Pada bagian pertama tulisan ini telah disebutkan dua masalah terkait dengan masalah qadha puasa, yaitu,

  1. Masalah Pertama: Penyegeraan dan Penundaan dalam Mengqadha Puasa Wajib
  2. Masalah Kedua: Penundaan Qadha Ramadhan Hingga Ramadhan Berikutnya

Berikut ini adalah masalah yang lainnya terkait dengan qadha puasa, yaitu,

Masalah Ketiga: Wajibnya qadha puasa secara berturut-turut

Para ulama -semoga Allah merahmati mereka- berbeda pendapat tentang wajibnya melanjutkan puasa qadha Ramadhan dan hukum memutusnya menjadi beberapa pendapat.

Pendapat pertama: wajibnya melanjutkan puasa qadha Ramadhan dan haramnya memutusnya, dan barang siapa memutus puasa qadha Ramadhan atau merusaknya, maka ia berdosa, ia wajib bertaubat kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, dan ia tidak diharuskan melakukan lebih banyak dari puasa qadha Ramadhan yang ditanggungnya. Karena itu, ia tidak wajib mengqadha hari yang diputusnya atau yang dirusaknya. Inilah yang menjadi pendapat Jumhur ulama.[1]

Sementara menurut pendapat sebagian kalangan Syafi’iyyah, dibolehkan memutusnya bila mana qadha itu bersifat longgar.[2]

Atas dasar pendapat bahwa qadha itu bersifat longgar maka pemutusan (puasa qadha Ramadhan) boleh dilakukan.

Ibnu Qudamah -رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Jika seseorang telah memulai puasa wajib seperti qadha puasa Ramadhan atau nadzar tertentu atau nadzar mutlaq, atau puasa kafarat maka ia tidak boleh menghentikannya…hal ini tidak diperselisihkan (oleh para ulama). Segala puji bagi Allah.”[3]

Alasannya,

1-Firman Allah -عَزَّ وَجَلَّ-,

وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ

“Dan janganlah kamu merusakkan segala amalmu.”[4]

2-Dan karena hal itu (memutus qadha puasa wajib) merupakan tindakan sembrono yang menafikan kehormatan ibadah tersebut.

3-Karena orang tersebut telah membalut dirinya dengan hal yang wajib sementara tidak ada udzur untuk memutusnya, maka ia wajib menyempurnakannya, sebagaimana halnya bila mana ia telah memulai shalat di awal waktu.[5]

4-Ibnu Hazm -رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, “Karena mewajibkan qadha (puasa qadha yang diputus) merupakan pewajiban yang bersifat syar’i yang tidak diizinkan oleh Allah. Telah diriwayatkan secara shahih bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memerintahkan untuk mengqadha puasa Ramadhan yang ditinggalkan. Maka, tidak boleh ditambah dengan yang lainnya tanpa adanya nash, dan tanpa adanya ijma[6]

Pendapat kedua: Bahwa orang tersebut wajib mengqadha hari yang dirusaknya disertai dengan mengqadha puasa Ramadhan yang ditinggalkannya.

Ini merupakan salah satu pendapat dari dua pendapat kalangan Malikiyah[7]

Barangkali, alasannya adalah bahwa sebagaimana ia wajib mengqadha asalnya  (yakni, puasa Ramadhan yang tidak dilakukannya) karena ia merusaknya, maka demikian pula halnya dengan gantinya (yakni, qadha puasa Ramadhan).

Pendapat ketiga: Bahwa orang tersebut wajib membayar kafarat seperti orang yang melakukan hal tersebut di bulan Ramadhan.

Dengan ini, Mujahid[8] dan Qatadah[9] berpendapat.

Alasannya, bahwa hal itu merupakan pengganti dari Ramadhan.

Pendapat ini disanggah dengan dikatakan bahwa kedua hal tersebut berbeda, karena kewajiban membayar kafarat itu hanya berlaku untuk puasa Ramadhan, maka tidak disamakan dengan yang lainnya terkait dengan wajibnya membayar kafarat karena perbedaan yang sangat jauh dalam hal kemuliaan waktu dan keutamaannya.

Pendapat yang rajih (kuat)-Wallahu A’lam– adalah bahwa pada asalnya seseorang terbebas dari kewajiban membayar kafarat atau menambah puasa.

Masalah Keempat: Mendahulukan puasa sunnah atas puasa qadha

Para fuqaha beselisih pendapat terkait dengan masalah ini menjadi beberapa pendapat.

Pendapat pertama: Bahwa tidak boleh dan tidak sah mendahulukan puasa sunnah atas puasa qadha. Ini adalah pendapat kalangan Hanabilah[10]

Pendapat kedua: Bahwa boleh mendahulukan puasa sunnah atas puasa qadha, tanpa dimakruhkan sama sekali. Ini adalah madzhab kalangan Hanafiyah[11], dan satu riwayat dari Imam Ahmad[12]

Pendapat ketiga: Bahwa boleh mendahulukan puasa sunnah atas puasa qadha namun tidak disukai. Ada yang mengatakan, ‘dikecualikan puasa (sunnah) yang sangat dianjurkan, maka boleh mendahulukan puasa tersebut atas puasa qadha tanpa dimakruhkan. Ini adalah madzhab kalangan Malikiyah[13]

Hanya saja kalangan Malikiyah mereka membolehkan puasa sunnah sebelum (puasa) nadzar tertentu. Maka, dalam kondisi ini diharamkan puasa (sunnah) di waktu yang ditentukan untuk berpuasa nadzar, dan tidak dimakruhkan untuk berpuasa sunnah pada hari sebelumnya.

