• Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 183)

Faedah :

Di antara faedah yang dapat dipetik dari ayat ini adalah,

    1. Pentingnya puasa, karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengawali ungkapan-Nya dalam ayat ini dengan an-Nida (seruan), dan bahwasanya puasa merupakan konsekwensi dari keimanan; karena seruan tersebut diarahkan kepada orang-orang yang beriman; dan bahwa meninggalkan puasa (tanpa udzur) menciderai keimanan.
    2. Wajibnya berpuasa. Karena firman-Nya, كُتِبَ (diwajibkan)
    3. Wajibnya berpuasa juga atas umat-umat sebelum kita. Berdasarkan firman-Nya,

 كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu

 

  1. Hiburan bagi seseorang dengan sesuatu yang diharuskan pula kepada orang lain, agar hal tersebut terasa ringan dilakukannya. Berdasarkan firman-Nya,

كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ

    “Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu

  1. Penyempurnaan umat ini dengan beberapa keutamaan yang diberikan kepada umat-umat sebelumnya, di mana Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- wajibkan atas umat ini sesuatu yang Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- wajibkan atas umat sebelumnya, hal itu untuk mengangkat derajat umat ini kepada derajat yang sempurna sebagaimana hal tersebut telah mengangkat derajat umat-umat sebelumnya.
  2. Hikmah di balik diwajibkannya puasa, yaitu, bertakwa kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Berdasarkan firman-Nya,

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

    “Agar kamu bertakwa

  1. Keutamaan takwa dan hendaklah seseorang menempuh sebab yang akan menyampaikannya kepada takwa; karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mewajibkan puasa untuk tujuan ini; dengan demikian tujuan ini merupakan tujuan yang agung. Dan, menunjukkan kepada keagungannya adalah bahwa takwa itu merupakan wasiat Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kepada orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang kemudian. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ

    “Dan sungguh, Kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab suci sebelum kamu dan (juga) kepadamu agar bertakwa kepada Allah (an-Nisa: 131).

 

  • Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”  (al-Baqarah: 184).

Faedah :

Di antara faedah yang dapat dipetik dari ayat ini adalah,

  1. Bahwa puasa, hari-harinya sedikit. Berdasarkan firman-Nya,

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ

     “Beberapa hari tertentu.” 

  1. Penggunaan kata, مَعْدُودَاتٍ menunjukkan perintah tersebut adalah ringan bagi orang yang diperintah.
  2. Rahmat Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- terhadap hamba-Nya karena hanya mewajibkan puasa beberapa hari saja.
  3. Bahwa kesukaran membawa kepada kemudahan. Berdasarkan firman-Nya,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka   (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.”

Karena, sakit dan safar merupakan kondisi yang memberikan peluang terbukanya pintu kerepotan.

  1. Bolehnya berbuka (tidak berpuasa) bagi orang yang sakit, yakni, sakit yang ketika seseorang berpuasa maka akan memberatkannya walaupun tidak membahayakannya.
  2. Bolehnya tidak berpuasa ketika safar. Berdasarkan firman-Nya,

أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

     “Atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.”

  1. Bahwa safar yang membolehkan seseorang tidak berpuasa tidak terikat dengan waktu, tidak pula terikat dengan jarak, karena kemutlakan penyebutan ‘safar’ di dalam ayat ini. Atas dasar ini maka dikembalikan kepada ‘urf, maka apa yang dikategorikan oleh orang-orang sebagai safar, maka itu adalah safar.
  2. Bahwa barang siapa tidak mampu berpuasa, di mana ketidakmampuannya tersebut tidak dapat diharapkan akan hilangnya, maka ia membayar fidyah, memberi makan seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya.
  3. Bahwa semua bentuk ketaatan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- adalah baik. Berdsarkan firman-Nya,

فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ

     “Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya.”

  1. Bahwa amal-amal itu bertingkat-tingkat keutamaannya. Berdasarkan firman-Nya,

وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ

      “Dan puasamu itu lebih baik bagimu.” 

  1. Perhatian akan keutamaan ilmu. Berdasarkan firman-Nya,

 إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

     “Jika kamu mengetahui.”

 

  • Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (al-Baqarah: 185).

