tanganNgalap berkah (mencari berkah) dengan diri (jasad) Rasulullah semasa hidup beliau dan dengan peninggalan-peninggalannya semasa hidup dan setelah wafatnya adalah dibolehkan karena adanya dalil-dalil dan penguat dalam perkara ini.

Apabila mencari berkah dengan Rasulullah melalui cara seperti ini diperbolehkan, apakah diperbolehkan juga mencari berkah dengan cara demikian kepada selain beliau, yaitu kepada orang-orang shalih sebagai bentuk analogi terhadap beliau?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus merujuk kembali kepada dalil-dalil syari’i yang ada yang telah dijelaskan oleh para ulama secara gamblang. Sehingga kita tidak terjerumus dalam perkara-perkara yang tidak disyariatkan meskipun niat maupun tujuan yang menjadi motivasinya adalah demi untuk mendapatkan kebaikan. Karena bermodalkan niat saja dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah tidaklah cukup, sementara pilar yang lain yaitu ittiba’ diabaikan begitu saja, ataupun sebaliknya ittiba’ yang kering dari nilai-nilai keikhlasan di dalamnya.

Pernahkan sahabat bertabarruk dengan selain Rasulullah?

Yang menjadi sumber dalam dalam permasalahan ini adalah perbuatan para sahabat terhadap beliau dan pengakuan beliau terhadap perbuatan mereka, bahkan kadang-kadang beliau memerintahkannya kepada mereka. Dengan demikian apakah pencarian berkah semacam ini dijumpai di kalangan para sahabat Nabi terhadap selain Nabi? Apakah Rasulullah memerintahkannya kepada mereka dan membimbing mereka untuk melakukan hal itu?

Yang benar, tidak ada satupun riwayat dari Nabi yang menyatakan bahwa beliau memerintahkan mereka agar mencari berkah dengan selain beliau atau beliau membimbing kepada hal tersebut, baik dari kalangan sahabat ataupu selain mereka, baik dengan diri mereka ataupun dengan peninggalan-peninggalan mereka.selain itu, tidak ada riwayat mengenai adanya pencarian berkah macam ini dari para sahabat terhadap selain beliau, tidak semasa hidup beliau dan tidak pula setelah beliau wafat.

Para sahabat tidak pernah melakukan hal itu terhadap orang-orang yang terlebih masuk islam di kalangan mereka misalnya, dan terhadap para khulafaur rasyidin, padahal mereka itulah sahabat yang paling utama, serta sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga, dan sahabat-sahabat selain mereka.

Setelah menetapkan adanya pencarian berkah para sahabat kepada Nabi dan peninggalan-peninggalan beliau, Imam Asy-Syathibi mendiskusikan masalah adanya kemungkinan pencarian berkah terhadap orang-orang shalih dan peninggalan-peninggalan mereka.

Dia berkata, “Setelah Nabi wafat, tidak pernah ada di kalangan sahabat sesuatu yang berkaitan dengan (diperbolehkannya bertabarruk) pengganti beliau. Nabi tidak meninggalkan di kalangan umat beliau sahabat yang lebih utama daripada Abu Bakar Ash-Shiddiq dan ia adalah khalifah (pengganti) beliau. Namun, tidak ada satupun dari mereka yang melakukan tabarruk terhadapnya. Tidak juga terhadap Umar, orang yang paling utama di kalangan umat beliau setelah Abu Bakar, demikian pula terhadap Utsman dan Ali, kemudian sahabat-sahabat lainnya, yang tidak ada seorang pun di kalangan umat ini yang lebih utama daripada mereka. Juga, tidak ada satu keterangan pun yang shahih dan dikenal dari salah seorang mereka yang menyatakan bahwa ada seseorang yang mencari berkah terhadapnya dengan salah satu dari cara-cara di atas atau semacamnya.Akan tetapi yang terjadi di kalangan mereka hanyalah bertabarruk mengikuti perbuatan, ucapan, dan perjalanan hidup Nabi. Jadi, sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) dari mereka untuk meninggalkan hal-hal tersebut. ” (al-I’tisham, asy-Syathibi, 2/8-9)

Mengapa para sahabat tidak bertabarruk dengan sesama mereka?

Tidak ada keterangan yang menjelaskan bahwa para sahabat bertabarruk dengan sesama mereka, padahal mereka adalah generasi yang paling utama, sebagaimana yang ditegaskan oleh asy-Syathibi dan lainnya. Selain itu, ada alasan yang kuat untuk melakukannya – yaitu mencari kebaikan, kesembuhan dan keberkahan- serta berbagai alasan lainnya, seperti adanya para sahabat yang terlebih dahulu masuk islam dan sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga, sebagaimana beberapa delegasi yang di utus ke luar Madinah untuk beberapa kepentingan – dan di antara mereka terdapat pembesar sahabat-, namun tidak kita jumpai adanya keterangan bahwa masyarakat mencari keberkahan kepada para sahabat yang diutus kepada mereka, padahal mereka hidup jauh sepeninggal beliau. Kalau demikian halnya, apa yang menyebabkan para sahabat sepakat untuk meninggalkan pencarian berkah semacam ini? Dan mengapa mereka tidak melakukannya terhadap sebagian mereka sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Nabi.

Sesungguhnya penyebab utamanya –wallohu ‘alam- adalah keyakinan mereka bahwa tabarruk seperti itu merupakan kekhususan Rasulullah yang tidak dimiliki oleh selain mereka para sahabat Nabi.

