Kesempatan berjumpa dengan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sungguh merupakan kenikmatan yang agung. Betapa tidak, sementara di dalamnya terdapat kesempatan untuk mendulang kebaikan yang banyak. Tepatnya pada “Lailatul Qadar” di mana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman tentang malam itu,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan “ (Qs. Al-Qadar : 3)

Syaikh Sa’diy rahimahullah mengatakan, ‘amal (shaleh) yang dilakukan pada malam itu adalah lebih baik daripada amal (shalih) yang dilakukan selama seribu bulan ( ± 83 tahun 4 bulan) yang tidak terdapat di dalamnya Lailatul Qadar (Taisir al-Kariimi ar-Rahmaan Fii Tafsiiri Kalami al-Mannan, 1/931)

Pembaca yang budiman, maka benar sekali apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

Padanya (yakni, bulan Ramadhan) terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan, siapa tidak memperoleh kebaikannya, maka ia tidak memperoleh kebaikan yang banyak (HR. an-Nasai, no. 2106).

Oleh karena inilah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (seorang Nabi yang sangat tinggi rasa kasih sayangnya kepada ummatnya) menganjurkan kepada mereka untuk mencarinya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تَحرُّوا ليلةَ القَدْر فيالعَشْر الأواخِر من رمضانَ

“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan (HR. al-Bukhari, no. 2020). Terlebih di malam-malam ganjilnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تَحرُّوا لَيلةَ القَدْرِ فيالوَتْر من العَشرِ الأواخِرِ من رمضانَ

Carilah Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan (HR. al-Bukhari, no. 2017)

Bahkan, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri memberikan keteladanan yang sedemikian nyata dalam hal mencari malam yang mulia ini, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sangat bersungguh-sungguh mencarinya. Perhatikan dengan seksama apa yang dikatakan istri beliau tercinta, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كان رسول الله – صلى الله عليه وسلم- يجتهد في العشرالأواخر، ما لا يجتهد في غيره

Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh pada sepuluh (malam) terakhir (bulan Ramadhan) tidak seperti kesungguhan Beliau di selain malam-malam tersebut (HR. Muslim, no. 2845)

Di antara bentuk kesungguhan Beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ، أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ، وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَر

Bila telah memasuki sepuluh (terakhir dari bulan Ramadhan), biasanya Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, lebih bersungguh- sungguh dan mengencangkan sarungnya (HR. Muslim, no. 2844)

Menghidupkan malamnya, yakni, menghabiskannya dengan bergadang untuk melakukan shalat dan (ketaatan) yang lainnya.

Membangunkan keluarganya, yakni, membangunkan mereka agar mereka melaksanakan shalat di malam tersebut.

Lebih bersungguh-sungguh, yakni, mengerahkan segenap daya upaya untuk beribadah dengan lebih bersungguh-sungguh dari biasanya (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 8/71)

Mengencangkan sarungnya, Abdurrahman as-Suyuthi  rahimahullah mengatakan, “ada yang mengatakan maksudnya adalah bahwa hal tersebut merupakan ungkapan tentang kesungguhan upaya dalam beribadah lebih dari kebiasaan yang dilakukannya di waktu-waktu lainnya.

Makna ungkapan tersebut adalah bergadang untuk beribadah… Ada juga yang berpendapat bahwa hal tersebut merupakan kiasan “menjauhkan diri dari wanita /istri untuk menyibukkan diri dengan berbagai macam bentuk ibadah”. Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, ‘yang ini lebih utama karena telah disebutkan sebelumnya tentang kesungguhan (Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam) dalam mengerahkan daya dan upaya (untuk beribadah) (ad-Diibaaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 3/264)

Hal ini diperkuat dengan tindakan Beliau beri’tikaf yang juga menunjukkan bentuk kesungguhan Beliau dalam upaya mencari Lailatul Qadar.

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ‘sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah beri’tikaf pada sepuluh malam pertama bulan Ramadhan, kemudian beliau beri’tikaf pada sepuluh malam pertengahan bulan Ramadhan dengan menempati sebuah qubbah turkiyyah (tenda yang berukuran kecil terbuat dari bulu domba dan yang sejenisnya) yang alasnya adalah tikar. Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu berkata,’ Beliau menarik tikar tersebut ke arah tenda dengan menggunakan tangan Beliau sendiri. (Setelah berada di dalam tenda) kemudian Beliau mendongakkan kepalanya untuk berbicara kepada khlayak. Orang-orang yang berada di dalam masjid kemudian mendekat ke arah Beliau. Setelah itu, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنِّي اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ، ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ، ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِي : إِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ ، فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

Sungguh aku pernah beri’tikaf pada sepuluh malam pertama (bulan Ramadhan) dengan maksud untuk mencari malam ini (yakni, Lailatul Qadar), kemudian aku beri’tikaf pada sepuluh malam pertengahan (bulan Ramadhan). Kemudian aku didatangi (Malaikat) lalu dikatakan kepadaku, ‘sesungguhnya malam itu (yakni, Lailatul Qadar ) terdapat pada sepuluh malam terakhir (bulan Ramadhan). Oleh karena itu, barang siapa di antara kalian yang ingin beri’tikaf hendaknya ia beri’tikaf (yakni, pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan). Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu berkata, (mendengar penuturan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut) maka orang-orang pun beri’tikaf bersama Beliau (pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan)..(HR. Muslim, no. 2828)

