Akad-akad jual beli dan kerjasama berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, lahir berbagai bentuk akad baru di masyarakat yang perlu dikaji hukumnya sehingga seorang muslim bisa memilah antara akad halal dengan akad haram.

Sanksi Keterlambatan Pekerjaan

Pemborong sepakat dengan pemilik pekerjaan bahwa masa pengerjaan proyek adalah enam bulan, bila terjadi keterlambatan maka dilakukan pemotongan 1% dari nilai kontrak per minggu. Bolehkah?

Pendapat yang shahih syarat ini sah dan mengikat, karena Allah berfirman, artinya,“Wahai orang-orang beriman, penuhilah akad-akad.” Al-Maidah: 1. Rasulullah bersabda, “Kaum muslimin di atas syarat-syarat mereka.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Hakim, dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa` no. 1303. Dan syarat itu sendiri ditetapkan dalam rangka kemaslahatan akad, agar pekerjaan berjalan dengan baik sesuai dengan kesepakatan.

Namun patut diketahui bahwa sanksi keterlambatan ini haram diterapkan pada hutang, karena ia adalah riba.

Laba

Inilah tujuan pokok dari perdagangan, hukum dasarnya adalah halal, yang patut dihindari adalah laba dari barang haram, laba melalui kecurangan dan penipuan, laba melalui penimbunan.

Tidak ada dalil dalam syariat Islam yang mematok batas tertinggi laba sehingga lebih dari itu dianggap haram, karena syariat mempertimbangkan kepentingan penjual dan pembeli, sehingga menyerahkan laba ini kepada kerelaan kedua belah pihak.

Dalam hadits Urwah al-Bariqi terdapat petunjuk dibolehkannya mengambil laba besar, karena dia membeli dua ekor kambing seharga satu dinar dan menjual salah satu kambing seharga satu dinar, hal ini disetujui oleh Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam.

Hal yang patut dicermati, hendaknya laba tidak mengandung manipulasi, monopoli, memanfaatkan ketidaktahuan pembeli atau kondisinya yang terdesak, di sisi yang lain hadits di atas bukan merupakan timbangan umum dalam mengukur laba, karena sikap mempermudah dan menerima laba yang pantas lebih dekat kepada petunjuk syariat.

Juzaf

Menjual barang yang biasa ditakar atau ditimbang atau diukur atau dihitung tanpanya akan tetapi secara borongan atau taksiran.

Jual beli ini pada dasarnya tidak terwujud padanya salah satu syaratnya yaitu pengetahuan terhadap obyeknya melalui takaran atau timbangan atau ukuran atau hitungan, namun demikian ia dibolehkan atau dikecualikan dari dasar di atas dengan alasan kemudahan dan hajat. Ibnu Umar berkata, “Kami biasa membeli bahan makanan dari para kafilah dengan cara juzaf…” Diriwayatkan oleh Muslim.

Juzaf ini boleh dengan syarat penjual dan pembeli sama-sama tidak tahu takaran atau timbangan atau ukuran atau hitungan pasti, tetapi mampu menaksir dengan baik, bila salah satunya tahu maka tidak sah, di samping tidak ada unsur manipulasi padanya, misalnya tanah tempat meletakkan barang tidak rata.

Namun patut diketahui bahwa cara juzaf ini tidak boleh dilakukan untuk komoditi riba, misalnya beras satu karung dengan beras satu kardus tanpa diketahui takaran atau timbangannya, karena ketidaktahuan terhadap kesamaan, padahal ketidaktahuan terhadap kesamaan sama dengan pengetahuan terhadap perbedaan.

Bai’ul hadhir lil badi

Hadhir adalah orang kota, badi adalah orang dusun, jadi maskudnya adalah orang kota menjual untuk orang dusun, Ibnu Abbas menjelaskan maksudnya, “Orang kota tidak menjadi calo bagi orang dusun.”

Rasulullah bersabda, “Janganlah orang kota menjual untuk orang dusun, biarkan manusia diberi rizki oleh Allah dengan sebagian memberikan laba kepada sebagian yang lain.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Larangan berkonsekuensi pengharaman, namun ia dalam kasus ini tidak berkonsekuensi merusak bila jual beli ini tetap dilakukan, karena larangan di sini tidak kembali kepada akad itu sendiri dan tidak pula kepada syaratnya, artinya tidak ada rukun dan konsekuensi jual beli yang hilang, akan tetapi kembali kepada alasan lain yang bersifat tidak permanen, yaitu kemungkinan kesulitan yang dipikul oleh orang-orang kota.

Berpijak kepada alasan di atas maka para ulama menetapkan syarat-syarat bagi larangan ini:

1- Hajat masyarakat yang tinggi kepada barang orang dusun tersebut.
2- Ketidaktahuan orang dusun terhadap harga yang sebenarnya.
3- Keinginan orang dusun untuk menjual langsung barangnya dengan harga hari itu.
4- Kehadiran orang dusun dengan barangnya untuk menjualnya.

Dengan ini disimpulkan bahwa percaloan tidak mutlak dilarang dan tidak pula mutlak dibolehkan, pertimbangannya adalah memudahkan atau menyulitkan? Wallahu a’lam. (Oleh Ustadz Izzudin Karimi, Lc).