Allah benar-benar telah memberikan beberapa kekhususan kepada para Nabi dan Rasul yang mulia, yang tidak didapatkan pada selain mereka, di antaranya yaitu adanya keberkahan pada diri (jasad) para Nabi dan Rasul dan peninggalan-peninggalan mereka sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan.

Jasad manusia dan sifat mereka itu tidak ada yang sama, sebagaimana yang Allah firmankan:

اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ

“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (QS. Al-An’am: 124)

Dan para Nabi adalah manusia yang paling utama.

Allah juga benar-benar telah memilih dan meyeleksi Nabi-Nabi-Nya di antara umat manusia, seperti dalam firman-Nya:

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ

“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya…” (QS. Al-Qashsash: 68)

Pengistimewaan Allah terhadap para Nabi, dengan berbagai kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang selain mereka, merupakan sesuatu yang telah masyhur dan tidak dapat dipungkiri.

Karena ini dan yang semacamnyalah yang menjadikan para Nabi berbeda dengan wali-wali Allah yang shalih dalam masalah (pencarian berkah) ini dan masalah lainnya.

Sekalipun keutamaan wali-wali Allah itu besar dan kedudukan mereka tinggi, tetap saja tingkatan mereka berada di bawah tingkatan para Nabi dan Rasul, dan mereka tidak mungkin sampai ke tingkatan para Nabi dan Rasul dalam hal keutamaan, pahala dan lainnya.

Tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul yang paling utama dan paling besar keberkahannya.

Setelah menetapkan adanya ijma’ para sahabat untuk meninggalkan pencarian berkah tersebut di antara mereka –meskipun mereka pernah melakukannya terhadap Nabi-, asy-Syathibi menjelaskan salah satu dari dua alasan adanya pencarian berkah semacam ini, ia berkata,” Para sahabat menyakini adanya kekhususan pada diri Rasulullah dan bahwa martabat kenabian itu mencakup semua itu, karena kepastian akan adanya keberkahan dan kebaikan yang mereka cari. Nabi adalah cahaya seluruhnya…. Barangsiapa mencari cahaya dari beliau, maka ia akan mendapatkannya dari sisi mana saja ia mencarinya. Berbeda dengan (mencari cahaya kepada) selain Nabi dari kalangan umat ini –sekalipun ia memperoleh sebagin dari cahaya lantaran meniru dan mengikuti petunjuk beliau- ia tidak akan sampai kepada derajat Nabi, tidak sejajar dengan tingkatan beliau dan tidak pula mendekatinya. Maka, hal semacam ini adalah sesuatu yang dikhususkan bagi beliau, seperti kekhususan beliau untuk menikahi lebih dari empat perempuan, dihalalkannya perempuan yang menghibahkan dirinya kepada beliau (nikah hibah), tidak adanya kewajiban menggilir isteri-isteri beliau dan sebagainya.

Kemudian, atas dasar alasan ini, asy-Syathibi menerangkan hukum pencarian berkah dengan selain beliau, ia berkata, “Berdasarkan alasan ini, maka tidak dibenarkan bagi seseorang setelah beliau untuk mengikuti beliau dalam hal pencarian berkah dengan salah satu cara-cara di atas dan semacamnya. Barangsiapa yang iqtida’ (mengikuti) beliau (dengan cara seperti ini), maka iqtida’ semacam ini adalah bid’ah, sebagaimana mengikuti beliau dalam hal menikah lebih dari empat perempuan merupakan suatu bid’ah.” (al-I’tisham, asy-Syathibi, 2/9)

Pada bagian lain, asy-Syathibi menyebutkan penguat alasan ini, “Alasannya adalah kesepakatan para sahabat  yang meninggalkan pencarian berkah tersebut. Karena, seandainya keyakinan mereka di syar’atkannya tabarruk seperti itu, niscaya hal itu akan dilakukan oleh sebagian sahabat  setelah beliau atau para sahabat  akan melakukannya sekalipun pada kondisi tertentu, baik itu dikarenakan adanya pansyari’atan semula (yaitu, keyakinan mereka bahwa pencaraian berkah semacam ini disyari’atkan) maupun berdasarkan keyakinan tidak adanya ilat (alasan) yang melarangnya.” (al-I’tisham, asy-Syathibi, 2/10)

Imam Ibnu Rajab ketika menyebutkan keterangannya mengenai larangan berlebih-lebihan dalam mengagungkan para wali yang shalih dan menempatkan mereka pada kedudukan para Nabi, ia berkata, “Demikian pula dengan pencarian berkah terhadap peninggalan-peninggalannya. Karena hal itu telah dilakukan oleh para sahabat terhadap Nabi dan mereka tidak melakukannya terhadap sebagian dari mereka…hal itu juga tidak dilakukan oleh para tabi’in terhadap para sahabat, padahal kedudukan mereka cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tabarruk semacam ini hanya boleh dilakukan terhadap Nabi, seperti mencari berkah dengan air wudhu beliau, sisa-sisa air wudhu beliau, rambut beliau, dan meminum/mamakan sisa minuman/makanan beliau.” (Al-Hikamul Jadirah bil Idzaa’ah min Qaul Rasulillah, “Buitstu baina yadayis saa’ah, Ibnu Rajab, 55)

 

Sumber: Tabaruk Memburu Berkah Sepanjang Masa Di Seluruh Dunia Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (edisi terjemahan Indonesia), DR. Nashir bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Judai’, penerjemah Ahmad Yunus, Msi, cetakan petama April 2009 M, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Jakarta, hal 346-351