Faedah :

Di antara faedah yang dapat dipetik dari ayat ini adalah,

  1. Penjelasan mengenai ‘beberapa hari tertentu’ yang Allah -عَزَّوَجَلَّ- samarkan di dalam ayat-ayat sebelumnya, bahwa hari-hari tersebut adalah bulan Ramadhan.
  2. Keutamaan bulan ini (bulan Ramadhan), di mana Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- wajibkan puasa atas hamba-hamba-Nya.
  3. Bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menurunkan al-Qur’an di bulan ini (bulan Ramadhan).
  4. Apa yang terkandung di dalam al-Qur’an berupa hidayah adalah untuk seluruh manusia. Berdasarkan firman-Nya,

 هُدًى لِلنَّاسِ

“Sebagai petunjuk bagi manusia”

  1. Bahwa al-Qur’an yang mulia mengandung ayat-ayat yang terang lagi jelas yang tidak samar atas seorang pun melainkan atas orang yang Allah -عَزَّوَجَلَّ- binasakan hatinya, maka tidak ada faedah dalam ayat-ayat tersebut. Sebagaimana Dia -عَزَّوَجَلَّ- berfirman,

وَمَا تُغْنِي الْآيَاتُ وَالنُّذُرُ عَنْ قَوْمٍ لَا يُؤْمِنُونَ

Tidaklah bermanfaat tanda-tanda (kebesaran Allah) dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang yang tidak beriman.” (Qs. Yunus: 101).

  1. Bahwa al-Qur’an yang mulia adalah furqan (pembeda) yang membedakan antara yang benar dan yang batil, membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya, membedakan antara wali Allah dan musuh Allah, dan hal yang lainnya yang harus dibedakan.
  2. Wajib berpuasa kapan telah tetap masuknya bulan Ramadhan. Dan, masuknya bulan Ramadhan ditetapkan dengan disempurnakannya bulan Sya’ban 30 hari atau dengan rukyatul hilal.
  3. Pengungkapan kata “شَهْرُ رَمَضَانَ” (bulan Ramadhan), kata para ulama, “ini lebih utama,” dan boleh juga diungkapkan dengan, “رَمَضَانَ” (Ramadhan), dengan tidak menyebutkan kata “شَهْرُ” (bulan). Berdasarkan sabda Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. al-Bukhari, no. 38; Muslim, no. 1817).

Dan, juga sabda beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ

“Apabila Ramadhan tiba, maka pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu Neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Muslim, no. 2547).

  1. Kemudahan yang diberikan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kepada para hamba-Nya, dimana Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memberikan keringanan kepada orang yang sakit yang mana puasa memberatkannya dan juga kepada orang yang bepergian secara mutlak untuk tidak berpuasa dan mengqadhanya di hari lainnya.
  2. Adanya (sifat) iradah (kehendak) bagi Allah -عَزَّوَجَلَّ-. Berdasarkan firman-Nya,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu.” 

  1. Bahwa syariat Allah -عَزَّوَجَلَّ- dibangun di atas kemudahan, karena hal itulah yang dikehendaki Allah -عَزَّوَجَلَّ- di dalam firman-Nya,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

Dan telah shahih dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bahwa beliau bersabda,

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ

“Sesungguhnya agama itu mudah. Dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan.” (HR. al-Bukhari).

Dan beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- biasa mengutus beberapa utusan seraya mengatakan,

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا

“Permudahlah dan janganlah kalian persulit. Berilah kabar gembira dan janganlah kalian menyebabkan orang lari.” (HR. al-Bukhari, no. 69).

  1. Ternafikannya kesukaran di dalam syariat. Berdasarkan firman-Nya,

وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” 

  1. Perintah untuk mencukupkan bilangan hari-hari puasa secara sempurna.
  2. Disyariatkannya takbir ketika telah sempurnanya bilangan hari-hari puasa. Berdasarkan firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ

“Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.”

  1. Bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- membuat syariat untuk suatu hikmah dan tujuan yang terpuji. Berdasarkan firman-Nya,

وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Agar kamu bersyukur.” 

  1. Isyarat bahwa melakukan ketaatan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- termasuk bentuk kesyukuran kepada-Nya.

 

  • Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (Qs. al-Baqarah: 186).

Faedah :

Di antara faedah yang dapat dipetik dari ayat ini adalah,

  1. Bahwa puasa itu merupakan peluang besar untuk diijabahinya doa; karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – menyebutkan ayat ini di sela-sela ayat-ayat puasa; apalagi Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– menyebutkan ayat ini di akhir pembicaraan tentang ayat-ayat puasa.

Sebagian ahli ilmu mengatakan, “Diambil faidah dari ayat ini faidah yang lainnya, yaitu, bahwa hendaknya doa itu dipanjatkan di penghujung waktu berpuasa, yakni, ketika seseorang berbuka (atau menjelang berbuka).”

  1. Kasih sayang Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Berdasarkan firman-Nya,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad).”

Di mana Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – menyandarkan mereka kepada Diri-Nya, sebagai bentuk pemuliaan dan kelembutan kepada mereka.

  1. Penetapan kedekatan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– , dan yang dimaksud adalah kedekataan Diri-Nya. Karena, semua dhamir (kata ganti) dalam ayat ini kembali kepada-Nya.
  2. Penetapan sifat mendengarnya Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Berdasarkan firman-Nya, أُجِيبُ (Aku kabulkan). Karena, tidaklah dikabulkan kecuali setelah didengarkan apa yang dimohonkan.
  3. Penetapan qudrah (kuasa) Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-; karena pengabulan permohonan orang yang berdoa membutuhkan kemampuan.
  4. Penetapan sifat kedermawanan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Berdasarkan firman-Nya,

أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.

