hud
Kaum Tsamud ialah kaum ‘Ad generasi kedua yang tinggal di daerah Al-Hijr dan daerah-daerah sekitarnya. Mereka itu dikenal sebagai ahli dalam bidang peternakan dan pertanian. Mereka diberi sejumlah ni’mat, sehingga mereka dengan mudah membangun istana-istana yang megah serta pondokan-pondokan yang dibangun di atas gunung-gunung yang diukir dan dihiasi dengan berbagai hiasan yang indah.

Kemudian mereka menyalahgunakan dan mengkufuri ni’mat-ni’mat tersebut serta beribadah kepada tuhan selain Allah, dan Allah mengutus kepada mereka saudara mereka yaitu Nabi Shalih ‘alaihissalam dari suku mereka, sehingga mereka pun mengetahui keturunannya, kemuliaannya, keutamaannya, kesempurnaannya, kejujurannya serta keamanahannya. Kemudian Nabi Shalih ‘alaihissalam menyeru mereka supaya beribadah kepada Allah Ta’ala, ikhlas dalam menunaikan perintah agama-Nya, meninggalkan kebiasaan mereka beribadah kepada selain-Nya dan mengingatkan mereka dengan berbagai peristiwa yang telah terjadi pada umat-umat sebelum mereka, tetapi tidak ada yang mentaatinya, kecuali hanya sedikit.

Saat Nabi Shalih ‘alaihissalam mengingatkan mereka dan menuturkan dalil serta keterangan yang menjelaskan wajibnya mengesakan Allah, tetapi mereka memperlihatkan keingkaran, penentangan dan kesombongan, seraya berkata, “Hai Shalih, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan.” (Hud: 62). Yakni dulu kami berharap; bahwa kamu lebih utama dari kami semuanya, karena kesempurnaan dirimu, kemuliaan akhlakmu dan pendidikanmu yang baik.
Itulah pengakuan mereka yang disampaikan kepada Shalih ‘alaihissalam mengenai kesempurnaan hal-hal itu sebelum ia menyerukan agama yang diserukannya.

Tidaklah ada penyebab yang menjatuhkan martabat Nabi Shalih ‘alaihissalam di hadapan mereka kecuali menyeru mereka supaya beribadah kepada Pencipta dan meninggalkan beribadah kepada mahluk serta berusaha mendapatkan kebahagiaan yang abadi, dan tidak ada kesalahan yang dilakukannya kecuali menentang nenek moyangnya yang sesat dan mereka lebih sesat daripada nenek moyang mereka.

Nabi Shalih ‘alaihissalam menunjukkan bukti yang besar, ayat-ayat yang menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah, dalil-dalil yang membuktikan kebenaran kerasulannya dan memohon ni’mat untuk seluruh kabilah, seraya berkata, “Inilah unta betina dari Allah.” (Hud: 64) yang tidak akan ada seekor unta pun yang akan menyamainya dalam hal tubuhnya, kemuliaannya dan manfaatnya “… sebagai mu’zijat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu.” Yakni yang menunjukkan kebenaranku dan kelapangan rahmat Rabb-mu.

“… sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah.” (Hud: 64). Allah-lah yang mengurus rezkinya serta kamu yang mengambil manfaatnya. Suatu hari saluran air tersumbat maka seluruh kabilah datang memerah puting susu unta itu, dimana masing-masing memenuhi wadahnya. Datanglah kalian pada hari yang kedua, maka unta itu akan tetap mengeluarkan air susu seperti itu menurut kehendak Allah.

Di kota mereka Al-Hijr terdapat “sembilan orang laki-laki” (An-Naml: 48) dari kalangan pembesar-pembesar mereka yang menentang keras seruan Nabi Shalih ‘alaihissalam dan benar-benar menyimpang dari jalan Allah. Mereka “membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan.” (An-Naml: 48).

Nabi Shalih ‘alaihissalam memperingatkan mereka atas pembunuhan unta tersebut, ketika ia melihat kesombongan dan penolakan mereka terhadap kebenaran. Sedangkan yang pertama dilakukan oleh para pembesar yang jahat itu adalah mengadakan sebuah pertemuan umum untuk membunuh unta itu dan mereka sepakat untuk membunuhnya. Kabilah yang menganjurkan pembunuhan itu adalah kabilah yang paling celaka, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.” (Asy-Syams: 12). Setelah mereka bersepakat dan menganjurkan untuk membunuh unta tersebut, maka mereka pun bersiap-siap untuk membunuh unta tersebut. Mereka semua setuju, bahkan mereka pun memerintahkan supaya membunuhnya. Pembunuhan itu menjadi penyebab kebinasaan kabilah-kabilah tersebut seluruhnya.

Ketika Nabi Shalih ‘alaihissalam merasakan peristiwa yang sedang terjadi dan ia menyaksikan dengan pandangan yang ketakutan, maka ia merasa yakin bahwa adzab niscaya akan segera datang, karena kedurhakaan telah mencapai puncaknya dan di dalamnya tidak ada lagi harapan untuk meluruskan mereka, sehingga Nabi Shalih ‘alaihissalam berkata kepada mereka, “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan.” (Hud: 65). Nabi Shalih ‘alaihissalam telah mengingatkan mereka dengan peringatannya tersebut baik yang dekat maupun yang jauh.

Di sela-sela waktu tersebut kesembilan orang laki-laki yang jahat bersepakat untuk melakukan suatu perbuatan yang lebih kejam daripada membunuh unta betina; yaitu membunuh nabi mereka Shalih ‘alaihissalam, dimana mereka berjanji dan bersumpah dengan sumpah yang keji, dan mereka menyembunyikan rencana itu karena takut mendapat larangan dari anggota keluarganya karena Shalih ‘alaihissalam berada di lingkungan rumah (keluarga) yang mulia dan terhormat. Mereka pun berkata, “… kita sungguh-sungguh akan menyerang mereka dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari.” (An-Naml: 49). Kemudian jika anggota keluarganya menyangka kepada kita, bahwa kita telah membunuhnya, hendaklah kita bersumpah kepada ahli warisnya, bahwa kita “tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar.” (An-Naml: 49). Selanjutnya mereka merencanakan pelaksanaan kejahatan besar itu, tetapi meskipun mereka merencanakan makar (tipu daya) dengan sungguh-sungguh, maka Allah juga merencanakan makar untuk menyelamatkan Nabi-Nya Shalih ‘alaihissalam.

Pada saat mereka bersembunyi di lembah sebuah gunung menunggu datangnya kesempatan membunuh Shalih ‘alaihissalam maka Allah menimpakan siksaan pertama sekali kepada mereka, sehingga mereka terjerumus ke dalam neraka Jahannam mendahului kaum mereka, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menggelindingkan sebuah batu besar dari puncak gunung itu dan menimpa mereka, sehingga mereka mati sangat mengenaskan.

Kemudian setelah sempurna tiga hari, maka terdengarlah suara pekikan yang sangat keras dari atas kepala mereka dan terjadi gempa yang dahsyat dari bawah kaki mereka, sehingga mereka pun menjadi mayit-mayit yang bergelimpangan. Sedang Allah menyelamatkan Nabi Shalih ‘alaihissalam serta orang-orang yang bersamanya dari kaum mukminin. Selanjutnya Nabi Shalih ‘alaihissalam berpaling dari mereka yang durhaka, seraya berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Rabbmu, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat.” (Al-A’raf: 79).

Sumber : Qishash Al-Anbiyâ’, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’adi-Maktabah Adhwâ’ As-Salaf.