Ketahuilah -semoga Allah merahmati Anda- bahwa dianjurkan mengkaji Kalamullah (al-Qur’an) di setiap waktu. Dan, lebih ditekankan lagi di bulan Ramadhan, terlebih lagi di malam harinya.

Di dalam hadis Ibnu Abbas -semoga Allah meridhainya- disebutkan bahwa pengkajian al-Quran yang dilakukan antara Jibril dan Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- terjadi di malam hari. Ibnu Abbas -semoga Allah meridhainya- berkata :

كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُوْنُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيْحِ الْمُرْسَلَةِ

Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan pada bulan Ramadhan, saat beliau ditemui Jibril untuk membacakan kepadanya al-Qur’an. Jibril menemui beliau setiap malam pada bulan Ramadhan, lalu membacakan kepadanya al-Qur’an. Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-ketika ditemui Jibril lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang berhembus. (Shahih al-Bukhari, no. 322 dan Shahih Muslim, no. 2308).

Hal itu menunjukkan disukainya memperbanyak membaca al-Qur’an di bulan Ramadhan pada malam harinya. Karena, pada ghalibnya,  di malam hari kesibukan beraktifitas sudah terhenti. Kesungguhan terhimpun. Terhimpun pula antara hati dan lisan untuk lebih dapat mentadabburi al-Qur’an. Dan, bulan Ramadhan memiliki kekhususan terkait dengan al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran. (Qs. al-Baqarah : 185).

Ibnu Abbas –semoga Allah meridhainya- mengatakan, “Al-Qur’an turun sekaligus dari Lauh Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah, pada malam Lailatul Qadar. (Jami’ al-Bayan Fii Takwili al-Qur’an, 2/145).

Dan, telah diriwayatkan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- mulai menerima wahyu dan turun kepadanya al-Qur’an pada bulan Ramadhan. (Lihat, Tafsir ath-Thabariy, 2/145, dan lihat juga al-Jami’ Li-Ahkami al-Qur’an, al-Qurthubiy, 16/126).

 

Keteladanan Salaf

Dulu, para salafush shaleh membaca al-Qur’an pada setiap bulan Ramadhan di dalam shalat dan di luar shalat.

Al-Aswad, misalnya, ia membaca al-Quran dalam setiap dua malam, dan di bulan lainnya setiap malam. Yakni, ia membaca al-Qur’an setiap dua malam, pada seluruh bulan dalam setahun, dan pada bulan Ramadhan ia membaca al-Qur’an setiap malam.

Imam asy-Syafi’ i-semoga Allah merahmatinya- di bulan Ramadhan dapat mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak 60 kali, beliau membacanya di luar shalat. Kebiasaan beliau di luar bulan Ramadhan mengkhatamkan bacaan al-Qur’an setiap tiga malam, dan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan beliau mengkhatamkan bacaannya setiap malam di dalam shalat.

Qatadah, beliau selalu saja mengkhatamkan bacaannya pada setiap tujuh malam, dan di bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan bacaannya pada setiap tiga malam, sedangkan pada sepuluh hari terakhirnya, beliau mengkhatamkannya setiap malam.

Imam Malik –semoga Allah merahmatinya- bila telah memasuki bulan Ramadhan, beliau lari dari membaca hadis dan bermajlis dengan ahli ilmu, beliau mengkonsentrasikan diri membaca al-Qur’an dari Mushaf.

Az-Zuhriy –semoga Allah merahmatinya- apabila bulan Ramadhan telah masuk, ia mengatakan,

فَإِنَّمَا هُوَ تِلَاوَةُ الْقُرْآنِ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ

Sesungguhnya bulan itu (yakni, bulan Ramadhan) untuk membaca al-Qur’an dan memberikan makan. (Wadhaif Ramadhan, 1/74).

 

Akrab dengan al-Qur’an dan Menikmati Kelezatannya

Al-Qur’an telah diturunkan di Bulan Ramadhan, tinggal para hamba menikmatinya dan semakin akrab dengannya. Semakin seorang hamba akrab dengan al-Qur’an niscaya akan semakin banyak pula kemanfaatan yang didapatkannya, karena al-Qur’an memberikan petunjuk kepadanya.

إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيْرًا

Sungguh, al-Qur’an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang Mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar. (Qs. al-Isra : 9).

Dan, semakin seorang hamba menikmati al-Qur’an, niscaya hati seorang hamba akan semakin merasakan kelezatannya. Karena, al-Qur’an memiliki kelezatan yang tak ada tandingannya. Inilah Surga dunia. Dan, inilah jalan untuk mendapatkan Surga Akhirat.

 

Perkataan dan Kisah Paling Baik

Al-Qur’an adalah perkataan yang paling baik dan kisah yang paling baik, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabariy di dalam tafsirnya, dari ‘Aun bin Abdillah, ia mengatakan,

“Para sahabat Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah tertimpa perasaan jemu, lalu mereka mengatakan (kepada Nabi) ‘Ya Rasulullah!, ceritakan  kepada kami!, maka Allah menurunkan (ayat) :

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتَابًا

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an… (Qs. az-Zumar : 23).

Kamudian, (setelah beberapa lama) mereka dihinggapi kembali oleh perasaan jemu, lalu mereka mengatakan kembali (kepada Nabi), ‘Ya, Rasulullah!, ceritakan kepada kami (sesuatu) yang di atas hadis dan di bawah al-Qur’an –yang mereka maksudkan ialah ‘kisah’. Maka, Allah menurunkan (ayat) :

الر تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْمُبِينِ. إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ . نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ   

Alif, Laam, Raa. Ini adalah ayat-ayat Kitab (al-Qur’an) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya, Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. (Qs. Yusuf : 1-3).

Ketika mereka menginginkan perkataan, maka Dia menunjukkan mereka kepada perkataan yang paling baik, dan ketika mereka menginginkan kisah, maka Dia menunjukkan mereka kepada kisah yang paling baik pula.

 

Penyejuk Hati

Dan, al-Qur’an merupakan penyejuk hati, sebagaimana dalam doa beliau –shallallahu ‘alaihi wasallam- :

أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِي وَنُوْرَ صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي

(Ya Allah!) Jadikanlah al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, pengusir kesedihanku, serta penghilang kegundahanku. (HR. Ahamad, dan dishahihkan oleh al-Albani).

Malik bin Dinar –semoga Allah merahmatinya- berkata :

يَا أَصْحَابَ الْقُرْآنِ مَاذَا زَرَعَ الْقُرْآنُ فِي قُلُوْبِكُمْ فَإِنَّ الْقُرْآنَ رَبِيْعُ الْقُلُوْبِ كَمَا أَنَّ الْغَيْثَ رَبِيْعُ اْلأَرْضِ

Wahai para pembaca al-Qur’an! … Apa yang telah al-Qur’an tanam di dalam hati-hati kalian?! karena sesungguhnya al-Qur’an itu penyejuk hati sebagaimana halnya hujan penyejuk bumi. (al-Kasyfu Wa al-Bayan, 8/326).

Utsman bin Affan –semoga Allah meridhainya- berkata :

لَوْ أَنَّ قُلُوْبَنَا طَهُرَتْ مَا شَبِعَتْ مِنْ كَلَامِ رَبِّنَا ، وَإِنِّي لَأَكْرَهُ أَنْ يَأْتِي عَلَيَّ يَوْمٌ لَا أَنْظُرُ فِي الْمُصْحَفِ

Andai kata hati-hati kita suci, niscaya tak akan pernah merasa kenyang dari firman Rabb kita. Sungguh, aku benci, ketika datang suatu hari kepadaku sementara aku tidak melihat ke al-Mushaf (al-Qur’an) (yakni, tidak membaca al-Qur’an dengan melihat Mushaf). (al-Asma Wa ash-Shifat, 1/593).

Al-Hasan al-Bashriy –semoga Allah merahmatinya- mengatakan :

تَفَقَّدُوْا الْحَلَاوَةَ فِي ثَلَاثَةِ أَشْيَاءٍ : فِي الصَّلَاةِ وَفِي الذِّكْرِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فَإِنْ وَجَدْتُمْ وَإِلَّا فَاعْلَمُوْا أَنَّ الْبَابَ مُغْلَقٌ

Carilah kemanisan rasa itu dalam tiga hal : di dalam shalat, di dalam Dzikir, dan di dalam membaca al-Quran. Maka, jika kalian mendapatkan (kemanisan itu, maka beruntunglah kalian). Kalau tidak, maka ketahuilah oleh kalian bahwa pintu itu tertutup. (Madariju as-Salikin, 2/424).

