Tabiat Membenci Kematian

Termasuk tabiat setiap insan –pada galibnya- adalah ‘membenci kematian’.

Kata Aisyah –semoga Allah meridhainya- kepada suaminya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

يَا رَسُوْلَ اللهِ ! كُلُّنَا نَكْرَهُ الْمَوْتَ

“Wahai Rasulullah!, setiap kita membenci kematian.” (HR. At-Tirmidzi).

Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan hal terebut, bahwa setiap anak Adam itu membenci kematian.

Mahmud bin Labid meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اثْنَتَانِ يَكْرَهُهُمَا ابْنُ آدَمَ الْمَوْتُ وَالْمَوْتُ خَيْرٌ لِلْمُؤْمِنِ مِنْ الْفِتْنَةِ وَيَكْرَهُ قِلَّةَ الْمَالِ وَقِلَّةُ الْمَالِ أَقَلُّ لِلْحِسَابِ

 “Dua hal yang dibenci oleh anak Adam; (pertama) al-maut (kematian) padahal kematian itu (boleh jadi) lebih baik bagi seorang mukmin daripada fitnah. (Kedua) dan anak Adam itu membeci ‘sedikit harta’ padahal sedikit harta itu lebih sedikit untuk penghisaban.” (HR. Ahmad).

 

Benci, Tak Berharap

Ketika seseorang membenci kematian, maka kecil kemungkinan ia akan mengharapkan kematian. Karena, bagaimana mungkin seseorang yang membenci sesuatu, ia mengharapkannya. Bahkan, ia pun tentunya tidak mengharapkan sebab-sebab yang boleh jadi mengantarkan dirinya kepada kematian, semisal sakit, kelaparan dan lain sebagainya.

 

Yang Tua Pun Membencinya

Kebencian terhadap kematian ini, berlaku umum, anak muda -pada galibnya- tentunya ia membencinya, bahkan orang yang sudah tua pun membencinya.

Dikatakan kepada seorang yang telah lanjut usia di antara kaum Salaf, “Apakah kamu menyukai kematian?” Ia pun menjawab, “Tidak. Sungguh, bisa jadi telah pergi masa muda beserta keburukannya, dan telah datang usia tua beserta kebaikannya. Maka, bila aku berdiri, aku ucapkan, بِسْمِ اللهِ (Dengan menyebut nama Allah), dan bila aku telah duduk, aku ucapkan, اَلْحَمْدُ لِلَّهِ (Segala puji hanya bagi Allah), maka dari itu aku menyukai agar ini tetap (dapat aku lakukan).” (Fatawa al-Islam Sual Wa Jawab, 1/4611).

 

Alasan yang Berbeda

Sebagaimana kebencian terhadap kematian ini terjadi pada orang-orang baik, sebagaimana yang tercermin dalam penuturan orang tua tersebut, karena menginginkan tambahan kebaikan dalam sisa hidupnya, maka demikian pula kebencian terhadap kematian juga terjadi pada diri orang-orang yang buruk, semisal orang-orang Yahudi dan yang mengikuti jejak mereka dari kalangan para pecinta kehidupan dunia. Mereka tidak mengharapkan kematian dengan alasan yang berbeda dengan alasan orang-orang yang baik, orang-orang yang lebih memilih dan memprioritaskan kehidupan akhirat. Hal ini sebagaimana dinyatakan Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya tentang mereka,

وَلَا يَتَمَنَّوْنَهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيْهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِيْنَ

“Mereka tidak akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui akan orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Jum’ah: 7).

Yakni, Orang-orang Yahudi itu tidak akan mengharapkan kematian selama-lamanya karena lebih mementingkan kehidupan dunia daripada akhirat, dan takut mendapat azab Allah, disebabkan kekafiran dan kejahatan yang telah mereka perbuat…(at-Tafsir al-Muyassar, 10/133).

 

Benci, Lari

Saking bencinya terhadap kematian ini, sehingga dikatakan mereka itu ‘lari darinya’, meskipun sesuatu yang dibenci tersebut pastilah akan mendapatkan mereka. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

  قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيْكُمْ …

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya kematian yang kalian lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kalian…’” (Qs. Al-Jum’ah: 8).

