islam-pasti-sempurna

Dr. Najat lahir di India, ia tumbuh dewasa ke-mudian menuntut ilmu di negara kelahirannya itu. Setelah ia berhasil meraih gelar Insinyur dari sebuah universitas, ia bekerja sebentar. Lalu ia pergi ke Kanada untuk melanjutkan studi ke Akademi Tinggi Arsitek-tur. Najat bukanlah nama aslinya, nama aslinya tidak dapat aku tuliskan dan aku ucapkan. Aku tidak me-ngetahui tentang nama aslinya itu melainkan nama itu adalah tradisi yang diberikan keluarga penganut Hindu yang fanatik kepada anak-anak mereka. Keluarga ini berupaya menanamkan dasar-dasar agama Hindu dan menjadikannya seorang militan yang teguh mempe-lajari agama tersebut. Demikianlah perjalanan hidupnya dalam sebuah masyarakat yang terisolir di negaranya.

Namun setelah ia berangkat ke Kanada, ia mene-mukan komunitas masyarakat yang berasal dari bera-gam budaya dan pemikiran yang berbeda. Di kampus ia menemukan suasana keterbukaan yang memung-kinkan dirinya untuk membuka dialog dan diskusi di segala bidang. Apalagi ia seorang pemuda yang cerdas dan pintar, ia mulai memikirkan agama yang sedang dianutnya. Ia membahas tentang kebenaran agama ter-sebut. Dengan cepat ia mengambil kesimpulan bahwa keyakinan dan syiar agama Hindu adalah batil. Lantas ia mencari penggantinya dalam kitab Injil, kitab agama Nasrani. Agama inilah yang pertama kali terlintas dalam benaknya, karena ia berada dalam lingkungan masya-rakat Nasrani.

Dan nyatanya, iapun memeluk agama Nasrani, karena agama ini ia anggap lebih benar dibandingkan dengan agamanya dulu yang penuh kesesatan. Namun selang beberapa waktu, ia mengetahui bahwa agama Nasrani mengandung sedikit ilmu dan tidak mampu menjawab apa yang sedang ia cari. Ia menjumpai dalam agama ini perkara yang kontradiktif dan perkara-perkara batil lainnya yang mustahil untuk dikatakan sebagai sebuah agama yang benar. Kemudian mulailah ia mempelajari dan mendalami agama Islam. Peristiwa itu terjadi pada saat ia masih dalam proses meraih gelar doktor di bidang teknologi.

Suasana pemikiran kampus yang bebas membe-rikan pengaruh besar terhadap diri Najat dalam me-ngenal Islam lebih dalam. Kampus tempat ia belajar berkali-kali mensponsori dialog antar penganut agama yang berbeda, khususnya penganut agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Dialog tersebut dilakukan dalam suasana yang hangat dan tenang serta tidak melewati batas kode etik.

Ketika ia mulai membanding-bandingkan agama-agama tersebut, jelaslah baginya adanya kontradiktif dalam agama Nasrani yaitu seseorang yang mengam-bil tiga Tuhan sekaligus.

Bahkan agama Hindu mempunyai Tuhan lebih banyak. Kemudian fitrah suci yang sesuai dengan jiwa yang sehat dan dapat diterima akal yaitu hanya beri-badah kepada Tuhan Yang Maha Esa, Maha Mendengar lagi Maha Melihat. IlmuNya meliputi segala sesuatu. Selain Dia adalah makhluk. Dia Yang Maha Esa dan hanya Dia yang berhak untuk disembah. Tanpa pikir panjang lagi, hati dan akalnya sudah mantap memilih Islam lalu dengan suka rela ia memeluknya.

Kemudian ia menukar namanya yang berbau Hin-du dengan nama Islami yaitu Najat sebagai bukti atas selamatnya ia dari kekufuran menjadi seorang yang beriman. Ia mengetahui bahwa memeluk agama Islam itu sangat mudah, namun untuk konsisten membutuhkan ekstra kesabaran dan kebiasaan. Ia juga mengetahui kewajibannya untuk berumah tangga secepat mungkin untuk menjaga dirinya dan kematangan hidupnya.

Ia memilih seorang gadis dari keluarga muslim yang terhormat di kota Winzar dan pestanya dilang-sungkan di masjid kota itu. Keberhasilan hidupnya se-makin sempurna setelah ia meraih gelar Doktor yang merupakan tingkat disiplin ilmu yang ia idam-idam-kan. Kemudian ia mendapat pekerjaan di pabrik mobil Ford Company yang terletak di kota Detroit Amerika.

Iapun pindah ke kota yang terdekat dengan pa-brik tersebut karena di situ ada masjid tempat ia mela-kukan shalat. Di masjid inilah awal pertemuan dan perkenalanku dengannya.