Dan tempat kelezatan ini berada di dalam hati. Maka, manakala hati itu bahagia, merasa sedap, dan menikmatinya niscaya anggota tubuh akan merasa nikmat, terpengaruh oleh rasa lezat tersebut. Namun, untuk dapat hati menikmati kelezatan ini dipersyaratkan agar seseorang benar-benar mencurahkan dirinya terhadap al-Qur’an, ia memahaminya, mentadabburinya, dan memusatkan perhatiannya. Sebagaimana kata Ibnu Jarir ath-Thabariy, syaikhnya para ahli tafsir -semoga Allah merahmatinya-:

عَجِبْتُ لِمَنْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَلَا يَعْرِفُ مَعَانِيْهِ كَيْفَ يَتَلَذَّذُ بِقِرَاءَتِهِ

Aku heran kepada orang yang membaca al-Qur’an sementara ia tidak mengerti makna-maknanya, bagaimana ia akan menikmati kelezatan bacaannya. (A’mal al-Qulub, 1/149).

Beliau mengaitkan persoalan ‘menikmati kelezatan al-Qur’an’ dengan mentadabburi makna-maknanya, adapun orang yang tidak mentadaburinya niscaya ia tidak akan mendapatkan kelezatannya. Meskipun boleh jadi ia mendapatkan sebagiannya, ia juga tetap mendapatkan pahala membacanya. Dan, ini termasuk karunia dan pemberian Allah terhadap para hamba-Nya. Dia memberikan kelapangan kepada mereka berupa pintu-pintu kebaikan, dengan rahmat dan karunia-Nya. Akan tetapi kelezatan yang sangat besar itu bagi siapa yang mentadabburi dan memahaminya. Hal yang menjadi keinginan dirinya adalah mengetahui apa yang menjadi maksud Allah agar kemudian ia mengaplikasikannya dalam kehidupannya, sehingga ia menikmatinya dalam kehidupannya, dan bahkan juga sepeninggalnya serta pada hari Kiamat nantinya. Keinginan terbesarnya bukan sebatas pada membacanya saja, seperti kata al-Hasan al-Bashriy :

يَا ابْنَ آدَمَ كَيْفَ يَرِقُّ قَلْبُكَ وَإِنَّمَا هِمَّتُكَ آخِرَ السُّوْرَةِ

Wahai anak Adam!, bagaimana hatimu melembut  sementara keinginan terbesarmu hanya akhir surat (yang kamu baca). (Mafatih Tadabbur al-Qur’an, 1/48).

Dan, Ibnu Mas’ud –semoga Allah meridhainya- pernah mengatakan kepada Alqamah –yang kala itu terburu-buru di dalam membaca al-Qur’an- :

فِدَاكَ أَبِي وَأُمِّي رَتِّلْ فَإِنَّهُ زَيْنُ الْقُرْآن

Ayah dan ibuku sebagai tebusan bagimu, bacalah (al-Qur’an) dengan tartil, karena sesungguhnya hal itu akan semakin memperindah al-Qur’an. (Tafsir Ibnu Katsir,1/78).

Al-Hafizh Ibnu Katsir-semoga Allah merahmatinya- menyebutkan tentang firman-Nya :

وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلًا

Dan bacalah Al Quran itu dengan tartil. Yakni, bacalah ia dengan perlahan-lahan, karena hal itu akan membantu untuk memahami al-Qur’an dan mentadabburinya. Dan, demikianlah cara Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- membaca, Hafshah–semoga Allah meridhainya- mengatakan :

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي سُبْحَتِهِ جَالِسًا قَطُّ حَتَّى كَانَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِعَامٍ فَكَانَ يُصَلِّي جَالِسًا فَيَقْرَأُ السُّورَةَ فَيُرَتِّلُهَا حَتَّى تَكُونَ أَطْوَلَ مِنْ أَطْوَلَ مِنْهَا

Aku belum pernah sama sekali melihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- melakukan shalat Sunnah sambil duduk, hingga kurang lebih setahun menjelang wafatnya. Beliau shalat sambil duduk. Maka, beliau membaca Surat dengan mentartilkannya hingga surat yang dibacanya tersebut menjadi lebih panjang dari panjangnya yang sebenarnya. (HR. Ahmad).