Adapun tidak dimakruhkannya puasa sunnah sebelum (puasa) nadzar, hal itu karena tidak adanya pengaruh baginya sebelum waktunya karena tidak tersibukkannya diri dengannya. [14]

Adapun tidak bolehnya berpuasa sunnah di waktu nazar tertentu, maka hal itu karena waktu tersebut telah ditentukan sebagai waktu untuk berpuasa nazar.

Pendapat keempat: Bahwa bila mana penundaan itu dilakukan tanpa udzur, maka tidak boleh (mendahulukan puasa sunnah atas puasa qadha). Adapun bila hal itu karena suatu udzur, maka dibolehkan (mendahulukan puasa sunnah atas puasa qadha). Ini adalah pendapat yang benar di kalangan Syafi’iyyah.[15]

Dalil-dalil

Dalil pendapat pertama :

Pendapat ini didasarkan pada beberapa dalil berikut ini,

1-Bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memerintahkan di banyak ayat agar bersegera di dalam beramal shaleh, sebagaimana firman-Nya,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bergegaslah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan Surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” [16]

Dan firman-Nya,

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.”[17]

Ini menunjukkan keutamaan bersegera melakukan amal dan tidak menundanya atau mengakhirkannya. Termasuk dalam hal ini adalah menyegerakan mengqadha puasa. Dan, berpuasa sunnah sebelum berpuasa qadha hal yang wajib menjadikan tertundanya pelaksanaan hal yang wajib dan tidak dilakukannya hal tersebut dengan segera. Karenanya, hal tersebut dimakruhkan.[18]

2-Bahwa berpuasa sunnah bagi orang yang memiliki hutang puasa wajib berkonsekwensi mengakhirkan yang wajib dan meniadakan sifat bersegera dalam mengerjakannya, dan yang selayaknya dilakukan adalah memulai dengan sesuatu yang harus dilakukan agar dirinya terbebas darinya, barulah kemudian ia melakukan puasa sunnah[19]

3-Apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalan Abu Burdah, ia berkata, aku pernah mendengar Abu Musa berkali-kali mengatakan, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda, “Apabila seorang hamba itu sakit atau bepergian jauh niscaya dituliskan untuknya (pahala mengerjakan amal shaleh) seperti apa yang telah biasa ia lakukan kala tinggal dan kala sehat.”[20]

Sisi pendalilannya:

Bahwa barang siapa sakit atau safar menghalanginya dari melakukan puasa sunnah, maka ia (mendapatkan pahala) seperti orang yang melakukannya. Maka, tentunya lebih utama jika ia tersibukan dengan puasa wajib, di mana mendahulukan puasa sunnah atas puasa wajib berkonsekwensi mendahulukan sesuatu yang penting atas sesuatu yang lebih penting. Dengan demikian, maka hal ini menunjukkan bahwa hendaknya sesuatu yang wajib didahulukan atas sesuatu yang sunnah. [21]

4-Apa yang diriwayatkan Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwa Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

مَنْ صَامَ تَطُوُّعًا وَعَلَيْهِ قَضَاءُ شَيْءٍ لَمْ يَقْضِهِ, فَإِنَّهُ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ حَتَّى يَصُوْمَهُ

“Barangsiapa berpuasa sunnah sementara ia mempunyai tanggungan qadha sesuatu yang belum diqadhanya, sesungguhnya tidak akan diterima darinya sebelum ia berpuasa qadha tersebut.”[22]

Zhahir hadis ini memberikan faidah tidak bolehnya melakukan perkara sunnah sementara hal wajib masih melekat pada diri seseorang.

Berdalil dengan hadis ini disanggah dari dua sisi:

Pertama: Bahwasanya hadis ini adalah hadis lemah yang tidak dapat dijadikan argumentasi, karena dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Abdullah bin Lahi’ah[23], hafalannya mengalami kekacauan setelah kitab-kitabnya terbakar.

Kedua: Di dalam sanadnya ada sesuatu yang ditinggalkan, berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, karena zhahir hadis tersebut memberikan faidah bahwa barang siapa mendapati Ramadhan sementara ia memiliki tanggungan qadha puasa Ramadhan sebelumnya (yang belum diqadhnya) niscaya puasa Ramadhan yang akan dilakukannya tidak diterima. Hal ini, tak seorang pun dari kalangan ahli ilmu yang mengatakannya. Ibnu Qudamah mengisyaratkan kepada hal ini di dalam al-Mughni. [24]

5-Apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari jalan Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, di mana di dalamnya disebutkan sabda beliau,

اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ

Tunaikan (hutang kepada) Allah. Karena sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditunaikan hakNya.[25]

Sisi pendalilannya:

Sabda beliau, فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ (karena sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditunaikan hak-Nya), menunjukkan bahwasanya tidak boleh mengerjakan puasa sunnah sebelum mengqadha puasa wajib, karena bila mana Allah lebih berhak untuk ditunaikan hak-Nya hal ini berkonsekwensi bahwa hal yang sunnah tidak selayaknya mendahuluinya.