Setelah beberapa kali pertemuan, aku bertanya kepadanya apakah ia dapat membaca al-Qur’an. Bagai disambar pertir aku mendengar bahwa ia belum dapat membaca al-Qur’an, padahal ia sangat ingin dan mam-pu untuk mempelajarinya. Sebenarnya hal ini merupa-kan problematika kita sebagai kaum muslimin. Kita sering berdialog dan memberikan bantahan, membica-rakan hal-hal yang wajib dan yang tidak wajib namun sedikit sekali yang mengamalkannya. Walau banyak sudara-saudara kita muslim yang telah mengenal seo-rang yang baru masuk Islam ini, namun tak seorang pun yang peduli dengan kebutuhan dan kondisinya. Aku pernah mempertanyakan hal itu kepada istrinya sebagai sindiran untuknya, “Mengapa anda tidak ajar-kan suami anda membaca al-Qur’an dengan huruf Arab, padahal kalian telah lama berumah tangga?” Tetapi istrinya tidak memberikan jawaban. Namun aku dapat membaca bahwa ketidak pedulian dan kurang perhatian merupakan jawaban dari pertanyaan terse-but dan juga merupakan jawaban terhadap orang-orang yang lalai dan tidak mengindahkannya. Tentu-nya hal ini sangat disayangkan…

Kemudian aku katakan kepada Najat agar menye-diakan waktunya setiap minggu di hari libur, agar aku dapat mengajarkannya membaca al-Qur’an dengan izin Allah. Kami bertemu dan duduk beberapa jam sehabis shalat Shubuh setiap minggu pada hari libur. Selang beberapa waktu kemudian ia sudah mampu membaca al-Qur’an. Aku juga memberi tahu beberapa ikhwan lain tentang pelajaran kami, sehingga mereka juga datang mengikuti pelajaran tersebut. Setiap yang mampu membaca al-Qur’an dengan huruf Arab ditu-gaskan untuk mengajar satu orang yang belum mampu membacanya. Para ikhwan menjadi terbiasa berkum-pul belajar al-Qur’an setiap pagi hari Sabtu dan Ahad, kemudian ditutup dengan menyantap sarapan pagi bersama di masjid.

Setelah kemampuan Najat membaca al-Qur’an meningkat dan sanggup membaca semua surat-surat dalam Juz ‘Amma, ia belajar kepada orang yang mem-punyai kemampuan lebih dariku, yaitu orang tua dari negeri Syiria, sehingga ia dapat mengucapkan huruf Arab dan membaca al-Qur’an dengan lebih baik. Sema-ngat dia dan gurunya semakin bertambah sehingga mereka bertemu setiap hari setelah shalat Shubuh. Setiap hari Najat keluar dari rumah sebelum masuk waktu shalat subuh, lalu shalat di masjid dan belajar dengan gurunya hingga mendekati jam kerjanya. Dari sana ia tidak kembali ke rumah, tetapi langsung me-nuju kantornya. Ia juga datang bersama keluarganya ke masjid setiap shalat Isya’. Najat dan gurunya (semo-ga Allah memberi mereka ganjaran yang baik) tetap rutin melaksanakan proses belajar mengajar ini walau-pun cuaca sangat dingin dan turun salju serta angin dingin yang menusuk tulang.

Gurunya yang berasal dari Syiria sangat bangga dengan muridnya tersebut. Terkadang ia bergurau kepadaku, “Sekarang Najat mampu menyebutkan huruf Arab dan membaca al-Qur’an lebih baik darimu.” Bah-kan ia sanggup membaca al-Qur’an di surat manapun. Di samping belajar membaca al-Qur’an, ia juga membaca maknanya dalam bahasa Inggris sehingga pemahaman dan ilmunya semakin dalam. Ia juga sudah memulai menghafal al-Qur’an hingga ia mampu menghafal ku-rang lebih setengah dari juz ‘Amma.

Mereka yang bekerja di masjid kaum muslimin yang berada di negara barat dapat merasakan kesu-litan untuk menjalankan urusan-urusan masjid, karena tidak ada yayasan Islam resmi yang memberikan sub-sidi. Jadi dana operasional ditanggung oleh jamaah masjid sendiri. Dan urusan-urusan tersebut kebanyakan dilaksanakan secara sosial karena tidak ada sumber dana tetap untuk masjid tersebut kecuali dari bantuan-bantuan yang diberikan oleh jamaah sendiri. Demikian juga sangat sulit mendapatkan ikhwan-ikhwan yang bekerja secara suka-rela dengan kesungguhan, keikh-lasan dan tekun tanpa menimbulkan problem dan tidak banyak membantah.

