broMukaddimah merealisasikan tauhid

Pertama, untuk diketahui bahwasanya di antara rahmat Allah ta’ala kepada hamba-hamba-Nya adalah diciptakannya akal yang lurus dan fitrah yang benar dalam keadaan beriman kepada Allah ta’ala dan mengesakan-Nya di dalam Rububiyyah-Nya, Uluhiyyah-Nya, serta di dalam asma dan sifat-sifat-Nya.

Allah ta’ala berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), Bukankah Aku ini Rabbmu. Mereka menjawab, Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb). (al-A’raf: 172).

Maka, mengesakan Allah ta’ala merupakan kontrak perjanjian antara seorang hamba dan Tuhannya. Dan dengannya, firman Allah ta’ala telah ditafsiri, yaitu firman-Nya,

لاَيَمْلِكُونَ الشَّفَاعَةَ إِلاَّ مَنِ اتَّخَذَ عِندَ الرَّحْمَنِ عَهْدًا

Mereka tidak berhak mendapat syafa’at kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Rabb Yang Maha Pemurah. (Maryam: 87).

Di dalam hadîts shahih telah disebutkan sebuah do`a yang masyhur, dan di dalamnya terdapat kalimat:

وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ

dan aku tetap pada sumpah dan janji-Mu semampuku. Maksudnya, aku akan selalu berpegang pada keimananku pada-Mu dan pengakuanku terhadap keesaan-Mu yang telah aku janjikan kepada-Mu, tanpa pernah pudar.

Janji ini termasuk di antara janji yang diperintahkan oleh Allah ta’ala untuk senantiasa ditepati. Allah ta’ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ اْلأَنْعَامِ إِلاَّ مَايُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللهَ يَحْكُمُ مَايُرِيدُ

 “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…. (al-Ma’idah: 1).

Ayat ini berisi perintah Allah ta’ala untuk memenuhi berbagai aqad (transaksi), dan transaksi yang paling besar adalah perjanjian antara seorang hamba dengan Tuhannya, yaitu berupa mengimani Allah ta’ala dan mengesakan-Nya, lalu transaksi antara seorang hamba dengan Rasulullah dengan cara mengimaninya, mengikuti sunnah-sunnah-nya, dan mematuhinya, lalu berbagai transaksi yang terjadi antar sesama makhluk, baik yang bersifat keagamaan (diniyyah) seperti berbuat kebaikan dan menyambung silaturahim, maupun yang bersifat duniawi seperti jual beli. Wallahu A’lam.

Allah ta’ala berfirman,

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi keba-nyakan manusia tidak mengetahui. (ar-Rum: 30).

Sesungguhnya akal dan fitrah diciptakan dalam keadaan beriman kepada Allah ta’ala, mengingat hal itu adalah perkara ghaib yang tidak terlihat dan kasat mata[1], akan tetapi dia terbangun atas dasar tunduk dan mengikuti wahyu yang ma’shu] (suci). Oleh karena itu, Allah ta’ala -sewaktu memuji kepada hamba-hamba-Nya yang beriman- seraya berfirman,

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ  يُنْفِقُونَ

(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib…. (al-Baqarah: 3).

Malaikat termasuk perkara ghaib, hari akhir juga perkara ghaib, dan iman kepada sejumlah kitab, juga kenabian dan kerasulan yang dinisbatkan kepada Allah ta’ala adalah perkara ghaib, meskipun masing-masing dari kitab yang diturunkan dan rasul yang diutus tersebut bisa dilihat dengan kasat mata.

Kedua,, untuk diketahui bahwasanya di antara rahmat Allah ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, adalah tercegahnya akal untuk menetapkan prinsip-prinsip tauhid beserta berbagai permasalahan dan problematikanya. Allah ta’ala telah menjelaskan secara langsung bentuk pengesaan kepada-Nya di dalam wahyu yang diturunkan-Nya (al-Qur’an dan as-Sunnah) dengan nash (teks) yang sangat jelas. Oleh karenanya, kebenaran (al-haq) yang terkandung di dalamnya hanya satu, tidak banyak. Maka, tugas akal adalah memperoleh dan menerima semata, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam az-Zuhri [rahimahullah: “Dari Allah ta’ala ada kerasulan, dari seorang rasul ada penyampaian, dan wajib atas kita untuk tunduk/menerima..”

Oleh karena itu, tidak boleh bertaklid (meniru secara membabi buta) di dalam masalah tauhid, risalah, dan prinsip-prinsip agama. Dan sesungguhnya kewajiban bagi setiap mukallaf (orang sudah baligh) adalah mengetahui tauhid dengan dalilnya karena dalil-dalilnya sangat jelas dan tidak khusus diketahui oleh para ulama semata.

Dalam masalah ini, di antara hikmah Allah ta’ala yang paling mendalam adalah, agar tauhid tersebut tidak menjadi pangkal perselisihan, perbedaan dan permusuhan, mengingat akal dan fikiran itu selalu berbeda-beda. Dan jika memang demikian keadaannya, niscaya kaum muslimin tidak pernah punya akidah yang bisa mereka jadikan pijakan dan pedoman untuk menyembah dan berdo`a kepada Allah ta’ala, juga pasti hilang tonggak kebersamaan (jamaah), dan sebaliknya kelompok aliran pun semakin menjamur dan menjadi sebuah ajang untuk saling bertikai.

Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah sering mengatakan, “Adapun keyakinan (i’tiqad) itu bukan berasal dari (fikiran)ku sendiri, dan bukan juga dari seorang yang lebih pakar dariku. Akan tetapi, dia bersumber dari Allah ta’ala, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan apa yang telah disepakati oleh seluruh ulama salaf.”

Oleh karena itu, maka semua kitab tentang akidah di dalam Islam tidak dinisbatkan kepada seseorang. Dan sungguh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah sangat mengingkari orang yang melakukan hal itu.[2]

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]


[1]  Faidah: Anda akan menjumpai dalam sebagian ungkapan orang yang berbicara tentang masalah iman kepada Allah q sebuah perkataan yang berbunyi: “Akal tidak akan mampu mengetahui-Nya dengan penginderaannya” atau “Allah q tidak akan bisa diketahui dengan indera manusia.” Semua itu merupakan ungkapan kelompok Jah-miyyah yang mereka lontarkan untuk tujuan menafikan terjadinya penglihatan kepada Allah q (ru’yah) dan menafikan terjadinya pendengaran terhadap kalam Allah q bagi para nabi yang diajak berbicara oleh Allah q. Coba lihat penjelasan tentang bantahan terhadap ungkapan tersebut di dalam kitab “Naqdhu ad-Darimi ‘ala Basyar al-Marisi, hal. 152, 186, 429, 683, versi cetakan yang sudah di-tahqiq (koreksi).

[2]  Lihat: al-Fatâwâ, (3/169, 219, 415); al-Madkhal al-Mufasshal, (1/45). Dan dengannya, dike-tahui bahwasanya penamaan beberapa kitab dalam akidah yang dinisbatkan kepada pengarangnya itu sebagai bentuk pengecualian, mengingat pengarangnya tidak pernah menamakannya demikian.