6-Apa yang diriwayatkan Abdurrazzaq dari ats-Tsauri dari Utsman bin Mauhib, ia berkata, Aku pernah mendengar Abu Hurairah saat ditanya seorang lelaki, di mana lelaki tersebut mengatakan kepadanya, ‘Sungguh, aku mempunyai tanggungan puasa Ramadan beberapa hari, bolehkah aku berpuasa sunnah pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah? Abu Hurairah menjawab, ‘Tidak, mulailah dengan menunaikan hak Allah dulu barulah kemudian engkau berpuasa sunnah setelahnya yang engkau inginkan.’[26]

Ini disanggah dengan dikatakan bahwa perintah Abu Hurairah kepada lelaki tersebut agar memulai dengan berpuasa qadha Ramadhan sekedar arahan dan menunjukkan hal yang lebih utama.[27]

Al-‘Aini mengatakan ketika menjelaskan makna ucapan Abu Hurairah dan Sa’id bin al-Musayyib, ‘Makna ungkapan ini bahwa Sa’id ketika ditanya tentang puasa pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah sementara kondisi si penanya memiliki tanggungan puasa qadha Ramadhan, lalu ia mengatakan, ‘tidak selayaknya hingga ia memulai pertama kalinya dengan puasa qadha Ramadhan’, ungkapan ini tidak menunjukkan larangan secara mutlak, namun hanya sekedar menunjukan kepada skala prioritas mana yang seharusnya lebih didahulukan.[28]

7-Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari jalan Zubaid bin al-Harits dari Abu Bakar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, “Sesungguhnya Allah memiliki hak (yang harus ditunaikan hamba-Nya) pada siang hari yang tidak akan diterima-Nya (bila hal itu dilakukan hamba-Nya) pada malam hari dan sesungguhnya Allah memiliki hak (yang harus ditunaikan hamba-Nya) pada malam hari yang tidak akan diterima-Nya (bila hal itu dilakukan hamba-Nya) pada siang hari,

وَأَنَّهُ لَا يَقْبَلُ نَافِلَةً حَتَّى تُؤَدَّى الْفَرِيْضَةُ

“Dan bahwasanya Dia (Allah) tidak akan menerima amalan sunnah sebelum amalan Fardhu dikerjakan.”[29]

Ini disanggah dengan dikatakan bahwa atsar ini munqathi’ (terputus).

Dan, bahwa atsar ini tidak menunjukkan larangan secara mutlak. Namun, hanya menunjukkan kepada skala prioritas mana yang seharusnya lebih dikedepankan dan arahan agar memulai dengan sesuatu yang lebih penting dan lebih ditekankan.

8-Apa yang datang dari ‘Aisyah, bahwa ia pernah ditanya tentang puasa sunnah pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah sebelum seseorang mengerjakan puasa qadha Ramadhan yang ditanggungnya, ia mengatakan,

لَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ اللهِ

“Tidak, sampai engkau menunaikan hak Allah.”

Ini disanggah dengan dikatakan bahwa atsar ini lemah.

9-Tidak boleh berpuasa sunah sebelum menunaikan puasa wajib dikiaskan kepada ibadah haji di mana kedua bentuk ibadah tersebut dapat ditambal kekurangannya dengan harta[30]

Ini disanggah dengan dikatakan bahwa ini merupakan pengkiasan dengan sesuatu yang hakikatnya berbeda. Karena, ibadah haji itu wajib dikerjakan segera, berbeda halnya dengan puasa ini (puasa qadha) [31] dan oleh karena qadha puasa itu waktunya luas terbentang pada setiap bulan dalam setahun kecuali yang dikecualikan, adapun haji maka waktunya sempit, tidak sah dilakukan kecuali di waktu yang khusus.

Dalil pendapat kedua:

1-Firman-Nya,

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” [32]  

Sisi pendalilannya:

Ayat ini menunjukkan bahwa qadha puasa Ramadhan itu bersifat longgar. Bila mana demikian, maka boleh berpuasa sunnah sebelum melakukan qadha.

Ini disanggah dengan dikatakan, bahwa kewajiban qadha itu bersifat longgar dapat diterima, namun hal itu tidak berkonsekwensi bolehnya melakukan puasa sunnah sebelum seseorang melakukan puasa qadha, berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh dalil-dalil pendapat pertama akan tidak bolehnya melakukan hal tersebut.

2-Firman-Nya,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka wajib mengganti sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” [33]

Sisi pendalilannya:

Bahwa zhahir ayat ini berkonsekwensi wajibnya melakukan qadha sejumlah hari yang ditinggalkan saja, tidak berkonsekwensi wajibnya melakukan qadha secara berkesinambungan, dan andai saja qadha itu bersifat segera niscaya ayat ini diikat dengan ketentuan harus dilakukan secara berturut-turut.[34]

Ini disanggah dengan dikatakan bahwa ayat ini diikat dengan ketentuan harus dilakukan secara berturut-turut dalam qira’ah Ubay,

مُتَتَابِعَاتٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain secara berturut-turut.” [35]

Namun, sanggahan ini ditanggapi dengan dikatakan bahwasanya ‘ketentuan harus dilakukan secara berturut-turut dalam qira’ah Ubay mansukh (dihapus, tidak berlaku)[36] berdasarkan perkataan ‘Aisyah, ‘turun (ayat)

مُتَتَابِعَاتٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain secara berturut-turut)”. Lalu, kata  مُتَتَابِعَاتٍ (secara berturut-turut) dianulir. [37]

Ibnu Hazm mengatakan, “Penganulirannya menganulir hukumnya, karena al-Qur’an tidak dianulir setelah turunnya kecuali dengan penganuliran yang dilakukan oleh Allah terhadapnya, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya”[38]

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga berfirman,

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا

“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya..”[39]

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga berfirman,

سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسَى . إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ

“Kami akan membacakan (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) sehingga engkau tidak akan lupa, kecuali jika Allah menghendaki.” [40]

Bila dikatakan, bisa saja lafazh ayat dianulir sementara hukumnya tetap, seperti dalam kasus ayat rajam?

