Di antara ajaran yang diserukan Islam adalah seruan agar berhias dengan akhlak yang mulia dan adab yang luhur, yang dapat menaikkan derajat manusia dan mensucikan jiwanya. Dan di antara akhlak-akhlak tersebut adalah rasa malu atau perilaku malu.

Definisi

Rasa malu sebagaimana didefinisikan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah adalah ”Akhlak terpuji yang mendorong seseorang untuk meninggalkan sesuatu yang buruk dan mencegahnya dari kelalaian (meremehkan) dalam memenuhi hak para pemiliknya.” (Syarah an-Nawawi terhadap Shahih Muslim).

Keutamaan Rasa/ SIfat Malu

Rasa malu memiliki faidah yang sangat banyak. Hal itu dijelaskan dalam sunnah (hadits-hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara faidahnya adalah:

Sifat malu itu semuanya baik 

Sebagaimana hadits dari ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


((الحياء لا يأتي إلا بخير ))

Sesungguhnya sifat malu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits yang lain beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


((الحياء كله خير ))

Sifat malu adalah baik semuanya.” (HR. Muslim).

Di dalam dua hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa rasa atau sifat malu itu semuanya baik.

Rasa malu adalah akhlak yang dicintai oleh Allah

Sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:


(( إنَّ الله حيي سِتِّير يحب الستر والحياء ))

Sesungguhnya Allah Mahamalu dan Mahatertutup, Dia meyukai ketertutupan dan rasa malu.” (HR. Imam Abu Dawud dan Imam an-Nasaa’i).

Rasa malu bagian dari iman, setiap kali rasa malu bertambah pada diri seseorang maka bertambah keimanannya. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:


((الإيمان بضع وسبعون شعبة ، أفضلها قول لا إله إلا الله ، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق ، والحياء شعبة من الإيمان))

Iman itu ada 60 atau 70 sekian cabang, yang paling utama adalah (ucapan) Laa ilaaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu termasuk salah satu cabang dari iman.” (HR. Imam Abu Dawud dan Imam an-Nasaa’i).

Dan hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati seorang laki-laki dari kalangan Anshar yang sedang menasehati saudaranya karena sifat malu (yang ada pada diri saudaranya tersebut). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

((دعه فإن الحياء من الإيمان))

Biarkan dia, karena sesungguhnya rasa malu adalah bagian dari Iman.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam ash-Shahihain)

Rasa malu adalah bagian dari sifat dasar agama Islam

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:


(( إنَّ لكل دين خلقاً ، وخلق الإسلام الحياء ))

Sesungguhnya setiap agama memiliki sifat dasar (ciri khas), dan sifat dasar Islam adalah rasa (sifat) malu.” (HR. Imam Malik dalam al-Muwatha’ dan Ibnu Majah).

Rasa malu mendorong pelakunya untuk istiqomah di atas ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan.

Dan faidah yang terbesar dari sifat atau rasa malu adalah bahwa ia membawa pemiliknya ke dalam Surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


(الحياء من الإيمان والإيمان في الجنة ، والبذاء من الجفاء والجفاء في النار)) ((الترمذي))

Rasa malu adalah bagian dari Iman, dan Iman berada dalam Surga, dan sikap terang-terangan (dalam perbuatan maksiat dan tidak memiliki rasa malu) adalah keburukan, dan keburukan berada di Neraka.” (HR. at-Tirmidzi).

Wahai saudaraku seiman, sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian malu kepadanya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


(فالله أحق أن يُستحيا منه )) ((الترمذي))

Sungguh Allah adalah Dzat yang paling berhak untuk kalian malu kepada-Nya.” (HR. at-Tirmidzi)

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa hakekat malu adalah malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


(استحيوا من الله حق الحياء))

Malulah kepada Allah dengan malu yang sebenarnya.”

Para Shahabat berkata: ”Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Alhamdulillah sungguh kami sudah malu (kepada-Nya).” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


(ليس ذلك ولكن الاستحياء من الله حق الحياء أن تحفظ الرأس وما وعى وتحفظ البطن وما حوى ولتذكر الموت والبلى ومن أراد الآخرة ترك زينة الدنيا فمن فعل ذلك فقد استحيا من الله حق الحياء)). ((الترمذي))

Bukan itu (malu yang sebenarnya), akan tetapi malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya adalah kalian menjaga kepala dan isinya (organ-organ yang ada padanya seperti lisan, mata dll), menjaga perut (dari memakan yang haram) dan yang ada di dalamnya (anggota tubuh yang berkaitan dengannya seperti kemaluan, hati dll), dan engkau mengingat kematian, dan kondisimu setelahnya. Dan barang siapa yang menginginkan akhirat niscaya ia akan meninggalkan perhiasan dunia. Maka barang siapa yang melakukan hal-hal tersebut, sungguh ia telah malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya.” (HR. at-Tirmidzi).

