اَلْقَدِيْرُ, اَلْقَادِرُ, اَلْمُقْتَدِرُ

Mahakuasa

 (Serial Nama-nama Allah, Bagian 36)

Semua nama tersebut datang keterangannya di dalam al-Qur’an. Nama yang paling banyak disebutkan adalah اَلْقَدِيْرُ, kemudian اَلْقَادِرُ, dan terakhir اَلْمُقْتَدِرُ. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 284).

Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga berfirman,

إِنَّهُ كَانَ عَلِيمًا قَدِيرًا

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”     (Fathir: 44).

قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ

”Katakanlah, ‘Dia yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu kepada keganasan sebagian yang lain.” (al-Anam: 65).

 

وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا

Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Kahfi: 45).

Kesemuanya menunjukkan bahwa qudrah (kekuasaan) adalah sifat bagi Allah, dan bahwasanya Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- Mahasempurna kekuasaanNya. Oleh karena itu, dengan kekuasaanNya itu Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjadikan semua makhluk yang ada, dengan kekuasaanNya Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengaturnya, dengan kekuasaanNya Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menyempurnakan dan mengokohkannya dan dengan kekuasaanNya Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menghidupkan dan mematikan serta membangkitkan seluruh hamba untuk mendapatkan balasan. Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memberikan balasan kepada orang yang berbuat kebaikan dengan kebaikan dan membalas orang yang berbuat tidak baik dengan ketidakbaikan. Dialah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- yang apabila menginginkan sesuatu tinggal berkata: كُنْ (Kun, Jadilah), maka ia akan jadi. Dengan kekuasaanNya, Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- membolak-balikkan hati dan memalingkannya kepada apa yang Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kehendaki dan inginkan. Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memberi petunjuk orang yang Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kehendaki dan menyesatkan orang yang Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kehendaki. Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjadikan orang yang beriman sebagai mukmin dan menjadikan orang yang kufur sebagai orang kafir, yang berbuat baik sebagai orang yang berbakti dan orang yang berbuat tidak baik sebagai fajir.

Karena kesempurnaan kekuasaanNya, tidak ada seorang pun yang dapat meliputi sedikitpun dari ilmuNya, kecuali apabila Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berkehendak untuk mengajarkan ilmu itu kepadanya. Karena kesempurnaan kekuasaanNya, Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya selama enam hari tanpa merasa letih dan lelah. Tak ada seorang pun dari makhlukNya yang dapat membuatNya lemah dan tidak pula dapat mengalahkannya. Bahkan makhluk itu ada dalam genggamanNya di mana pun ia berada. Dia-lah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- yang kekuasaanNya selamat dari kelelahan, keletihan, ketidakmampuan, dan kelemahan dari apa yang Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-inginkan. Karena kesempurnaanNya pula, segala sesuatu tunduk kepada perintahNya dan di bawah pengaturanNya. Oleh karena itu, apa yang Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kehendaki akan jadi dan apa yang tidak Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kehendaki tidak akan jadi.

Di antara pokok keimanan yang agung adalah iman kepada takdir.  Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

“Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”   (Al-Qamar: 49).

وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا

“Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (Al-Ahzab: 38).

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

“Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Al-Furqan: 2).

Muslim meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- ia berkata,

جَاءَ مُشْرِكُو قُرَيْشٍ يُخَاصِمُونَ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِى الْقَدَرِ فَنَزَلَتْ (إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي ضَلَالٍ وَسُعُرٍ. يَوْمَ يُسْحَبُونَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ ذُوقُوا مَسَّ سَقَرَ إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ)

“Orang-orang musyrik suku Quraisy datang untuk mendebat Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- seputar takdir, maka turunlah ayat (yang artinya): ‘Sungguh, orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan akan berada dalam Neraka (di akhirat). Pada hari mereka diseret ke Neraka pada wajahnya (dikatakan kepada mereka), ‘Rasakanlah sentuhan api Neraka.’ Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qamar: 47-49).

Barangsiapa tidak beriman kepada takdir, maka ia tidak beriman kepada Allah -عَزَّ وَجَلَّ-. Imam Ahmad -رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Takdir adalah kekuasaan Allah.” Oleh karena itu, mengingkari takdir sama saja dengan mengingkari kekuasaan Allah -عَزَّ وَجَلَّ- dan memungkiri sifat-sifat Allah -عَزَّوَجَلَّ- atau salah satunya berseberangan dengan keimanan kepadaNya. Sebab di antara pokok keimanan kepadaNya adalah beriman kepada takdir-takdirNya.