Jawabannya, bahwa andai tidak ada pemberitahuan dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tentang tetapnya hukuman rajam niscaya hal tersebut tidak boleh diamalkan setelah dianulirnya ayat yang turun yang terkait dengan hal tersebut, karena ayat yang Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- angkat (cabut)  maka tidak boleh bagi kita menetapkan lafazhnya dan tidak boleh pula menetapkan hukumnya melainkan berdasarkan nash yang lainnya. [41]

3-Apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari jalan Abu Salamah dari ‘Aisyah, ia berkata, “Aku pernah mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, namun aku tidak mampu mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya mengatakan:  اَلشُّغْلُ (sibuk) [42] dengan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-[43]

Dalam satu redaksi, “Aku tidak mampu mengqadha puasa Ramadhan kecuali di bulan Sya’ban, hingga Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- wafat[44]

Sisi pendalilannya:

Bahwa qadha Ramadhan tidak wajib dilakukan segera. Kalaulah saja qadha Ramadhan itu harus dilakukan segera niscaya Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tidak akan melegitimasi tindakan ‘Aisyah mengakhirkan pelaksanaan qadha.[45]

Ini disanggah dengan dikatakan bahwasanya di dalam hadis ‘Aisyah tidak ada dalil yang menunjukkan tidak wajibnya qadha Ramadhan secara segera, berdasarkan perkataannya, “aku tidak bisa mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban.”

Sanggahan ini ditanggapi dengan dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kemampuan di sini adalah kemampuan secara syar’i, karena ‘Aisyah tidak mampu secara syar’i untuk mengakhirkan qadha sampai setelah Ramadhan, di mana kondisinya di bulan sya’ban dan bulan-bulan yang lainnya terkait dengan kesiapannya untuk memberikan pelayanan kepada Rasulullah sama. Andai kata hal tersebut menghalanginya untuk berpuasa niscaya hal itu juga menghalanginya dari menunaikan qadha puasa di bulan Sya’ban. Disebutkannya kondisinya mengqadha puasa di bulan Sya’ban hanyalah untuk menjelaskan sempitnya waktunya di bulan Sya’ban, dan bahwa ia mengakhirkannya sampai akhir waktunya, maka kalaulah bukan karena sempitnya waktu niscaya ia bakal menunda qadhanya lagi.[46]

4-Bahwa sebagaimana halnya dibolehkan mengerjakan shalat sunnah di awal waktunya sebelum mengerjakan shalat Fardhu pada waktunya, maka demikian pula dibolehkan mengerjakan puasa sunnah sebelum mengerjakan puasa wajib. Karena kedua bentuk ibadah tersebut merupakan ibadah yang terkait dengan waktu yang longgar [47]

5-Bahwa qadha puasa Ramadhan merupakan ibadah yang terkait dengan waktu yang longgar, karenanya dibolehkan mengerjakan puasa sunnah sebelum mengerjakan puasa qadha Ramadhan, seperti shalat (wajib) di mana seseorang boleh mengerjakan shalat sunnah pada waktunya (shalat wajib) sebelum ia mengerjakan shalat wajib tersebut. [48]

Ini disanggah dari dua sisi:

Sisi pertama: larangan, di mana hal sunnah yang bersifat mutlak diharamkan mengerjakannya sebelum mengerjakan qadha, adapun dibolehkanya mengerjakan shalat sunnah rawatib dan witir hanyalah karena shalat tersebut merupakan pengiring shalat fardhu.

Sisi kedua: Tidak diterimanya asalnya, karena hal tersebut termasuk perkara yang diperselisihkan oleh para ulama.

Dalil pendapat ketiga:

Pertama, dalil mereka akan bolehnya mengerjakan puasa sunnah sebelum mengerjakan puasa qadha adalah apa yang dijadikan dalil oleh kalangan yang berpendapat dengan pendapat kedua.

Dan, telah lalu sanggahannya.

Kedua, dalil kemakruhan mengerjakan puasa sunnah tidak ditekankan disukainya sebelum mengerjakan puasa qadha.

Karena diri seseorang itu tergadaikan dengah hal yang wajib, karena itulah maka ia bersegera untuk membebaskan diri dari hal wajib tersebut barulah kemudian ia mengerjakan hal yang sunnah, meskipun bila ia mengerjakan yang sunnah (terlebih dahulu) maka apa yang dilakukannya tersebut sah karena waktu itu layak untuk mengerjakan hal yang sunnah tersebut dan yang lainnya, karena itulah mana saja yang dilakukan dari kedua hal tersebut sah. Adapun mengedepankan pelaksanaan qadha adalah karena apa yang telah kami sebutkan dan oleh karena hal itu berkonsekwensi mengakhirkan perkara yang wajb dan meniadakan sifat bersegera mengerjakannya.

Tidak diragukan bahwa bersegera mengerjakan amal shaleh itu lebih utama daripada menundanya. Dan, hal yang wajib, termasuk bagian dari amal shaleh. Bahkan hal tersebut lebih utama untuk disegerakan agar diri seseorang terbebas dari tanggungannya. Dan, orang yang merenungkan nash-nash syariat niscaya ia mendapati makna ini.

