Pemahaman dua kata ini di kalangan sebagian orang rancu, hal itu karena masing-masing dari keduanya memiliki batasan syar’i, bila batasan ini dilampaui, maka ia membawa kepada sesuatu yang tercela. Ketakutan yang sangat yang melebihi batas menyeret kepada sikap berputus asa dari rahmat Allah. Sedangkan harapan yang bersih dari rasa takut menyeret kepada angan-angan dan tipu daya.

Seorang hamba harus takut sekaligus berharap, rasa takut yang benar sekaligus terpuji adalah rasa takut yang menghalangi pemiliknya untuk melakukan larangan-larangan Allah, bila lebih dari itu maka ditakutkan lahir sikap putus asa dan hilang harapan. Sedangkan harapan yang terpuji adalah harapan kepada amal ibadah dengan menaati Allah di atas cahaya dari Allah, dia berharap pahalaNya atau seorang laki-laki melakukan dosa kemudian dia bertaubat kepada Allah, dia berharap ampunanNya. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 218).

Perhatikanlah bagaimana mereka berharap sekalipun mereka beriman dan menjalankan ketaatan-ketaatan tersebut? Harapan yang benar adalah yang diikuti dengan pelaksanaan terhadap sebab-sebab yang menjadi tuntutan dari hikmah Allah Ta’ala, syariat, takdir, pahala dan kemuliaanNya. Seandainya ada seseorang yang memiliki sebidang tanah, dia berharap tanah tersebut menghasilkan sesuatu yang bermanfaat baginya, namun dia membiarkannya terbengkalai, tidak mengolah dan tidak menanaminya, dia berharap tanah tersebut tetap akan menghasilkan seperti tanah milik orang yang lain diolah, ditanami dan dirawat, niscaya orang-orang menganggapnya orang yang paling dungu.

Demikian pula bila dia berharap dan membaguskan dugaannya bahwa dirinya akan memiliki anak tanpa menikah, atau menjadi ulama paling hebat di zamannya tanpa kesungguhan sempurna dalam menuntut ilmu dan yang semisal dengan ini. Demikian pula dengan orang yang berkhayal dan berharap dengan sangat bisa meraih derajat-derajat tinggi dan kenimatan yang abadi tanpa melakukan ketaatan dan kedekatan kepada Allah Ta’ala dengan menjalan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya.

Perlu diketahui bahwa siapa yang berharap sesuatu maka harapannya itu menuntut beberapa perkara:

Pertama: menyintai apa yang diharapkan.

Kedua: takut bila ia tidak diraih.

Ketiga: berusaha sebisa mungkin untuk meraihnya.

Adapun harapan yang tidak diikuti sesuatu apa pun dari hal ini, maka ia hanyalah angan-angan kosong, harapan adalah sesuatu sedangkan anag-angan adalah sesuatu yang lain. Setiap pengharap adalah penakut, dan orang yang berjalan di sebuah jalan, bila dia merasa takut maka dia akan bergegas karena takut tertinggal.

Lain halnya dengan seseorang yang bersikukuh dalam keteledoran dan kesalahan, namun begitu dia tetap berharap rahmat Allah tanpa melakukan apa pun, maka hal itu adalah angan-angan kosong, tipu daya dan harapan palsu.

Abu Ali ar-Raudzabadi berkata, “Takut dan harapan sama dengan dua sayap burung, bila keduanya seimbang maka burung akan terbang dengan lurus, bila salah satu dari keduanya berkurang, maka terjadilah kekurangan padanya, dan bila keduanya lenyap maka burung itu mendekati batas kematian.”

Allah telah memuji orang-orang yang takut sekaligus berharap dengan firmanNya,
Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?” (Az-Zumar: 9).

Allah Ta’ala berfirman, “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap.” (As-Sajdah: 16).

Harapan menuntut rasa takut, bila tidak maka ia adalah rasa aman, sedangkan rasa takut menunut harapan, bila tidak maka ia adalah putus asa dan hilang harapan.

Bila kamu takut kepada sesuatu maka kamu menjauh darinya kecuali Allah Ta’ala, bila kamu takut kepada Allah, maka kamu berlari kepadaNya, orang yang takut berlari dari Rabbnya kepada Rabbnya.

Dalam ash-Shahih dari Nabi saw bersabda,

يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي.

“Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku menurut dugaan hambaKu kepadaKu.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Dalam Shahih Muslim dari Jabir berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda tiga hari sebelum wafat,

لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِربه

Janganlah salah seorang di antara kalian mati kecuali dia menduga baik kepada Tuhannya.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Oleh karena itu ada yang berkata, “Hendaknya harapan hamba saat dia sakit lebih kuat daripada rasa takutnya, lain halnya saat sehat, hendaknya rasa takutnya lebih kuat daripada harapannya.”

Sebagian dari mereka berkata, “Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan cinta saja maka dia zindik. Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan takut saja maka dia Haruri. Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan cinta, takut dan harapan maka dia adalah mukmin ahli tauhid.”

Mahmud al-Warraq telah berkata dengan baik,

Sekiranya kami melihat pahala dari amal kebaikan
Yang kecil niscaya kamu takjub kepada kebesarannya
Sekiranya kamu melihat balasan dari amal keburukan
Yang remeh niscaya kamu khawatir akibat buruknya. Wallahu a’lam.

Syarah Thahawiyah, Ibnu Abil Izz al-Hanafi.