hudAllah telah mengutus Nabi Hud ‘alaihissalam kepada kaum ‘Ad yang pertama yang tinggal di daerah Ahqaf; sebuah padang pasir di Hadramaut. Ketika mereka banyak melakukan kejahatan dan kelaliman terhadap hamba-hamba Allah Ta’ala, seraya mereka berkata,مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً [فصلت : 15] “Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami.” (Fushshilat: 15). Juga mereka pun melakukan kesyirikan kepada Allah dan mendustakan para rasul-Nya.

Allah mengutus Nabi Hud ‘alaihissalam kepada mereka untuk menyeru mereka supaya beribadah kepada Allah serta mengesakan-Nya, dan mencegah mereka dari kemusyrikan serta perbuatan zhalim terhadap hamba-hamba-Nya. Nabi Hud ‘alaihissalam menyeru mereka dengan berbagai cara dan mengingatkan mereka terhadap ni’mat yang telah dikaruniakan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka berupa kemewahan dunia, kelapangan rezki dan kekuatan. Tetapi mereka menolak seruannya, tidak memenuhinya serta menunjukkan kesombongan, seraya mereka berkata,يَا هُودُ مَا جِئْتَنَا بِبَيِّنَةٍ [هود : 53] “Hai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata.” (Hud: 53).

Mereka telah berbohong dalam melontarkan tuduhan itu, karena “tidak ada seorang nabi pun kecuali Allah memberinya tanda-tanda (yang menunjukkan kekuasaan Allah dan kebenaran risalahnya) yang semestinya manusia mengimaninya.”

Jika tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kebenaran kerasulan para rasul, maka agama yang dibawa mereka adalah bukti terbesar yang menunjukkan bahwa agama itu dari Allah, karena ketentuan-ketentuan hukum dan peraturan-peraturannya ditujukan untuk kemaslahatan sepanjang zaman ditinjau dari segi kemuliaan dan kebenaran beritanya. Juga memerintahkan kepada seluruh kebaikan dan melarang dari semua kejahatan. Semua rasul akan membenarkan kerasulan seorang rasul yang sebelumnya dan mempersaksikannya, dan membenarkan kerasulan seorang rasul sesudahnya dan mempersaksikannya.

Kemudian di antara tanda-tanda khusus yang menunjukkan kebenaran kerasulan Nabi Hud ‘alaihissalam bahwa di dalam dakwahnya ia memerintahkan supaya mengesakan Allah, merendahkan pikiran dan kesesatan kaumnya serta mencela tuhan-tuhan sesembahan mereka karena mereka adalah orang-orang yang berbuat lalim, keras serta kasar. Mereka menakut-nakuti Nabi Hud ‘alaihissalam dengan ancaman yang akan ditimpakan tuhan-tuhan mereka jika tidak menghentikan celaannya tersebut dengan menimpakan kegilaan atau keburukan kepadanya. Kemudian Nabi Hud ‘alaihissalam menentang ancaman mereka secara terang-terangan seraya berkata kepada mereka dengan suara yang tegas dan lantang: “Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” Hud menjawab, “Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 54-56). Ternyata tuhan-tuhan mereka tidak menimpakan sesuatu keburukan apapun kepada Nabi Hud ‘Alais Salam.

Bukti terbesar apalagi yang lebih besar dari tantangan Nabi Hud ‘alaihissalam terhadap ancaman musuh-musuh yang sangat gigih menggagalkan dakwahnya dengan berbagai cara?

Setelah Nabi Hud ‘alaihissalam kewalahan menghentikan kelaliman mereka, maka ia pun berpaling dari mereka dan mengingatkan mereka akan turunnya adzab. Kemudian datanglah kepada mereka adzab yang tampak di berbagai penjuru, dimana keadaan cuaca saat itu sangat panas karena kemarau yang panjang, sehingga mereka sangat membutuhkan turunnya hujan. Mereka bergembira melihat gumpalan awan yang sangat tebal, seraya berkata, “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.” (Al-Ahqaf: 24). Allah Ta’ala berfirman, “(Bukan)! bahkan itulah adzab yang kamu minta supaya datang dengan segera.” (Al-Ahqaf: 24). Adzab tersebut diturunkan disebabkan perkataan mereka: “Maka datangkanlah kepada kami adzab yang telah kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” (Al-Ahqaf: 22).

Sedangkan adzab yang ditimpakan kepada mereka: “(yaitu) angin yang mengandung adzab yang pedih.” (Al-Ahqaf: 24) yang menerpa kaum ‘Ad.

“Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu lihat kamu ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tanggul-tanggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (Al-Haqqah: 7). Setelah itu “maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (Al-Ahqaf: 25).

Setelah dunia tersenyum kepada mereka, kemuliaan telah diraih, kemewahan hidup melimpah, daerah-daerah dan suku-suku yang tinggal di sekitar daerah mereka telah tunduk kepada mereka, maka berhembuslah kepada mereka angin yang sangat kencang selama beberapa hari yang sial “karena Kami hendak merasakan kepada mereka itu siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Dan sesungguhnya siksaan akhirat lebih menghinakan sedang mereka tidak diberi pertolongan.” (Fushshilat: 16). “Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di hari kiamat. Ingatlah, sesungguhnya kaum ‘Ad itu kafir kepada Rabb mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum ‘Ad (yaitu) kaum Huud itu.” (Hud: 60), sedangkan Allah menyelamatkan Nabi Hud ‘alaihissalam dan orang-orang yang bersamanya dari kaum mukminin.

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah).” (Asy-Syu’ara: 139), yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan dan kemurahan-Nya kepada para rasul serta orang-orang yang mengikuti mereka, dimana Allah telah menolong mereka dalam kehidupan dunia dan pada hari ditegakannya kesaksian; dan sebagai tanda pembatalan terhadap kejahatan serta akibat yang ditimpakan Allah sebab kejahatan itu adalah seburuk-buruknya akibat; serta sebagai tanda adanya kebangkitan dari kubur dan perhimpunan (setelah kebangkitan).

Sumber: Qishash Al-Anbiyâ’, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’adi-Maktabah Adhwâ’ As-Salaf.