Pendapat yang mengatakan makruh (melakukan puasa sunnah sebelum puasa qadha) didasarkan pada tidak jelasnya dalil yang melarang hal tersebut dan karena adanya perbedaaan pendapat para ulama dalam hal tersebut. Karena itu, maka barang siapa berpuasa sunnah maka puasa sunnah yang dilakukannya tersebut sah selagi dilakukan di waktu yang longgar untuk melakukan puasa qadha. Dan, yang lebih utama adalah seseorang bersegera melakukan qadha, berdasarkan pada apa yang telah kami jelaskan.[49]

Dalil pendapat keempat

Pertama, dalil mereka tentang tidak bolehnya mengerjakan puasa sunnah bila mana penundaan yang dilakukan tanpa udzur adalah apa yang dijadikan dalil oleh kalangan yang berpendapat dengan pendapat pertama.

Kedua, dalil mereka tentang bolehnya mengerjakan puasa sunnah bila mana penundaan yang dilakukan karena udzur adalah bahwa penundaan qadha puasa Ramadhan bila dilakukan karena udzur tidak wajib mengqadhanya segera, maka boleh melakukan puasa sunnah sebelum itu. [50]

Ini disanggah dengan dikatakan bahwa hal itu terlarang, sebab bolehnya mengerjakan puasa qadha tidak segera tidaklah berkonsekwensi bolehnya mengerjakan puasa sunnah (sebelumnya) berdasarkan dilalah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil pendapat pertama.

Pendapat yang rajih (kuat)

Pendapat yang kuat -Wallahu A’lam- dikatakan bahwa apa yang menjadi pendapat kalangan yang berpendapat dengan pendapat yang pertama lebih unggul, karena hal tersebut akan mempercepat terbebasnya diri seseorang dari tanggungan dan lebih bersifat berhati-hati dalam ibadah. Namun, hal tersebut tidaklah menghalangi kebolehan mengerjakan puasa sunnah sebelum qadha karena zhahir perbuatan ‘Aisyah dan legimitasi Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – terhadapnya.

Masalah Kelima : Kebolehan Melakukan Qadha secara terpisah-pisah

Para ulama berbeda pendapat tentang masalah bolehnya melakukan qadha secara terpisah-pisah menjadi dua pendapat.

Pendapat pertama: Dibolehkan melakukan qadha secara terpisah-pisah, dan melakukannya secara berurutan bukan merupakan kewajiban. Namun, dianjurkan untuk bersegera menggugurkan perkara yang wajib tersebut.

Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan Ibnu Hazm semoga Allah merahmati mereka semuanya.[51]  Dan, dengan pendapat ini pula Sa’id bin Jubair, Mujahid, al-Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Ibnu al-Musayyib, ats-Tsauri, al-Auza’i, dan ishaq bin Rahawaih berpendapat.

Pendapat Kedua: Bahwa wajib dilakukan secara berurutan

Dengan pendapat inilah Dawud azh-Zhahiri, Ibnu Hazm berpendapat dan pendapat ini adalah pendapat an-Nakha’i, asy-Sya’bi, ‘Urwah bin az-Zubair-semoga Allah merahmati mereka semuanya.[52]

Dalil-dalil

Dalil pendapat pertama:

1-Firman-Nya,

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” [53]  

Sisi pendalilannya:

Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan puasa qadha secara terpisah-pisah dan berurutan. Karena, Allah hanya mewajibkan pelaksanaannya pada hari-hari lain lepas dari adanya persyaratan harus dilakukan secara berurutan. Dan, pengikatannya dengan keharusan untuk melakukannya secara berurutan membutuhkan kepada dalil. [54]

2-Apa yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari jalan Sufyan bin Bisyr, (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Ali bin Mushir dari Ubaidillah bin Umar dari Nafi dari Ibnu Umar bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

فِي قَضَاءِ رَمَضَانَ إِنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإِنْ شَاءَ تَابَعَ

“Dalam mengqadha (puasa) Ramadhan, jika mau, ia melakukannya secara terpisah-pisah dan jika mau, ia melakukannya secara  berurutan.”[55]

Ini disanggah dengan dikatakan bahwa hadis ini lemah tidak dapat dijadikan argumentasi.

3-Apa yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari jalan Muhammad bin al-Munkadir bahwa beliau (Nabi) -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pernah ditanya tentang memutus-mutus qadha puasa Ramadhan, maka beliau menjawab,

ذَلِكَ إِلَيْكَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَحَدِكُمْ دَيْنٌ فَقَضَى الدِّرْهَمَ وَالدِّرْهَمَيْنِ أَلَمْ يَكُنْ قَضَاءً فَاللهُ أَحَقُّ أَنْ يَعْفُوَ وَيَغْفِرَ

“Hal itu terserah dirimu, apa pendapatmu kalau salah seorang di antara kalian mempunyai hutang lalu ia membayarnya dengan mencicil satu dirham, dua dirham (dan seturusnya hingga mencapai nilai hutang yang harus dibayarnya) bukankah ia tengah membayarnya? maka Allah itu lebih berhak untuk memaafkan (kesalahan hamba-Nya) dan menutupi (aibnya).” [56]

Ini disanggah dengan dikatakan bahwa riwayat ini mursal.

4-Apa yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari jalan Muhammad bin Umar, (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Khazim al-Andalusi dari Amr bin Syarahil al-Ghifari dari Abu Abdurrahman al-Hanbali dari Abdullah bin Amr, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ditanya tentang qadha (puasa) Ramadhan, maka beliau menjawab, ‘hendaklah diqadha dengan berurutan, dan jika dipisah-pisah hal tersebut sah. [57]

Ini disanggah dengan dikatakan bahwa riwayat ini dha’if (lemah).