 

Al-Qur’an Mengajak Bicara Hatimu

Salah seorang ahli ilmu yang mengambil spesialis tentang tafsir  dan ilmu-ilmu al-Qur’an, pernah ditanya tentang bagaimana cara agar seseorang cepat terpengaruh dengan al-Qur’an. Beliau-semoga Allah menjaganya- menjawab :

Handaknya engkau menjadikan bacaan al-Qur’an seolah tengah mengajak  bicara hatimu!. Beliau menghadirkan firman-Nya,

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيْلُ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ . نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الْأَمِيْنُ . عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُوْنَ مِنَ الْمُنْذِرِيْنَ 

Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. (Qs. Asy-Syu’ara : 192-194).

Berhentilah Anda pada firman-Nya, عَلَى قَلْبِكَ ke dalam hatimu, dan cobalah Anda mentadabburinya cukup lama.

Dan, lihatlah pengaruh bacaan al-Qur’an itu terhadap Jubair bin Muth’im –semoga Allah meridhainya- yang kala itu belum masuk Islam. Ia mengatakan, “Aku mendengar Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- membaca surat at-Thuur ketika shalat Maghrib, ketika sampai ayat ini,

أَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُوْنَ . أَمْ خَلَقُوْا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَلْ لَا يُوْقِنُوْنَ . أَمْ عِنْدَهُمْ خَزَائِنُ رَبِّكَ أَمْ هُمُ الْمُصَيْطِرُوْنَ

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu atau merekakah yang berkuasa? (Qs. Ath-Thuur : 35-37).

Jubair bin Muth’im berkata, “Hampir saja hatiku terbang!, dan ia mengatakan, ‘Itulah pertama kali keimanan menancap di dalam hatiku.’” (HR. Al-Bukhari).

Perhatikanlah olehmu ucapannya, “Hampir saja hatiku terbang“, dan perhatikan pula ucapannya, “Itulah pertama kali keimanan menancap di dalam hatiku.” hingga Anda yakin akan betapa pentingnya Anda melewatkan ayat-ayat al-Qur’an ke dalam hatimu, dengan ini Anda mendapatkan ketenteraman, seperti yang difirmankan-Nya,

الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ

(Yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram. (Qs. Ar-Ra’d : 28).

Maka dari itu, hadapkanlah hatimu kepada kitab Rabbmu, karena semakin Anda mendekatkan hati Anda kepadanya, niscaya Anda akan semakin merasa tentram dan semakin merasa lezat dengannya.

Akhirnya, Semoga Allah mengaruniakan taufik-Nya kepada kita, menjadikan kita semakin akrab dengan kitab-Nya al-Qur’an yang mulia. Amin. Wallahu A’lam.

 

(Redaksi)

 

Referensi :

  1. Al-Asma Wa ash-Shifat, Ahmad bin Husain al-Baihaqiy
  2. Al-Jami’ Li-Ahkami al-Qur’an, al-Qurthubiy
  3. Al-Kasyfu Wa al-Bayan, Ahmad bin Muhammad ats-Tsa’labiy
  4. A’mal al-Qulub, Khalid as-Sabt
  5. Al-Musnad, Imam Ahmad bin Hanbal
  6. At-Taladzdzudzu bil Qur’an, Muhammad Khalaf
  7. Jami’ al-Bayan Fii Takwili al-Qur’an, Muhammad bin Jarir ath-Thabariy
  8. Madariju as-Salikin, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
  9. Shahih al-Bukhari, Muhammad bin Ismail al-Bukhariy
  10. Shahih Muslim, Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburiy
  11. Tafsir Ibnu Katsir, Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqiy
  12. Wadhaif Ramadhan, Sulaiman bin Abdurrahman al-‘Umariy