sialDi zaman ini, ketika tekhnologi sudah berkembang dengan pesat, masih ada dijumpai orang yang berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang bisa membuat sial. Keyakinan ini tercermin dari ungkapan mereka yaitu, “Kalau ada burung gagak, tandanya akan ada yang meninggal”, “Kalau nabrak kucing, pasti akan ditimpa kesialan,” “Kalau menikah di bulan Muharram, pernikahannya tidak bahagia”, “13 itu angka sial, anak yang lahir tanggal 13 akan sial” dan lain-lain yang menunjukkan keyakinan tentang sial.

Secara logika, semua hal yang dikatakan sial, tidak realistis. Adakah hubungan antara burung gagak dan akan meninggalnya seseorang? Lalu bagaimana pandangan Islam tentang sial?

Kesialan Dalam Al-Qur’an
Ibnul Qayim v berkata, “Allah tidak mengisahkan kesialan kecuali dari musuh-musuh para Rasul.” (Miftah Dar as-Sa’adah, 2/231)

Allah berfirman tentang sial,
Allah berfirman, artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui.” (QS. al-A’raf: 131)

Allah berfirman, artinya, “Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.” Utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas.” (QS. Yasin: 18-19)
Allahkjuga berfirman, artinya, “Mereka menjawab: “Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu.” Shaleh berkata: “Nasibmu ada pada sisi Allah, (bukan kami yang menjadi sebab), tetapi kamu kaum yang diuji.” (QS. an-Naml: 47)

Hukum Meyakini Sial

1. Pintu menuju kesyirikan
Ibnu Mas’ud  juga berkata, bahwa Rasulullah n bersabda,

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ

“Ath-Thiyarah (merasa bernasib sial) adalah kesyirikan, Ath-Thiyarah adalah kesyirikan.”
Kemudian Ibnu Mas’ud berkata,

وما مِنَّا إلا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

“Tidak ada di antara kita kecuali (ada sifat merasa bernasib sial), tetapi Allah menghilangkannya dengan rasa tawakkal (bersandar kepada-Nya).” (HR. Abu Daud)

Rasulullah n juga bersabda,

مَن رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ من حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa yang berpaling dari kebutuhannya dikarenakan perasaan bernasib sial maka sungguh dia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad)

2. Sial tidak ada dalam Islam
Rasulullah n bersabda,

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ

“Tidak ada adwa, thiyarah, hamah dan shafar.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Adwa
Wabah atau penularan penyakit. yaitu tidak terjadi penularan penyakit kecuali atas kehendak Allah.

Thiyarah
Merasa sial atau bernasib buruk karena melihat burung, atau binatang tertentu.

Hamah
Burung Hantu. Orang-orang Jahiliyah merasa sial apabila ada burung hantu hinggap di atas rumah.

Shafar
Bulan kedua dalam tahun Hijriyah. Orang-orang beranggapan bahwa bulan tersebut adalah bulan sial, bulan panas. Termasuk keyakinan bahwa bulan Suro (Muharram) termasuk bulan sial dan bulan penuh bencana.

3. Musyrik karena berkeyakinan ada yang mengatur, mencipta dan berkuasa selain Allah.
Allah berfirman, artinya, “Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, “Allah”. Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31).

4. Musyrik karena keyakinan bahwa ada yang mengetahui hal gaib selain Allah
Allah berfirman, artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang gaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabbmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud: 123).

Allah juga berfirman,artinya, “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (al-Lauh al-Mahfuzh).” (QS. al-An’am: 59).

Allah juga berfirman, artinya, “Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (QS. an-Naml: 65)

5. Tidak termasuk umat Nabi n
Rasulullah n bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ وَلا تُطُيِّرَ لَهُ

“Tidak termasuk golongan kami orang yang melakukan atau meminta dilakukan Tathayyur (kesialan).” (HR. at-Thabrani, no. 14770)

Kedudukan Manusia dalam meyakini Kesialan
1. Orang yang menganggap sial dan meyakininya sehingga meninggalkan apa yang hendak dikerjakan. Yang demikian hukumnya haram dan masuk ke dalam pintu kesyirikan.

2. Orang yang menganggap sial dan meyakininya tetapi tidak meninggalkan apa yang hendak dikerjakan, namun diiringi dengan perasaan gelisah dan risau karena takut kesialan akan menimpanya. Ini lebih ringan dari yang pertama tetapi dia kurang dalam tawakal kepada Allah.

3. Orang yang tidak pernah beranggapan sial dan tidak pula meyakininya. Inilah yang terbaik dan sempurna serta memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allahk. Sebagaimana sabda Rasul n tentang 70 ribu golongan dari umatnya yang akan masuk Surga tanpa ada perhitungan (hisab) dan siksa (hisab). Mereka adalah,

لَايَسْتَرْقُونَولايَتَطَيَّرُونَولايَكْتَوُونَوَعَلَىرَبِّهِمْيَتَوَكَّلُونَ

“Orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta di-kai (pengobatan dengan besi panas), tidak merasa sial/ bernasib malang, dan hanya kepada Rabbnya me- reka bertawakal.” (Muttafaqun alaih).

Bagaimana cara menghilangkan keyakinan bernasib sial?
Di antara keindahan syariat Islam adalah memberikan obat dan penebus dosa ketika seseorang sudah terjatuh dalam keharaman, termasuk masalah sial. Adapun cara menghilangkannya, adalah sebagai berikut;

1. Tawakkal (Bersandar kepada Allah) dan menjauhi perasaan sial.
Sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud,

وما مِنَّا إلا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

“Tidak ada diantara kita kecuali (ada sifat merasa bernasib sial), tetapi Allah menghilangkannya dengan rasa tawakkal (bersandar kepada-Nya).” (HR. Abu Daud)

2. Berdoa kepada Allah dari kejelakan jika dihinggapi perasaan sial
Rasulullah n bersabda,

مَن رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ من حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa yang berpaling dari kebutuhannya dikarenakan perasaan bernasib sial, maka sungguh dia telah berbuat syirik.”

Para Sahabat kemudian bertanya, “Apa penebusnya, wahai Rasulullah n?
Rasulullah n menjawab, “hendaknya salah seorang di antara kalian mengucapkan,

اللَّهُمَّلاَخَيْرَإلاخَيْرُكَوَلاَطَيْرَإلاطَيْرُكَوَلاَإِلَهَغَيْرُكَ

“Ya Allah tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu. Tidak ada kesialan kecuali kesialan yang Kau tetapkan. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.”” (HR. Ahmad, no 7045)

3. Berusaha menolaknya ketika perasaan sial datang dan tidak mengikuti perasaan tersebut.
Rasulullah n mengajarkan doa agar ketika melihat apa yang dibencinya dengan doa,

اللَّهُمَّ لاَ يَأْتِى بِالْحَسَنَاتِ إِلاَّ أَنْتَ وَلاَ يَدْفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلاَّ أَنْتَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ

“Ya Allah, tiada yang dapat mendatangkan kebaikan kecuali engkau. Tidak ada yang dapat menolak bahaya kecuali engkau. Tidak ada daya dan upaya melainkan denganmu.” (HR. Abu Dawud)

Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa Islam tidak mengenal yang namanya SIAL. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishawab (Redaksi)

[Sumber: Dirangkum dari kitab Majmuatu Masaila fi Ahkami at-Tathayur, al-Mathar, Hukmu Istikhdami Jauzatut Tibb, Hukmu Qatli Rijalul Amni, DR. Naif bin Ahmad al-Hamd, Hakim di pengadilan Umum di Riyadh -KSA dengan beberapa tambahan dari sumber lain]