5-Apa yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari jalan Abu ‘Amir al-Hauzani, ia berkata, “Aku mendengar Abu Ubaidah bin Jarrah ditanya tentang qadha (puasa) Ramadhan.” Maka, beliau menjawab, “Sesungguhnya, tidaklah Allah memberikan keringanan bagi kalian dalam hal meninggalkan puasa Ramadhan sementara Dia ingin memperberat kalian dalam hal mengqadhanya. Karena itu, hitunglah jumlah hari yang ditinggalkan dan lakukanlah apa yang engkau inginkan.” (kamu ingin  mengqadhanya secara terpisah-pisah, silakan. Kamu ingin mengqadhanya secara berturut-turut, silakan).[58]

6-Apa yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari jalan Yazid bin Muhib, ia berkata, aku mendengar Malik bin Yukhamir mengatakan, Muadz bin Jabal berkata, “Hitunglan jumlah hari yang ditinggalkan, dan berpuasalah kamu bagaimana pun cara yang kau inginkan.”[59]

7-Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari jalan Ibnu Juraij, dari ‘Atha, dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, mereka berdua mengatakan,

لَا بَأْسَ بِقَضَاءِ رَمَضَانَ مُتَفَرِّقًا

“Tidak mengapa qadha (puasa) Ramadhan dilakukan secara terpisah-pisah.” [60]

8-Apa yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari jalan az-Zuhri dari Ubaidillah bin Abdillah dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Lakukanlah puasa qadha dengan cara bagaimanapun yang engkau inginkan.” [61]

9- Apa yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari jalan Bakar dari Anas, ia berkata, “Jika kamu mau, qadhalah puasa Ramadhan itu secara berurutan dan jika kamu mau, qadhalah puasa Ramadhan itu secara terpisah-pisah.”[62]

10-Apa yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari jalan Abdul Hamid bin Rafi’ dari kakeknya bahwa Rafi’ bin Khadij pernah mengatakan, ”Hitunglah jumlah hari yang ditinggalkan dan berpuasalah dengan cara bagaimanapun yang kamu kehendaki.”[63]

11-Bahwa puasa qadha itu merupakan puasa yang tidak terkait dengan waktu pada dzatnya karena itu tidak wajib dilakukan secara berurutan seperti nazar mutlak.[64]

Dalil pendapat kedua:

Pendapat ini didasarkan pada beberapada dalil,

1-Firman-Nya,

( فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ) مُتَتَابِعَاتٍ

“(Maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain(  secara berurutan.” [65]

Berdalil dengan ayat ini disanggah dengan dikatakan bahwa qira’ah ini tidak dapat dijadikan argumentasi. [66]

2-Firman-Nya,

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain…”

Sisi pendalilannya:

Bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memerintahkan melakukan qadha, sementara perintah itu ketika disebutkan secara mutlak berkonsekwensi bahwa perintah tersebut hendaknya dilakukan segera, dan penyegeraan melaksanakn perintah itu mengharuskan dilakukannya sesuatu yang diperintahkan tersebut secara berurutan; karena hal itu berkonsekwensi pada pelaksanaan qadhanya dilakukan satu hari disusul dengan hari berikutnya. Jika demikan berarti pelaksanaannya secara berurutan wajib dilakukan. [67]

3-Apa yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari jalan Abdurrazzaq dari Ibnu Juraij dari Ibnu Syihab dari Urwah dari ‘Aisyah, ia berkata, turun (ayat)

مُتَتَابِعَاتٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain secara berturut-turut)”. Lalu, kata  مُتَتَابِعَاتٍ (secara berturut-turut) dianulir. [68]

Berdalil dengan atsar ini disanggah dengan dikatakan bahwa penganulirannya menganulir hukumnya, karena al-Qur’an tidak dianulir setelah turunnya kecuali dengan penganuliran yang dilakukan oleh Allah terhadapnya[69], Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya”[70]

4-Apa yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari jalan Abdurrahman bin Ibrahim, dari al-‘Ala bin Abdurrahman dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda, “Barang siapa mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, maka hendaklah ia mengqadhanya secara berurutan langsung semuanya, dan janganlah ia memutusnya.[71]

Berdalil dengan hadis ini disanggah dengan dikatakan bahwa hadis ini lemah tidak dapat dijadikan argumen.

Namun, jika kita menerima bahwa hadis ini shahih, maka hadis ini dibawa pemahamannya kepada bahwa perintah untuk melakukan qadha secara berurutan langsung merupakan anjuran sebagai bentuk penggabungan antara beberapa dalil. Dan inilah dia yang lebih utama.

5-Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari jalan al-Harits, dari Ali, ia berkata, “Barang siapa mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, maka hendaklah ia berpuasa secara bersambung dan tidak memisahkannya. [72]

Atsar ini disanggah dengan dikatakan bahwa atsar ini lemah.

6-Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari jalan Ayyub dari Nafi’ dari Ibnu Umar, ia berkata perihal qadha puasa Ramadhan “Dilakukan secara berurutan di antara puasa-puasanya.” [73]

7-Imam Malik meriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar pernah mengatakan,”Hendaknya qadha puasa Ramadhan jangan dipisah-pisahkan.”[74]

Atsar ini disangkah dari dua sisi:

Pertama: bahwa atsar ini menyelisihi zhahir al-Qur’an

Kedua: Bahwa ini adalah pendapat seorang sahabat yang diselisihi oleh sahabat yang lainnya.