Pembaca yang budiman, maka, seyogyanya setiap muslim bersungguh-sungguh dalam upaya mencari malam yang lebih baik daripada seribu bulan ini dengan menghidupkan malamnya, bergadang untuk melakukan berbagai bentuk ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla baik berupa shalat, membaca al-Qur’an, dzikir dan doa dan bentuk aktivitas ibadah dan amal shaleh yang lainnya dalam rangka meneladani sang teladan terbaik, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, baik ia tengah dalam kondisi beri’tikaf di masjid ataupun tidak. Karena, sesungguhnya kesempatan untuk meraih Lailatul Qadar tersebut Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepada orang yang tengah beri’tikaf maupun orang yang sedang tidak beri’tikaf. Namun, tidak berarti bahwa orang yang beri’tikaf dengan orang yang tidak beri’tikaf sama saja dalam hal keutamaan perbuatan. Hal demikian itu karena orang yang beri’tikaf lebih utama dari orang yang tidak beri’tikaf dari sisi bahwa orang yang beri’tikaf melaksanakan amal yang disyariatkan, ia melaksanakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, meneladani Beliau yang biasa melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan,

أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga Allah mewafatkannya. Kemudian para istrinya beri’tikaf juga sepeninggal Beliau (HR. al-Bukhari, no. 2026)

Ibnu al-Munzir rahimahullah mengatakan, “Dan mereka (para ulama) sepakat bahwa i’tikaf merupakan sunnah, tidak wajib (hukumnya) atas manusia, melainkan apabila seseorang mewajibkan atas dirinya sendiri (untuk melakukannya) karena bernazar, maka (dalam kondisi ini) wajib atas orang tersebut untuk beri’tikaf (al-Ijma’, hal. 53)

Adapun dari sisi perbuatan I’tikaf itu sendiri, maka tidak ada hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang valid yang menjelaskan keutamaannya. Abu Dawud di dalam masailnya mengatakan, ‘aku pernah bertanya kepada Ahmad (yakni, Imam Ahmad bin Hanbal), ‘Anda mengetahui sesuatu (hadist) tentang keutamaan I’tikaf ? ia menjawab, “tidak”, kecuali sesuatu (hadist/riwayat) yang lemah (Masa-il Abi Dawud, hal 96). Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang orang yang beri’tikaf,

هُوَ يَعْكِفُ الذُّنُوبَ ، وَيُجْرَى لَهُ مِنْ الْحَسَنَاتِ كَعَامِلِ الْحَسَنَاتِ كُلِّهَا

Dia adalah orang yang tengah menahan diri dari dosa, diberikan kepadanya (pahala) kebaikan-kebaikan seperi orang yang melakukan kebaikan-kebaikan seluruhnya (HR. Ibnu Majah, dalam kitab I’tikaf, bab : Fii Tsawabi al-‘tikaf, hadist no. 1781), al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman, 7/523, dari jalur periwayatan Ubaidah al-‘Amiy dari Farqad Abu Ya’qub as-Subkhiy dari Sa’id bin Jubair di dalam hadistnya adalah munkar. Sedangkan (perowi yang bernama) Ubaidah al-‘Amiy, Ibnu Hajar di dalam at-Taqrib (1/247) mengatakan tentang perowi ini (dia adalah seorang perowi) yang majhul (tidak diketahui keadaannya). Dan, al-Baihaqi di dalam asy Syu’ab mengisyaratkan kepada kelemahannya. Al-Bushiriy di dalam az-Zawaid juga melemahkannya (Fiqhu al- ‘itikaf, 1/148). Wallahu a’lam

Ungkapan Mulia di Malam Mulia

Dari ‘Aisyah radhiiyallahu ‘anha, ia berkata,

يا رَسُولَ اللهِ، أرَأيْتَ إنْ عَلِمْتُ أيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ، مَا أقُولُ فِيها؟ قَالَ: ((قُولي: اللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Wahai Rasulullah, andai aku mengetahui bahwa aku mendapatkan malam Lailatul Qadar, apa yang seyogyanya aku ucapkan?”Beliau menjawab, “Katakanlah: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).”

(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Adapun tambahan kata “kariim” setelah “Allahumma innaka ‘afuwwun…” tidak terdapat dalam satu manuskrip pun. Lihat Tarooju’at Al ‘Alamah Al Albani fi At Tash-hiih wa At Tadh-‘if no. 25)

Mengakhiri tulisan ini, penulis mengajak Anda -wahai saudaraku, kaum muslimin di manapun Anda berada- baik Anda yang sedang beri’tikaf maupun yang tidak, marilah kita bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla atas nikmat yang dikaruniakanNya kepada kita berupa “berjumpa dengan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan kali ini” dengan cara meningkatkan kesungguhan sebagaimana yang dicontohkan sang teladan seperti menghidupkan malam-malamnya dengan berbagai bentuk aktivitas ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla sehingga harapan kita untuk mendapatkan Lailatul Qadar terwujud dan berhasil mendulang kebaikan yang banyak. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita. Aamiin

(Redaksi)

Referensi :
1. Ad-Diibaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Abdurrahman bin Abi Bakr Abu Fadhl as-Suyuthiy
2. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Mary an-Nawawi.
3. Fiqhu al-‘Itikaf, Prof. Dr. Khalid bin Ali al-Musyaiqih, dll.