Dan hadits ini merupakan dalil terhadap apa yang telah disebutkan di atas, bahwasanya rasa (sifat) malu mencegah seseorang dari melakukan perbuatan buruk dan sifat yang tercela.

Rasa Malu Yang Salah

Ketahuilah wahai sekalian hamba Allah, bahwasanya bukan termasuk sifat malu diamnya seseorang untuk mengatakan kebenaran dan mengingkari kemungkaran.

Demikian juga malunya seseorang untuk melakukan amalan-amalan shalih. Kita dapati sebagian orang merasa malu jika melaksanakan shalat berjama’ah di masjid, malu mendatangi pengajian, malu bersedekah dan malu untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang lainnya. Malu yang seperti ini tidak pada tempatnya.

Dan bukan termasuk rasa malu enggannya seseorang untuk bertanya tentang perkara-perkara agamanya, karena hakekat sifat malu adalah mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan, bukan untuk menghalanginya. Oleh sebab itu ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha memuji para wanita kaum ‘Anshar dengan ucapan beliau:


” رحم الله نساء الأنصار ، لم يمنعهن الحياء أن يتفقهن في الدين ”

Semoga Allah merahmati (mengasihi) wanita-wanita kaum Anshar, rasa (sifat) malu tidak menghalangi mereka untuk mempelajari ilmu agama.” (HR. Imam Muslim dalam Shahihnya).

Datang Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, lalu berkata: ”Wahai ibunda (ibu kaum mukminin), aku ingin bertanya kepada anda tentang sesuatu, akan tetapi aku malu?” Maka ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: ”Jangan malu untuk bertanya kepadaku tentang sesuatu yang biasa engkau tanyakan kepada ibu yang melahirkanmu, karena aku ini adalah ibumu.” Aku berkata: ”Apakah yang mengharuskan mandi (junub)?” Beliau menjawab: “Engkau bertemu dengan orang yang benar (benar-benar mengtahuinya)! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


(( إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ)) ((صحيح مسلم)).

Jika seorang (suami) telah duduk di antara empat cabang tubuhnya (kedua tangan dan kedua kaki isterinya) dan telah bertemu dua kemaluan (bersetubuh), maka wajib untuk mandi.” (HR. Muslim).

Dan Umu Sulaim radhiyallahu ‘anha pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: ”Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya Allah tidak merasa malu terhadap kebenaran, maka apakah seorang perempuan wajib untuk mandi (junub) jika bermimpi (mimpi basah)?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:


((إِذَا رَأَتْ الْمَاءَ))

Iya, jika ia melihat air (air mani).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dan jika tidak memungkinkan bagi seseorang untuk bertanya tentang urusan agamanya disebabkan adanya udzur (halangan) yang jika udzur itu diketahui ia akan merasa malu, maka tidak mengapa ia mengutus atau menyuruh orang lain untuk menanyakannya, atau bertanya lewat telepon, atau surat atau sarana-sarana lainnya. Sebagaimana perkataan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:


كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم ؛ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ ، فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ : يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ

”Aku adalah seorang laki-laki yang sering mengeluarkan madzi (cairan yang keluar dari kemaluan laki-laki ketika terangsang). Dan aku malu untuk bertanya kepada Nabishallallahu ‘alaihi wasallam, disebabkan kedudukan putri beliau (karena ‘Ali adalah menantu Rasulullah). Lalu aku memerintahkan al-Miqdad bin al-Aswad untuk menanyakannya kepada beliau. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ”Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Maka waspadalah wahai kaum Muslimin, jangan sampai syetan menghalangi dari jalan ilmu dan dari bertanya kepada ahlinya, dengan cara mengelabuimu bahwasanya hal ini termasuk rasa malu. Dan jadikanlah Imam Mujahid rahimahullah sebagai pengingatmu:


” اثنان لا يتعلمان : حيي ومستكبر ”

Dua golongan yang tidak akan belajar: orang yang pemalu dan sombong.”

Sifat Malu Adalah Sifat (Akhlak) Yang Sudah Dikenal Oleh Masyarakat Jahiliyah

Karena Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu ketika masih musyrik, dia ditanya oleh Heraklius dengan beberapa pertanyaan tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika selesai dari pembicaraannya dengan Heraklius, dia berkata:

 “والله لولا الحياء من أن يأثروا علي كذباً لكذبت ” . ((أخرجه الشيخان))

Demi Allah, kalau seandainya bukan karena rasa malu kalau kaumku menceritakan tentang kedustaanku, sungguh aku akan berdusta.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Namun Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu tidak mau berdusta karena malu kalau-kalau teman-temannya yang mendengar jawabannya akan menyebarkan kedustaannya jika ia berdusta. Walahu A’lam.

(Sumber:الحياء karya Abu ‘Amr Mihran Mahir, Khatib Masjid Khalid bin Walid. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)