Banyak kaum muslimin di antara kita berkomentar miring terhadap kaum muslimin yang datang dari ber-bagai belahan dunia Islam. Mereka datang ke negara barat ini dengan membawa penyakit malas dan sedikit beramal, namun banyak memberikan komentar terhadap apa yang dikerjakan orang. Ini masalah yang sangat banyak kita temui. Hanya saja Dr. Najat dengan suka rela menyelesaikan urusan masjid tanpa diminta oleh siapapun. Ia adalah orang yang sering membukakan pintu masjid untuk pelaksanaan shalat subuh. Karena dialah yang datang paling awal padahal tempat ting-galnyalah yang paling jauh di antara kami. Pada musim dingin, ia membersihkan jalan menuju masjid dari bongkahan salju dan menaburkan garam untuk mencairkan es agar orang yang melintas tidak terge-lincir dan jatuh. Ini merupakan pekerjaan yang teramat penting, bukan hanya menghindari orang agar tidak tergelincir, tapi juga untuk menjaga masjid, agar tidak membuat orang lain yang melintas di depannya terge-lincir sehingga ia memperkarakan masalah ini ke pe-ngadilan dan meminta ganti rugi. Kasus seperti ini sering terjadi di negara ini.

Dr. Najat juga banyak membantu urusan opera-sional madrasah Islam di masjid tersebut yang aktifi-tasnya di buka setiap akhir pekan. Ia membuka pintu masjid sebelum shalat Zhuhur dan membersihkan salju serta menaburkan garam sebelum murid dan guru datang. Ia juga bertugas mengutip uang sekolah dari orang tua murid yang terdaftar di sekolah tersebut. Ia yang membeli makanan ringan untuk para murid, membersihkan dapur dan lemari es dengan rapi. Jika melihatnya engkau akan merasa seolah-olah ia laku-kan itu untuk rumahnya sendiri. Ia membersihkan dan memelihara kebun yang ada di sekeliling masjid. Ia membeli pupuk dan garam dengan uangnya sendiri dan ia juga yang memupuk tanaman kebun dan men-cabuti tumbuhan dan rerumputan yang merusak tanaman. Semua ini ia lakukan dengan sangat tekun dan penuh perhatian, sebagaimana ia juga ikut andil menebang pohon tua yang terdapat di sekitar masjid bersama ihkwan lainnya.

Pada bulan Ramadhan, ia mendatangkan hidangan berbuka puasa dari rumahnya, sebagaimana ikhwan lain juga ikut memberikan bantuannya untuk berbuka di masjid setiap hari. Dan ia juga ikut membantu ikh-wan lain dalam menertibkan dan mempersiapkan makanan berbuka setiap hari. Semuanya ia lakukan sendiri dengan tenang dan tidak banyak bicara dan juga tidak menyuruh orang lain atau meminta bantuan orang lain.

Adapun pada hari raya ia mempersiapkan apa yang dibutuhkan dalam pelaksanaan shalat ‘Ied dan layanan setelah shalat ‘Ied. Sudah menjadi kebiasaan setiap tahunnya, setiap selesai shalat ‘Ied keluarga Dr. Najat banyak di undang oleh keluarga-keluarga lain ke rumah mereka.

Pada suatu kali aku bertanya kepada Dr. Najat, “Bagaimana perasaanmu sekarang setelah engkau me-meluk agama Islam dan dapat membaca al-Qur’an?” Ia menjawab, “Sebenarnya aku tidak mungkin memban-dingkan antara hidayah dan kebaikan yang aku dapat dalam Islam dengan kegelisahan dan kesia-siaan yang aku rasakan ketika dahulu memeluk agama Hindu dan Nasrani. Demikian juga ketika aku mendengar al-Qur’an dibacakan, sangat banyak mempengaruhi jiwa dan hatiku.”

Terkadang Dr. Najat mengimami shalat jama’ah jika orang yang bacaannya lebih baik dari bacaannya tidak hadir. Demikianlah walaupun kami sudah ter-biasa dengan melaksanakan perintah Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam , “Yang mengimami suatu kaum adalah yang paling baik bacaannya.”Namun beliau juga menjelaskan makna yang tertinggi di antara makna-makna agama yang telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitabNya,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara ka-lian adalah orang yang paling takwa.” (Al-Hujurat: 13).

Lelaki yang tadinya beragama hindu setelah Allah memberikan hidayah Islam dan kebenaran kepadanya, kini mengimami shalat jamaah. Seorang yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling takwa dan yang terbaik membaca al-Qur’an dengan tanpa melihat asal-usul, warna kulit dan negara asalnya. Kita bermohon kepada Allah semoga memberikan kita ke-tetapan hati dalam kebenaran dan menambah keba-ikan kita.

Sumber: Serial Kisah Teladan 1, Muhamad Shalih Al-Qahthani, Hal: 27, Penerbit Darul Haq