Ibnu Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- berkata, “Takdir adalah aturan tauhid. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah -عَزَّ وَجَلَّ- dan beriman kepada takdir, maka itulah tali yang kokoh yang tidak akan dapat putus. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah -عَزَّ وَجَلَّ- dan mendustakan takdir, maka dia telah membatalkan tauhidnya.” (al-Qadr, 205; al-Ibanah, 1624; Usulul ‘Itiqad, 1224).

Auf -رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Aku pernah mendengar al-Hasan -رَحِمَهُ اللهُ- bertutur bahwa barangsiapa yang mendustakan takdir, maka dia telah mendustakan Islam. Sesungguhnya Allah –تَبَارَكَ وَتَعَالَى- telah menentukan takdir, menciptakan makhluk dengan takdir, membagi ajal dengan takdir, membagi rezeki dengan takdir, membagi ujian dan cobaan dengan takdir, dan Dia –تَبَارَكَ وَتَعَالَى- membagi keselamatan juga dengan takdir.” (al-Ibanah, 1676; Usulul ‘Itiqad, 1255).

Beriman kepada takdir merupakan salah satu sifat mulia para ulama. Ibnu Jarir -رَحِمَهُ اللهُ- meriwayatkan dalam tafsirnya, dari Ibnu Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- seputar firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Fathir: 28) .

Ibu Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.”

Ibnul Qayyim -رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Ini merupakan pemahaman dan ilmu Ibnu Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- dalam menafsirkan, pengetahuannya tentang hakikat nama-nama dan sifat, karena kebanyakan para ulama tidak menyempurnakan permasalahan ini sesuai takaran yang benar, meskipun mereka menetapkannya. Sedangkan orang-orang yang mengingkari takdir dan menyatakan bahwa perbuatan hamba adalah makhluk, maka mereka tidak menetapkannya sesuai dengan kadarnya dan orang-orang yang mengingkari perbuatan-perbuatan Rabb تَعَالَى yang ada padaNya, tidak pula menetapkan sesuai dengan yang semestinya, bahkan dengan terang-terangan mereka menyatakan bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak dapat menakdirkan perbuatan yang akan Dia lakukan. Barangsiapa yang tidak menetapkan bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- di setiap hari dalam kesibukan, melakukan apa yang Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kehendaki, maka dia tidak menetapkan bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Barangsiapa yang tidak menetapkan bahwa hati para hamba berada di antara dua jari dari jari jemari ar-Rahman, Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- membolak-baliknya sesuai kehendak-Nya dan bahwasanya Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- benar-benar Maha Membolak-balikkan hati, dan bahwasanya apabila Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berkehendak  untuk meluruskan hati pasti dapat meluruskannya, dan apabila berkehendak untuk menyesatkannya, maka Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- pasti dapat menyesatkannya, maka ia tidak menetapkan bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- Maha Berkuasa atas segala sesuatu, dan seterusnya dari keadaan-keadaanNya dan perbuatan-perbuatanNya yang barangsiapa tidak menetapkannya, maka dia tidak menetapkan bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Duhai, alangkah indahnya untaian kalimat alim umat ini dan penafsir al-Qur’an -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-. (Syifa’ al-‘Alil, 1/130-131).

 

Pengaruh dan Buah Iman kepada Kekuasaan Allah –عَزَّ وَجَلَّ

Sesungguhnya iman kepada kekuasaan Allah -عَزَّ وَجَلَّ- yang ditunjukkan oleh namaNya اَلْقَدِيْرُ, اَلْقَادِرُ dan اَلْمُقْتَدِرُ memiliki pengaruh yang begitu agung dan buah yang penuh berkah yang kembali kepada hamba, baik di dunia maupun di akhirat. Bagaimana tidak, sebab iman kepadaNya merupakan poros berputarnya tauhid beserta aturannya, prinsip iman dan kesempurnaannya, pokok agama dan penegaknya, dan ini adalah salah satu rukun iman dan kaidah dasar kebaikan.

Di antara buahnya yang penuh berkah adalah permohonan pertolongan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan bertawakal kepadaNya serta permohonan perlindungan dariNya akan menjadi kuat pada diri seorang hamba. At-Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Jami’nya dari Ibnu Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- da berkata, “Pada suatu hari aku pernah berada di belakang Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, lalu beliau berkata kepadaku,

يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ : اِحْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ اِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَلَوِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ رُفِعَتِ اْلأَقْلَامُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ

Wahai anak kecil! Sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat; jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu, jagalah Allah niscaya engkau akan mendapatiNya di hadapanmu, apabila engkau meminta maka mintalah hanya kepada Allah, dan apabila engkau memohon pertolongan maka mohonlah kepada Allah semata. Ketahuilah, bahwasanya umat ini berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu maka mereka tidak akan bisa melakukannya sedikitpun kecuali dengan apa yang telah Allah tuliskan untukmu. Dan seandainya mereka berkumpul untuk menimpakan suatu bahaya kepadamu maka mereka tidak dapat melakukannya sedikitpun kecuali dengan sesuatu yang telah Allah gariskan untukmu. Pena-pena telah diangkat dan catatan (takdir) telah kering” (HR. at-Tirmidzi).

