Kebahagiaan rumah tangga yang menjadi sasaran setiap keluarga terbentuk di atas beberapa faktor, yang terpenting adalah bensin yang menggerakkan roda kendaraan rumah tangga, tanpanya roda rumah tangga mandek, anggotanya tidak bergerak, lha bagaimana mau bergerak sementara penggeraknya yaitu harta alias uang tak ada.

Uang bukan penentu kebahagiaan rumah tangga, tetapi tidak berarti pula peranannya bisa diremehkan, karena hidup perlu uang, rumah tangga butuh biaya, dari sini maka Rasulullah hanya memanggil anak-anak muda yang telah mampu ba`ah untuk menikah, karena menikah beresiko memikul nafkah yang berarti menyediakan uang.

Karena uang adalah rizki Allah, milik Allah dan di tangan Allah, Allah membaginya sesuai dengan kehendakNya dan karena hikmahNya, sekelompok orang dilapangkan uangnya oleh Allah, sementara yang lainnya disempitkan, itu terserah Allah, punya punya Allah ini, Anda tinggal menerima dan sebelum itu wajib berusaha. Saya berharap Anda termasuk yang dilapangkan rizkinya oleh Allah, bila tidak maka sabarlah dulu dan berikhtiarlah lebih ulet dan tekun, semoga Allah membuka jalannya.

Mengetahui Skala Prioritas

Dunia memang luas dan lapang, namun tidak dengan kehidupan, yang akhir ini selapang dan seluas apa pun tetap terbatas, ada tembok-tembok yang membatasi, ada rambu-rambu yang mengekang, namun pada saat yang sama tuntutan dan hajat kehidupan terus datang silih berganti seakan tidak akan pernah berhenti, kondisi ini mau tidak mau, suka tidak suka berkonsekuensi kepada sikap memilah skala prioritas, mendahulukan yang lebih penting kemudian yang penting dan seterusnya.

Apa yang saya katakan di atas berlaku umum, baik yang berharta lapang maupun yang berduit sumpek, karena bila yang berharta lapang tidak menetapkan skala prioritas dalam hidupnya maka dia bisa muflis alis bangkrut, bila yang kaya saja harus memperhatikan skala ini, apalagi yang miskin?

Menetapkan skala prioritas ini secara umum lebih dominan kepada istri, karena dia sebagai ikon dalam rumah tangga, istri tentu mengetahui benar keterbatasan rumah tangga di berbagai sisi kehidupan, keterbatasan finansial dan ekonomi misalnya, sebesar apa pun penghasilan suami plus penghasilan istri, jika istri bekerja, tetap ada atap yang membatasi, ada ruang yang menyekat, tetap ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh uang hasil usaha mereka berdua, ditambah dengan jiwa manusia yang tidak pernah berhenti berkeinginan, keadaannya selalu berkata, ”Hal min mazid?” (adakah tambahan?), maka sebagai istri bijak, dia harus mengetahui dengan baik prinsip dasar ini, maka dia mendahulukan perkara yang tingkat urgensinya tertingi kemudian setelahnya dan seterusnya.

Keterbatasan dalam hubungan di antara suami dan istri, mungkin karena latar belakang keduanya yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, keluarga yang berbeda, tabiat dan watak yang berbeda, hobi dan kesenangan yang berbeda, waktu yang tersedia untuk berdua minim, semua itu membuat hubungan suami istri serba terbatas, namun hal ini bukan penghalang yang berarti, bukan rintangan yang sulit selama istri memahami kaidah prioritas ini.

Istri yang baik adalah wanita yang mengetahui tatanan prioritas dengan baik, dalam tataran hubungan suami istri, secara emosinal dan fisik, dalam tatanan rumah tangga, secara formalitas dan etika, ia menempati deretan nomor wahid. Namun jangan disangka bahwa hal ini hanya wajib atas istri dan suami tidak, sebaliknya suami pun patut memahami kaidah ini, dia sebagai tulang punggung keluarga dan pencari bensinnya, tentu dia tahu batas-batas pengeluaran sesuai dengan penghasilannya, di mana kebijakan menuntut mendahulukan yang lebih penting. Kesepahaman suami dan istri dalam hal ini sangat penting agar kehidupan rumah tetap seimbang dan bahagia sekalipun dengan maisyah yang dhanka(penghidupan yang sempit-ed).

