, selama khatib tidak membaca do`a istisqa’ di dalam khutbahnya itu. Sebaliknya disunnahkan baginya beserta para jamaah untuk mengangkat kedua tangannya sewaktu membaca do`a istisqa`, setelah itu meninggalkannya.

Tata cara mengangkat kedua tangan

Pemohon mengangkat kedua tangannya setinggi kedua pundaknya, atau hampir setingginya, sambil mengumpulkan kedua tangannya tersebut dengan tidak renggang, dan dengan telapak tangan mem-bentang menghadap ke langit, sedang punggungnya di bawah. Jika mau, dia bisa mendekatkan kedua tangannya ke arah muka hingga mukanya tertutup, sedangkan bagian punggungnya menghadap ke arah kiblat. Di samping itu, dianjurkan pula agar kedua tangan tersebut dalam keadan suci, bersih, terbuka dan tidak terhalangi oleh suatu tabir.

Cara pelaksanaannya ada tiga 

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan, bahwasanya Rasulullah radhiyallahu ‘anhu bersabda,

اْلمَسْأَلَةُ أَنْ تَرْفَعَ يَدَيْكَ حَذْوَ مَنْكِبَيْكَ أَوْ نَحْوَهُمَا، وَاْلاِسْتِغْفَارُ أَنْ تُشِيْرَ بِأَصْبُعٍ وَاحِدَةٍ، وَاْلاِبْتِهَالُ أَنْ تُمِدَّ يَدَيْكَ جَمِيْعًا.

“Permintaan adalah kamu mengangkat kedua tanganmu setinggi kedua pundakmu atau setera dengannya, sedang istighfâr adalah dengan mengacungkan satu jari, dan ibtihâl (do`a pengaduan) adalah dengan menengadahkan kedua tangan.” (HR. Abu Daud dan ath-Thabrani di dalam kitabnya ‘ad-Du’â’, dan hadîts ini mempunyai jalur-jalur sanad lain, yang kesemuanya dihukumi shahih).

Terdapat beberapa hadîts berkaitan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamyang menjelaskan tentang posisi bagi masing-masing dari ketiga sifat ini, bukan karena ketiganya lebih sebagai perbedaan variabel semata (ikhtilaf tanawwu’). Maka dari itu, perhatikanlah baik-baik! Adapun penjelasan rincinya adalah sebagai berikut:

Posisi (maqam) pertama adalah posisi do`a umum yang disebut dengan ‘permintaan’atau ‘do`a’, yaitu: mengangkat kedua tangan setinggi kedua pundak, atau setara dengannya, sambil menggandengkan keduanya, menengadahkannya ke langit (atas) sedangkang kedua punggung tangan itu menghadap tanah. Jika mau, dia boleh menutupi mukanya dengan keduanya, sedang bagian punggungnya menghadap ke arah kiblat.

Ini adalah bentuk umum mengangkat kedua tangan sewaktu berdo`a secara mutlak, di dalam qunut witir, istisqa`, atau pada enam tempat pada waktu ibadah haji, dan lain-lain.

Posisi kedua, istighfâr, yang disebut dengan ‘ikhlas’, yaitu: mengacungkan jari telunjuk tangan kanan.

Bentuk ini khusus pada waktu dzikir dan do`a sewaktu berkhutbah di atas mimbar (hari Jum`at), waktu tasyahhud di dalam shalat, dan sewaktu membaca dzikir, pujian dan tahlîl di luar shalat.

Dan kepada sifat atau bentuk inilah di dalam posisi ini, sifat kedua yang tersebut di dalam hadîts Ibnu Abbas terdahulu di arahkan, sebagaimana tersebut di dalam hadîts Imarah bin Ruaibah, bahwa-sanya Basyar bin Marwan berada di atas mimbar sambil mengangkat kedua tangannya. Maka Imarah berkata, “Semoga Allah ta’alamenghinakan kedua tangan orang ini. Sungguh, aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak lebih untuk mengucapkan dengan tangannya begini.” Sambil mengisyaratkan kepada jari telunjuknya.” (HR. Muslim).

Sedangkan hadîts-hadîts tentang mengangkat (mengacungkan) jari pada waktu tasyahhud di dalam shalat dan di luarnya itu sangat masyhur.