  1. Bahwa termasuk syarat terkabulnya doa adalah orang yang berdoa jujur permohonannya di dalam memohon kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى –, di mana ia benar-benar ikhlas, merasa dirinya benar-benar butuh kepada Rabbnya, merasa dirinya akan kedermawanan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan keberadaan-Nya. Berdasarkan firman-Nya,

إِذَا دَعَانِ

     “Apabila dia berdoa kepada-Ku.”

  1. Bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– mengijabah permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Nya, hal tersebut tidak mengharuskan bahwa Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengabulkan perkara yang diminta. Karena, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– bisa jadi menunda pengijabahan permintaan itu agar menambah kerendahan hati dan ketegasan orang yang berdoa tersebut kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– di dalam berdoa. Dengan hal itu, imannya menguat dan bertambah pula pahalanya. Atau, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– menyimpankannya bagi orang yang berdoa tersebut pada hari Kiamat. Atau, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– menolak keburukan darinya yang mana hal itu lebih besar faedahnya bagi orang yang berdoa tersebut. Inilah dia rahasia –Wallahu A’lam– di dalam firman-Nya,

أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ

“Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa.”

  1. Bahwa memenuhi perintah Allah -عَزَّوَجَلَّ- dan melakukan ketaatan kepada-Nya merupakan sebab untuk memperoleh kebenaran. Berdasarkan firman-Nya,

فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.”

  1. Bahwa pemenuhan perintah Allah -عَزَّوَجَلَّ- haruslah disertai dengan iman, karena Allah -عَزَّوَجَلَّ- mengaitkan antara kedua hal tersebut. Maka, barang siapa beribadah kepada Allah      -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- namun lemah imannya, di mana terdapat di dalam dirinya keraguan –wal ‘iyadzubillah– maka hal itu tidak bermanfaat baginya. Atau, dalam dirinya terdapat pengingkaran, sebagaimana yang dilakukan orang-orang munafik, mereka melakukan peribadatan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- secara zhahir, akan tetapi mereka tidak memiliki iman, maka apa yang mereka lakukan tersebut tidak bermanfaat bagi mereka.

 

  • Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima taubatmu dan memaafkan. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf di dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.”          (al-Baqarah: 187).

Faedah:

Di antara faedah yang dapat dipetik dari ayat ini adalah,

  1. Kasih sayang Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- terhadap para hamba-Nya, karena adanya penghapusan hukum yang pertama sehingga menjadi ringan, di mana sebelumnya, di awal-awal diwajibkannya puasa mereka terlarang makan, minum, berhubungan intim di malam hari  setelah tidur. Hal itu sangat memberatkan sebagian mereka, maka Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- meringankan hal itu dari mereka dan membolehkan kesemua itu (makan, minum, jima’) dilakukan di malam hari puasa sampai terbit fajar.
  2. Bahwa istri merupakan penutup bagi suami dan suami merupakan penutup bagi istri, dan bahwasanya antara keduanya terdapat kedekatan seperti halnya antara pakaian dan orang yang mengenakannya. Berdasarkan firman-Nya,

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ

    Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka.”

  1. Bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengetahui apa yang tersembunyi di dalam jiwa manusia. Berdasarkan firman-Nya,

عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ

‘Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri.”

  1. Bahwa seorang insan sebagaimana ia bisa jadi mengkhianati orang lain, maka bisa jadi pula ia mengkhianati dirinya sendiri. Hal itu bila ia menjatuhkan dirinya ke dalam berbagai bentuk kemaksiatan kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Maka, ini merupakan pengkhianatan. Atas dasar ini, maka jiwa seseorang merupakan amanat di sisinya. Berdasarkan firman-Nya,

عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ

“Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri.”

  1. Bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mempunyai sifat “menerima taubat” dan “memaafkan kesalahan”. Berdasarkan firman-Nya,

فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ

“Tetapi Dia menerima taubatmu dan memaafkan.”

  1. Bolehnya menggauli istri secara mutlak tanpa batas. Dikecualikan dari hal itu adalah menggaulinya pada duburnya, menggaulinya pada saat haid atau pada saat nifas.
  2. Hendaknya seseorang bermaksud agar mendapatkan anak dengan tindakannya menggauli istrinya. Berdasarkan firman-Nya,

وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ

“Dan carilah apa yang ditetapkan Allah bagimu.”