8-Qadha puasa Ramadhan dikiaskan kepada pelaksanaan puasa pada waktunya di bulan Ramadahan, di mana pelaksanaannya secara berurutan merupakan syarat dalam pelaksanaannya pada bulan Ramadhan. Maka, demikian pula saat mengqadhanya, karena qadha dalam setiap bentuk ibadah itu seperti ibadah tersebut dilakukan pada waktunya [75]

Pendapat yang kuat

Pendapat yang kuat-Wallahu A’lam– adalah pendapat pertama, karena kuatnya dalilnya, dan oleh karena hal itu merupakann pendapat kebanyakan para sahabat, juga karena syari’at itu pondasinya dibangun di atas asas kemudahan dan keringanan. Dan, tidak diwajibkannya untuk melakukan qadha puasa Ramadhan secara berurutan sangat selaras dengan asas ini. Siapa yang berpendapat akan wajibnya melakukan qadha secara berurutan telah menyelisihi asas ini. Karena artinya bahwa barang siapa melakukan qadha tidak secara berurutan hingga selesai maka ia berdosa. Atau, berarti qadha puasa yang dilakukan secara terpisah itu tidak sah. Sementara penilaian bahwa seseorang itu berdosa atau amal yang dilakukannya tidak sah tidaklah terjadi melainkan dengan nash yang shahih dan tegas yang datang dari pembuat syariat.

Wallahu A’lam

(Redaksi)

 

Keterangan:

[1] Bada-i’ ash-Shana-i’, 2/409 dan 625, al-Fawakih ad-Diwani, 1/351, Mughni al-Muhtaj, 1/448, al-Mughni, 4/412.

[2] Telah disebutkan sebelumnya bahwa kalangan Syafi’iyyah berpandangan bahwa qadha itu bersifat segera bila mana tindakan tidak berpuasa dilakukan tanpa udzur, sementara bila mana hal itu karena adanya udzur maka qadha itu bersifat longgar.

[3] Al-Mughni, 4/412

[4] Qs. Muhammad: 33

[5] Al-Majmu’, 6/363

[6] Al-Muhalla, 6/394

[7] al-Fawakih ad-Diwani, 1/351

[8] Hal tersebut dinukil darinya oleh pengarang al-Fawakih ad-Diwani, 1/351

[9] Hal tersebut dinukil darinya oleh Ibnu Hazm di dalam al-Muhalla, 4/420

 

[10] Al-Kafi, Ibnu Qudamah, 1/359, Syarh Muntaha al-Iradat, 1/456, Kasysyaf al-Qana’, 2/334

[11] Al-‘Inayah ‘Ala al-Hidayah, 2/355, ad-Durru al-Mukhtar, 1/456, al-Bahru ar-Ra-iq, 2/307

[12] Asy-Syarh al-Kabir, Ibnu Qudamah, 2/48, al-Furu’, 3/130

[13] Al-Bayan Wa at-Tahshil, 2/320, at-Taj Wal Iklil, 2/417, Mawahib al-Jalil, 2/417, Bulghatu as-Saalik, 1/244, Hasyiyah ad-Dasuqi, 1/518

[14] Asy-Syarh al-Kabir Ma’a Hasyiyah ad-Dasuqi, 1/519

[15] Tuhfatu ath-Thalib, 1/430, Mughni al-Muhtaj, 1/445

[16] Qs. Ali Imran: 133

[17]  Qs. Al-Anbiya: 90

[18] Bulghatu as-Saalik, 1/448

[19] Mawahib al-Jalil, 2/417, Bulghatu as-Saalik, 1/244, dan Hasyiyah ad-Dasuqi, 1/518

[20] Al-Bukhari di dalam shahihnya 3/2834, kitab al-Jihad, bab : Yuktabu Lil Musafiri Mitslu Maa Kaa-na Ya’malu Fii al-Iqamati, no. 2834

[21] Mawahib al-Jalil, 2/417

[22] Ibnu Qudamah di dalam asy-Syarh al-kabir, 2/48 menganggap riwayat ini dari Imam Ahmad, dan beliau meyebutkan bahwa di dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Ibnu Lahi’ah, dan bahwa pada siyaq hadis ini ada sesuatu yang ditinggalkan, dan Ibnu Lahi’ah adalah seorang rawi yang lemah. Lihat, Mizan al-I’tidal, 2/475

[23] Taqrib at-Tahdzib, hal. 186

[24] al-Mughni, 4/400

[25] Shahih al-Bukhari –Kitab Jaza-u ash-Shaidi-bab al-Hajj Wa an-Nudzur ‘An al-Mayyiti 2/217

[26] Mushannaf Abdurrazzaq (7715), dan diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi di dalam as-Sunan (8178) dari jalan Sufyan. Sanadnya shahih

[27] Fathul Baari, 4/237

[28]Umdatu al-Qari, 11/76-77

[29] Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannafnya 7/434-435, no. 37045, Zaed bin al-Harits tidak mendapati Abu Bakar. Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim di dalam Ma’rifati ash-Shahabah 114, dari jalan Abdurrhman bin Abdillah bin Sabith, dari Abu Bakar, Ibnu Sabith tidak mendapati Abu Bakar.