Realistis dalam Target

Di hari-hari pertama pernikahan, biasanya dalam benak orang yang menjalani tersusun rencana-rencana yang hendak diwujudkan, tertata target-target yang hendak direalisasikan, terlintas harapan-harapan yang hendak dibuktikan. Umum, lumrah dan jamak(wajar-ed), kata orang, hidup ini memang berharap, karena berharap kita bisa tetap eksis hidup dengan berbagai macam situasi dan kondisinya. Pun demikian dengan sebuah rumah tangga. Tahun pertama harus memiliki anu. Tahun kedua harus ada ini. Tahun ketiga, keempat dan seterusnya.

Sekali lagi wajar, selama hal itu masih menjejak bumi alias realistis dan bukan mengapung di awan alias berkhayal semata. Realistis dengan mengukur kemampuan dan maisyah. Dan soal harapan dan ambisi biasanya istri selalu yang menjadi motornya. Dalam sebuah ungkapan dikatakan, “Wanita menginginkan suami, namun jika dia telah mendapatkannya maka dia menginginkan segalanya.” Benar, penulis setuju dengan pembaca jika pembaca berkata, “Ah, tidak semuanya.” Setuju, karena ini hanya sebuah ungkapan dan tidak ada ungkapan yang general. Namun dalam batas-batas tertentu ada sisi kebenarannya, karena tidak jarang kita melihat beberapa orang suami yang banting tulang dan peras keringat demi kejar setoran yang telah dipatok istrinya, karena istri melihat kanan kiri, tetangga dan teman, si anu beli ini, si ini beli anu, kita harus bisa sepertinya dan seterusnya.

Maka alangkah bijaknya jika dalam menuntut dan mencanangkan target memperhatikan realita dan kapasitas rumah tangga, jika sebuah harapan sudah kadung digantung tinggi, lalu ia tidak terwujud maka kecewanya akan berat, layaknya orang jatuh dari tempat yang sangat tinggi, tentu sakitnya lebih bukan?

Sebagian istri memaksa suami menelusuri jalan-jalan yang berduri dan berkelok-kelok, di mana dia tidak menguasainya, apabila suami mengangkat tangan tanda dia tidak mampu mewujudkan sebagian dari tuntutannya, maka istri berteriak mengeluh. Hal ini, sesuai dengan tabiat kehidupan rumah tangga, menyeret kehidupan rumah tangga kepada jalan buntu selanjutnya yang muncul adalah perselisihan, jika ia menyentuh dasar kehidupan maka bisa berakibat keruntuhannya.

Seorang istri shalihah selalu mendahulukan akalnya, dia tidak membuat lelah suaminya dengan tuntutan-tuntutan yang tidak rasional, tidak membebaninya di luar kemampuannya dan tidak memberatkan pundaknya dengan permintaan-permintaan demi memenuhi keinginan-keinginan dan kesenangan-kesenangannya semata.

Salah satu contoh yang jarang ditemukan yang terjadi dalam sejarah tentang keteladanan sebagian istri yang begitu memperhatikan keadaan suami tanpa batas walaupun hal tersebut berarti mengorbankan kemaslahatannya sendiri adalah apa yang diriwayatkan oleh kitab-kitab ath-Thabaqat tentang Fatimah az-Zahra` pada saat dia dan suaminya Ali bin Abu Thalib mengalami kesulitan hidup yang membuatnya melewati tiga malam dalam keadaan lapar, pada saat Ali melihatnya pucat, dia bertanya, “Ada apa denganmu wahai Fatimah?” Dia menjawab, “Telah tiga malam ini kami tidak memiliki apa pun di rumah.” Ali berkata, “Mengapa kamu diam saja?” Fatimah menjawab, “Pada malam pernikahan, bapakku berkata kepadaku, ‘Hai Fatimah, kalau Ali pulang membawa sesuatu maka makanlah, kalau tidak maka jangan memintanya.” Wallahu a’lam. (Izzudin Karimi)