Posisi atau bentuk ketiga adalah ibtihâl, yaitu: merendahkan diri dan sangat bersungguh-sungguh meminta kepada Allah ta’ala, dan ini disebut juga dengan ‘du’â ar-rahb’ (do`a kecemasan). Bentuknya adalah mengangkat kedua tangan setinggi-tingginya hingga putih ketiak terlihat. Dan dikatakan pula: sampai terlihat kedua lengan atas. Maksudnya, keduanya terangkat karena sangat-sangat tinggi.

Bentuk atau cara seperti ini lebih khusus daripada kedua bentuk terdahulu, pertama dan kedua. Ini dilakukan khusus pada waktu atau dalam keadaan susah dan rasa takut, seperti pada kondisi paceklik, dikuasai musuh, dan keadaan-keadaan mencekam lainnya yang serupa dengannya. Dan kepada sifat inilah, kedua hadîts dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu diarahkan. Kedua hadîts tersebut adalah:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِيْ شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِي اْلاِسْتِسْقَاءِ، وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam setiap do`anya, kecuali pada waktu istisqa`, dan bahwasanya beliau mengangkat (kedua tangannya) hingga terlihat putih kedua ketiaknya.” (HR. al-Bukhari).

Maksudnya, beliau tidak mengangkat kedua tangannya secara berlebihan dan memohon dengan sangat, kecuali pada waktu merasa cemas, yaitu sewaktu kondisi kekeringan di dalam shalat minta hujan (istisqa`). Hal itu, tidak berarti beliau ingin menafikan adanya meng-angkat kedua tangan dalam kondisi lainnya, mengingat terdapat pula hadîts-hadîts mutawatir tentang mengangkat kedua tangan sewaktu meminta dan berdo`a di dalam periwayatan sejumlah sahabat. Maka, yang dinafikan di dalam keadaan ini, adalah bentuk selain yang dijelaskan tadi.

Hadîts lainnya:

أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَسْقَى فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ.

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memohon hujan, lalu beliau menunjuk dengan kedua punggung tangannya mengahadap ke arah langit.” (HR. Muslim).

Maksudnya, karena beliau sangat tinggi mengangkat tangannya hingga seolah kedua punggung tangannya menghadap ke arah langit. Dan tafsiran inilah yang membuat hadîts ini bertemu (atau tidak berseberangan) dengan seluruh hadîts tentang‘mengangkat tangan’ yang menjelaskan untuk menjadikan telapak tangan menghadap ke arah langit, dan dengan hadîts Malik bin Yasar radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

إِذَا سَأَلْتُمُ اللهَ فَاسْأَلُوْهُ بِبُطُوْنِ أَكْفَافِكُمْ وَلاَ تَسْأَلُوْهُ بِظُهُوْرِهَا.

“Jika kalian meminta kepada Allah ta’ala, maka mintailah kepada-Nya dengan telapak tangan kalian, dan janganlah kalian meminta kepada-Nya dengan punggungnya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Saya tidak menemukan orang yang menguraikan masalah ini (yaitu: menghadapkan punggung tangan ke arah langit) dengan tafsiran semacam ini, selain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang telah dinukil oleh al-Murdawi rahimahullah di dalam ‘al-Inshaf’ (1/458), ketika menyebutkan pendapat madzhab (Ahmad bin Hanbal), yaitu dengan menjadikan punggung kedua tangan ke arah langit di dalam do`a istisqa`, karena hal itu sebagai do`a dalam keadaan rasa takut, dan bahwa implisit dari perkataan kebanyakan pengikut madzhab (Hanbali) adalah bahwa do`a istisqa` adalah seperti yang lainnya, yaitu menengadahkan telapak tangan ke arah langit. Di sini, al-Murdawi berkata, “Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah) memilih pendapat ini (menengadahkan telapak tangan ke arah langit), dan dia berkata, “Punggung tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap ke arah langit karena diangkat sangat tinggi, bukan karena disengaja, sedangkan ketika beliau menengadahkan tangannya ke atas, itu dilakukan dengan disengaja. Dan kalau beliau melakukan itu dengan sengaja, maka tentunya pada tempat lainnya lebih utama dan masyhur. Ibnu Taimiyah berkata, ‘Tidak seorang pun yang berpendapat mengangkat kedua tangan di dalam do`a qunut, yang mengatakan bahwa berdo`a qunut itu dengan punggung tangan, tapi justru dengan menengadahkan telapak tangan’.”

Ini adalah nukilan yang sangat berharga yang menguraikan permasalahan yang nampak bertentangan, padahal sebenarnya tidak. Oleh karenanya, sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi saling terpadu secara zahir dan batin. Alhamdulillah.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]