[30] Al-Mughni 4/402, asy-Syarh al-Kabir 7/504, Syarh al-‘Umdah, 1/357

[31] Al-Kafi Fii Fiqhi al-Imam Ahmad, 1/359

[32] Qs. al-Baqarah: 185

[33] Qs. al-Baqarah: 184

[34] Bidayatu al-Mujtahid Wa Nihayatu al-Muqtashid 1/349

[35] Al-Muhalla, 4/408

[36] as-Sunan al-Kubra 4/431, Fathul Baari 4/223

[37] Abdurrazzaq di dalam Mushannafnya 4/241-242, no. 7657, ad-Daruquthni di dalam Sunannya 2/192, no. 60. Dan, ia mengatakan: ini isnad shahih.

[38] Qs. al-Hijr: 9

[39] Qs. al-Baqarah: 106

[40] Qs. al-A’la: 5-6

[41]  Al-Muhalla, 4/409

[42] اَلشُّغْلُ , yakni, persiapan seorang wanita untuk melayani suaminya ketika suaminya membutuhkannya. Lihat, Fathul Baari, 4/225 dan Umdatul Qari’, 11/56

[43] Al-Bukhari di dalam shahihnya 2/689, kitab ash-shaum, bab: Mata yaqdhi Qadhaa-a Ramadhan, no. 1849 dan Muslim di dalam shahihnya 2/802, kitab ash-Shiyam, bab Qadha Ramadhan, no. 151

[44] At-Tirmidzi di dalam Sunannya 3/152, kitab ash-Shaum, bab: Maa-jaa-a Fii ta’khiiri Ramadhan, no. 783

[45] Syarh az-Zarqani, 2/258

[46] Ash-Shiyam Min Syarhi al-‘Umdah, 1/352

[47] Al-Kafi Fii Fiqhi al-Imam Ahmad, 1/59

[48] Asy-Syarh al-Kabir, Ibnu Qudamah, 2/48

[49] Al-Furu’, 3/130

[50] Tuhfatu ath-Thullab, 1/430, Hasyiyah asy-Syarqawi, 1/430

[51] Kitabul Ashli, 2/212, Ahkamu al-Qur’an, al-Jashshash, 1/208, al-Binayah Syarh al-Hidayah 3/691-692, al-Mabsuth 3/75, al-Bada-i’ hal. 76, Tabyin al-Haqa-iq 1/336, al-Istidzkar, 10/178, Ahkamu al-Qur’an, al-Qurthubi, 2/282, al-Ma’unah, 1/213 at-Taaj Wa al-Iklil, 3/328, Syarh al-Kharsyi 2/242, Mawahib al-Jalil 2/448, al-Umm 2/103, al-Hawiy al-Kabir 3/453-454, al-Majmu’ 6/367, Mughni al-Muhtaj 1/448, al-Inshaf 3/334, Kitab ash-Shiyam Min Syarhi al-Umdah, 1/344, Syarh az-Zarkasyi 2/44, al-Muhalla 6/395, Nailul Authar 4/248

[52] Mushannaf Abdurrazzaq 4/242-243, al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah 2/95, al-Binayah Syarh al-Hidayah 3/691-692, al-Mudawwanah 1/213, al-Istidzkar 10/180, al-Majmu’ 6/367, al-Hawiy 3/454, al-Mughniy Ma’a Syarhi al-Kabir 3/91-92, al-Muhalla 6/395, Nailul Authar 4/248.

[53] Qs. al-Baqarah: 185

[54] Ahkam al-Qur’an, al-Jashshash, 1/208

[55] Sunan ad-Daruquthni, 2/193

[56] Sunan ad-Daruquthni 2/194, dan ia mengatakan, “ini sanad hasan akan tetapi mursal, dan telah diriwayatkan secara bersambung namun tidak valid.”

[57] Sunan ad-Daruquthni, 2/170, al-Waqidi mengatakan, “Dha’if (lemah)”

[58] Sunan ad-Daruquthni, 2/170, dan dari jalannya al-Baihaqi, 4/258. Isnadnya shahih.

[59] Sunan ad-Daruquthni, 2/194. Sanadnya shahih

[60] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 3/33. Isnadnya shahih.

[61] Al-Mushannaf, 3/33. Dan diriwayatkan oleh ad-Daruquthni 2/194 dari jalan Ubaidillah. Sanadnya shahih

[62] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/292

[63] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 3/173

[64] Al-Mughni, 3/91

[65] Al-Muhalla, 6/396

[66] Tabyin al-Haqa-iq, 1/336

[67] Ahkamu al-Qur’an, al-Jashshash, 1/254

[68] Sunan ad-Daruquthni 2/192, dan ia mengatakan: sanadnya shahih.

[69] Al-Muhalla, 6/396

[70] Qs. al-Hijr: 9

[71] Sunan ad-Daruquthni 2/192, dan dari jalan ini pula al-Baihaqi 4/259 meriwayatkannya, dan ia berkata: Abdurrahman bin Ibrahim Madani dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in, Abu Abdurrahman an-Nasai dan ad-Daruquthni

[72] Al-Mushannaf 2/295, di dalam sanadnya terdapat rawi bernama al-Haris, ia adalah seorang rawi yang lemah.

[73] Al-Mushannaf, 2/295 (9134 dan 9135)

[74] Al-Muwatha 1/304 (45) dan sanadnya shahih

[75] Lihat, al-Hawi al-Kabir, 3/454

 

Sumber :

Al-Jami’ Li-Ahkami Ash-Shiyam, Prof. Dr. Khalid bin Ali al-Musyaiqih, penerbit : Maktabah ar-Rusyd, KSA, Jilid 2, hal.181-191 dan Jilid 4, hal. 25-26 dan hal. 29-34.