Mengajarkan al-Qur’an hukumnya Fardhu Kifayah, dan menghafalnya adalah kewajiban bagi umat ini, supaya kemutawatiran di dalamnya (al-Qur’an) dari segi hafalan tidak terputus dan supaya tidak terjadi perubahan dan penyimpangan di dalamnya (al-Qur’an). Maka jika ada sebagian orang dari umat ini yang telah menunaikan hal tersebut, gugurlah kewajiban tersebut dari yang lainnya. Namun jika tidak ada (yang menunaikannya) berdosalah seluruhnya. Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu:


خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

”Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain.”(HR. Bukhari)

Dan cara belajar al-Qur’an adalah dengan mengahafalkan beberapa ayat sedikit demi sedikit. Dan ini adalah yang dikenal pada hari ini dalam metode pendidikan modern, yaitu seorang murid menghafalnya sedikit (dari ayat al-Qur’an), kemudian dilanjutkan dengan menghafal sedikit lagi, kemudian keduanya digabungkan, dan demikianlah seterusnya. Dari Abul ‘Aliyah rahimahullah berkata:”Belajarlah al-Qur’an lima ayat lima ayat, karena sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengambilnya dari Jibril‘alaihissalam lima ayat lima ayat.”

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah boleh tidaknya menerima upah dari mengajarkan al-Qur’an. Dan para ulama peneliti menguatkan (memilih) pendapat yang membolehkannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:


اِنَّ اَحَقَّ مَا أَخَذْتُم عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.

”Sesungguhnya suatu hal yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah Kitabullah.” (HR. al-Bukhari)

Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:


زَوَّجْتُكَهَا عَلَى مَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

” Aku nikahkan engkau dengannya dengan mahar apa yang engkau hafal dari Al-Qur`an.”

Dan sebagian ulama membagi bentuk pengajaran al-Qur’an dengan pembagian yang bagus berdasarkan keadaan-keadaan yang berbeda-beda, dan mereka jelaskan hukum masing-masing keadaan tersebut. Abu al-Laits dalam kitabnya al-Bustan berkata:”Pengajaran al-Qur’an ada tiga macam (keadaan), yang pertama adalah mengajarkannya dalam rangka mencari pahala dan tidak mengambil/meminta upah darinnya, yang kedua mengajarkannya dengan () imbalan, dan yang ketiga adalah mengajarkannya dengan tanpa syarat, namun jika diberi (hadiah/imbaln) ia terima.”

Maka untuk keadaan yang pertama ia (pengajar) akan diberi pahala, dan itu adalah amalan/pekerjaan para Nabi ‘alaihimush shalatu wassalaam.

Sedangkan yang kedua hukumnya diperselisihkan, ada yang mengatakan bahwa hukumnya tidak boleh, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:


بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً

” Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat” (HR. Bukhari)

Dan ada yang mengatakan bahwa hukumnya boleh. Dan yang lebih utama (afdhol) bagi seorang pengajar adalah untuk mensyaratkan imbalan hanya dari (membimbing) hafalan dan pengajaran tulis menulis. Namun jika ia mensyaratkannya ( mensyartkan imbalan) untuk mengajarkan al-Qur’an maka semoga tidak mengapa, karena kaum muslimin telah turun-temurun mewarisi hal yang demikian itu dan mereka membutuhkannya.

Adapun yang ketiga, maka diperbolehkan dalam pandangan mereka semua, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan al-Qur’an kepada manusia dan beliau menerima hadiah, dan berdasarkan hadits tentang seseorang yang disengat oleh kalajengking, yang mana ketika mereka (para Shahabat) meruqyah orang tersebut dengan al-Fatihah, mereka mensyaratkan imbalan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallambersabda:


وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ

”Berilah aku bagian bersama dari apa yang kalian terima.”

(Sumber:مباحث علوم القرآن karya Syaikh Manna’ al-Qaththan rahimahullah, Maktabah al-Ma’arif Riyadh hal. 196-197. Diterjemahkan dan dipsosting oleh Abu Yusuf Sujono)