Meski demikian, seseorang tidak terlarang melakukan hal tersebut hanya sekedar untuk melampiaskan syahwat. Ini tidak terlarang. Bahkan, dalam tindakan tersebut terdapat pahala. Berdasarkan sabda Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ .قَالَ : أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

Dan pada kemaluan salah seorang di antara kalian terdapat sedekah. Mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah! apakah salah seorang di antara kami yang  melampiaskan syahwatnya, ia mendapatkan pahala?‘ Beliau menjawab, ’Apa pendapat kalian, andai ia meletakkannya pada tempat yang haram, bukankah ia berdosa? Maka, demikian halnya bila ia meletakkannaya pada tempat yang halal, niscaya ia mendapatkan pahala. (HR. Muslim, no. 2376).

  1. Bolehnya makan, minum, dan jima’ di malam hari puasa hingga terbitnya fajar. Berdasarkan firman-Nya,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.

  1. Bolehnya seorang yang tengah berpuasa memasuki waktu Subuh dalam kondisi junub. Karena, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- membolehkan seseorang melakukan jima’ hingga jelasnya fajar. Hal ini berkonsekuensi bila seseorang benar-benar melakukan jima’ di akhir-akhir waktu mendekati terbitnya fajar, tentunya ia belum akan mandi kecuali setelah terbitnya fajar. Telah tetap dari Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bahwa beliau pernah mendapatkan waktu fajar masih dalam keadaan junub kerena menggauli istrinya, kemudian beliau berpuasa.
  2. Bahwa puasa syar’i (waktunya) dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Berdasarkan firman-Nya,

 ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.” 

  1. Bahwa puasa syar’i selesai dengan datangnya Berdasarkan firman-Nya,

 إِلَى اللَّيْلِ

“Sampai (datang) malam.”

    Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- telah menafsirkan hal itu dengan sabda beliau,

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا وَغَرَبَتْ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

“Apabila malam telah datang dari arah sana (timur) dan siang telah pergi dari arah sana (barat), dan matahari telah tenggelam, maka orang yang tengah berpuasa telah tiba saatnya berbuka.” (HR. al-Bukhari, no. 1954).

  1. Isyarat akan disyariatkannya ‘itikaf, karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menetapkannya dan menyebutkan beberapa hukum terkait dengannya.
  2. Bahwa i’tikaf disyariatkan untuk dilakukan di setiap masjid, tidak hanya di tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha). Berdasarkan keumuman firman-Nya,

عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Beri’tikaf di dalam masjid-masjid.” 

  1. Larangan menggauli istri saat i’tikaf.
  2. Bahwa jima’ membatalkan i’tikaf.
  3. Bahwa perintah-perintah Allah adalah ketentuan-Nya. Begitu pula larangan-larangan-Nya. Berdasarkan firman-Nya,

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ

“Itulah ketentuan Allah

  1. Seyogyanya seseorang menjauhkan diri dari perkara-perkara yang diharamkan syariat. Berdasarkan firman-Nya,

 فَلَا تَقْرَبُوهَا

“Maka janganlah kamu mendekatinya.” 

Dalam hadis, dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, beliau bersabda, “Barang siapa menghindarkan diri dari perkara-perkara syubhat, sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan barang siapa yang jatuh ke dalam perkara-perkara syubhat sungguh ia terjatuh ke dalam perkara yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar daerah yang terlarang, sangat dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan. Dan ketahuilah bahwa daerah larangan Allah adalah apa-apa yang diharamkan-Nya.” (HR. al-Bukhari).

  1. Bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjelaskan ayat-ayat kauniyah (berupa ciptaan-Nya) dan ayat-ayat syari’iyyah (berupa wahyu yang diturunkan kepada para nabi dan rasul-Nya) kepada manusia. Berdasarkan firman-Nya,

 كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ

“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia.”

  1. Bahwa ilmu merupakan sebab ketakwaan. Berdasarkan firman-Nya,

لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Agar mereka bertakwa.” 

Sisi yang menunjukkan hal itu adalah bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menyebutkannya setelah menyebutkan firman-Nya,

كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ

“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia.”

Maka, ini menunjukkan bahwa setiap kali ayat-ayat-ayat itu terlihat jelas dan terang oleh seseorang niscaya diperolehlah sikap takwa padanya. Hal itu diperkuat oleh firman-Nya,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama …” (Fathir: 28).

Maka, semakin seseorang bertambah ilmunya tentang ayat-ayat Allah niscaya akan semakin bertambah pula ketakwaannya. Oleh kerena itu dikatakan, “Barang siapa yang lebih mengenal Allah, niscaya ia akan semakin takut kepada-Nya.”

  1. Tingginya kedudukan takwa, karena ayat-ayat itu dijelaskan oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kepada manusia agar mereka sampai kepada kedudukan tersebut.

Wallahu A’lam. (Redaksi)

 

Sumber :

Tafsir al-Qur’an al-Karim, Surat al-Baqarah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 2/316-361. Dengan ringkasan.