 Di antara buahnya juga adalah disempurnakannya kesabaran dan ridha yang baik atas keputusan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

Ibnul Qayyim -رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Barangsiapa yang memenuhi hatinya dengan ridha terhadap takdir, maka Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- akan memenuhi dadanya dengan kecukupan, keamanan dan qana’ah, dan Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- akan memusatkan hatinya untuk mencintai-Nya, kembali dan bertawakal kepadaNya. Namun, barangsiapa yang bagian dari ridha tersebut luput darinya, maka hatinya akan dipenuhi dengan kebalikannya dan dia tersibukkan dengan hal yang dapat menjauhkannya dari kebahagiaan dan keberuntungannya.” (Madarij As-Salikin, 2/202).

Di antara pengaruhnya adalah diselamatkannya manusia dari penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki, dan yang lainnya lantaran keimanannya bahwa segala perkara dan urusan terjadi karena takdir Allah -عَزَّ وَجَلَّ- dan bahwasanya Dia -عَزَّ وَجَلَّ- yang memberi hamba dan menentukan bagi mereka rezekinya, Dia – عَزَّ وَجَلَّ- memberi kepada yang Dia -عَزَّ وَجَلَّ- kehendaki dan menahan (tidak memberi) siapa saja yang Dia -عَزَّ وَجَلَّ- kehendaki. Seluruh karunia adalah milikNya. Oleh karena itu, ada perkataan tentang orang yang hasad, “Sesungguhnya dia adalah musuh bagi nikmat Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- yang ada pada para hambaNya.”

Di antara pengaruhnya juga adalah dapat memperkuat tekad dan keinginan seorang hamba dalam antusias untuk mendapatkan kebaikan dan mencarinya, serta untuk menjauhi kejahatan dan lari darinya. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwasanya Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Antusiaslah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah bantuan kepada Allah serta jangan bersikap lemah, dan apabila engkau ditimpa sesuatu maka janganlah berkata, ‘Kalau saja aku berbuat demikian tentu akan menjadi demikian dan demikian’, akan tetapi ucapkanlah, ‘Takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki maka akan Dia lakukan.’ Sebab kata ‘Seandainya’ dapat membuka amalan setan.” (HR. Muslim).

 Di antara pengaruhnya adalah berharap kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dengan baik dan selalu memohon kepadaNya serta memperbanyak berdoa kepadaNya. Sebab, seluruh urusan ada di tanganNya. Imam Ahmad -رَحِمَهُ اللهُ- meriwayatkan dalam kitab Az-Zuhd dari Mutharrif bin Abdullah bin Asy-Syikhkhir, ia berkata, “Aku mengingat-ingat hal apa saja yang mengumpulkan kebaikan, dan ternyata kebaikan itu banyak, seperti puasa dan shalat. Selain itu, ternyata semua itu ada di tangan Allah -عَزَّ وَجَلَّ-. Apabila engkau tidak bisa mendapatkan apa yang ada di tangan Allah -عَزَّ وَجَلَّ, melainkan dengan cara meminta kepadaNya sehingga Dia memberinya kepadamu, maka ternyata yang mengumpulkan semua kebaikan itu adalah doa.”

Dahulu Nabi kita -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sering membaca doa,

اَللَّهُمَّ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ

“Ya Allah yang Maha membolak-balik hati, kokohkanlah hatiku di atas agamaMu.” (HR. Ibu Khuzaimah)

At-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Anas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- ia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُوْلَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ, فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ آمَنَّا بِكَ وَبِمَا جِئْتَ بِهِ فَهَلْ تَخَاُفُ عَلَيْنَا ؟ قَالَ نَعَمْ إِنَّ الْقُلُوْبَ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللهِ يُقَلِّبُهَا كَمَا يَشَاءُ

“Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – dahulu memperbanyak doa, ‘Wahai Maha Pembolak-balik hati, kokohkanlah hatiku di atas agamaMu.’ Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami beriman kepadamu dan dengan apa yang engkau bawa, apakah engkau mengkhawatirkan kami?’ Beliau bersabda, ‘Ya, sesungguhnya hati-hati (makhluk) ada di antara dua jari dari jari jemari Allah, Dia membolak-balikkannya sesuai kehendak-Nya’.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Wallahu Alam.

 

(Redaksi)

 

Sumber:

 

Fikih Asma’ul Husna, Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-‘Abbad Al-Badr.