Di antaranya adalah lafazh الخَوْفُ dan الخَشْيَةُ, maka الخَشْيَةُ lebih tinggi tingkatannya dibandingkanالخَوْفُ. Ia (al-Khasyah) lebih besar dibandingkan al-Khauf, karena ia di ambil dari kata شجرة خشية artinya pohon yang kering, dan ia hilang/terlewat secara keseluruhan. Sedangkan al-Khauf berasal dari perkataan mereka ناقة خوفاء artinya terkenda penyakit, dan ia adalah kekurangan dan tidak hilang secara keseluruhan. Sebagaimana al-Khasyah terjadi disebabkan keagungan sesuatu yang ditakuti sekalipun الخاشي (orang yang takut tersebut) kuat, maka ia adalah Khauf yang disertai pengagungan. Sedangkan al-Khauf disebabkan karena lemahnya الخائف (orang yang takut), sekalipun sesuatu yan ditakuti tersebut adalah sesuatu yang kecil (sepele).

Dan huruf dasar pembentuk kata الخَشْيَةُ adalah خ-ش-ي yang di dalam tashrifnya menunjukkan makna kebesaran/keagungan. Maka kata الشيخ bermakna tuan yang besar (agung) dan الخيش adalah kain yang tebal. Oleh sebab itu lafazh الخَشْيَةُ biasanya digunakan berkenaan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti firman-Nya:

… إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُا …{28}

”…Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama… (QS. Faathir: 28)

Dan firman-Nya:

الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالاَتِ اللهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلاَ يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلاَّ اللهَ … {39}

”(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. … (QS. Al-Ahzaab: 39)

Adapun firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ … {50}

”Mereka takut kepada Rabb mereka dari atas mereka … (QS. An-Nahl: 50)

Maka kata al-Khauf di sini datang untuk menyifati Malaikat setelah penyebutan tentang kekuatan mereka dan besarnya (kerasnya) bentuk mereka. Maka pengungkapan tentang mereka dengan menggunakan kata al-Khauf adalah untuk menjelaskan bahwsanya mereka, sekalipun mereka keras (besar) dan kuat, namun di hadapan Allah mereka lemah. Kemudian disusul dengan al-Fauqiyyah (ketinggian) yang menunjukkan keagungan. Maka digabungkan dua hal yang dikandung oleh al-Khasyah tanpa mengurangi penjelasan tentang kekuatan mereka, dan keduanya itu adalah takutnya mereka kepada Rabb mereka disertai dengan pengagungan mereka terhadap-Nya Subhanahu wa Ta’ala.

Termasuk di dalam pembahasan ini kata الشُحّ dan البُخْل (Pelit/kikir). الشُحّ lebih parah dari البُخْل (sekalipun secara umum maknanya sama, yaitu kikir/pelit), karena ia (الشُحّ) adalah pelit yang disertai keinginan keras, dan itu yang terjadi biasanya.

Termasuk di dalam pembahasan ini juga kata السَبِيْل (jalan) dan الطَرِيْق (jalan). Maka kata السَبِيْل kebanyakan dipakai dalam konteks kebaikan, adapun kata الطَرِيْق, maka hampir ia tidak pernah dimaksudkan untuk kebaikan, kecuali jika disertakan dengan sesuatu yang menunjukkan hal itu berupa pemberian sifat, atau idhafah (penyandaran). Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

… يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيقٍ مُّسْتَقِيمٍ {30}

”… Membimbing kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Ahqaaf: 30)

Ar-Raghib rahimahullah berkata di dalam kitabn Mufradat-nya:”As-Sabil adalah jalan yang di dalamnya ada kemudahan, maka ia lebih khusus (dibandingkan kata ath-Thariq).”

Termasuk di dalam pembahasan ini juga kata مَدَّ dan أَمَدَّ.

Ar-Raghib rahimahullah berkata:”Kebanyakan al-Imdaad (amadda) datang dalam konteks hal-hal yang disukai, seperti dalam firman-Nya:

وَأَمْدَدْنَاهُمْ بِفَاكِهَةٍ … {22}

”Dan Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka ingini.” (QS. Ath-Thuur: 22)

Dan al-Madd (Madda) dalam konteks sesuatu yang dibenci, seperti firman-Nya:

… وَنَمُدُّ لَهُ مِنَ الْعَذَابِ مَدًّا {79}

”sekali-kali tidak, Kami akan menulis apa yang ia katakan, dan benar-benar Kami akan memperpanjang azab untuknya.” (QS. Maryam: 79)

(Sumber:مباحث في علوم القرآن karya Syaikh Manna’ al-Qaththaan rahimahullah, cet. Maktab al-Ma’arif, Riyadh hal. 207-208. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)