Yakni, ( إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّوْنَ مِنْهُ ), “Sesungguhnya kematian yang kalian lari daripadanya, karena kalian membencinya dan menolak untuk mengharapkannya ( فَإِنَّهُ مُلاقِيْكُمْ ) maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kalian dan menghampiri kalian… (Jami’ al-Bayan Fii Ta’wili al-Qur’an, 23/379).

 

Sembunyi, Tertangkap

Maka, di mana pun kalian berada kematian bisa saja menghampiri kalian meskipun kalian tidak mengharapkannya. Meskipun kalian bersembunyi di manapun tempatnya, kalian pasti bakal tertangkap olehnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

أَيْنَمَا تَكُونُوْا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوْجٍ مُشَيَّدَةٍ

Di mana saja kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian, kendatipun kalian di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh …” (Qs. An-Nisa: 78).

 

Tabiat Bisa Berubah

Pembaca yang budiman…Meskipun kebencian terhadap kematian -pada ghalibnya- menjadi bagian dari tabiat manusia, namun bisa saja tabiat ini berubah 180 derajat. Yakni, seseorang justru menyukai dan mengharapkan kematian itu segera menemuinya karena suatu sebab tertentu. Ini tidak mustahil. Sebagaimana halnya alam mengalami perubahan.

 

Mengharap Karena Sebab

Bolehkah seseorang mengharapkan kematian itu segera menemuinya karena suatu sebab tertentu dan bolehkah pula ia berdoa memohon kematian itu?

Dari Anas bin Malik -semoga Allah meridhainya-, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ مِنْ ضُرٍّ أَصَابَهُ فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي

 “Janganlah salah seorang dari kalian mengharapkan kematian, karena suatu bencana yang menimpanya. Jika tidak bisa tidak, maka hendaklah ia mengucapkan, ‘Ya Allah, hidupkanlah aku, selagi kehidupan itu lebih baik bagiku dan matikanlah aku, selagi kematian itu lebih baik bagiku.’” (HR. Al-Bukhari).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

لاَ يَتَمَنَّى أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ وَلاَ يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُ إِنَّهُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ وَإِنَّهُ لَا يَزِيْدُ الْمُؤْمِنَ عُمْرُهُ إِلاَّ خَيْرًا

Janganlah salah seorang dari kalian mengharapkan kematian dan jangan pula berdoa untuk memohon kematian sebelum kematian tersebut tiba kepadanya. Sebab, jika salah seorang dari kalian telah mati, maka terputuslah amalnya. Dan tidaklah usia seorang mukmin bertambah melainkan menjadi suatu kebaikan.” (HR. Muslim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ إِمَّا مُحْسِنًا فَلَعَلَّهُ يَزْدَادُ وَإِمَّا مُسِيْئًا فَلَعَلَّهُ يَسْتَعْتِبُ

Janganlah salah seorang dari kalian mengharapkan kematian, karena boleh jadi ia seorang yang baik sehingga boleh jadi ia bertambah (kebaikannya) dan boleh jadi ia orang yang melakukan keburukan maka mudah-mudahan ia bisa meminta keridhaan (kepada Allah dengan menghentikan kejelekannya dan memohon ampunan kepada-Nya). (HR. al-Bukhari).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

لَا تَمَنَّوْا الْمَوْتَ فَإِنَّ هَوْلَ الْمَطْلَعِ شَدِيْدٌ وَإِنَّ مِنْ السَّعَادَةِ أَنْ يَطُولَ عُمْرُ الْعَبْدِ وَيَرْزُقَهُ اللَّهُ الْإِنَابَةَ

Janganlah kalian mengharapkan kematian, karena pemandangan kematian itu sangatlah menakutkan. Suatu kebahagiaan, apabila umur seorang hamba panjang sehingga Allah mengaruniakan pertaubatan kepadanya.” (HR. Ahmad).

Abu Zhabyan berkata, “Aku pernah duduk di sisi Abdullah bin Umar -semoga Allah meridhainya-, ia mendengar seorang lelaki mengharapkan kematian, maka sekonyong-konyong Ibnu Umar mengangkat pandangannya ke arah lelaki tersebut. Lalu, ia mengatakan (kepada lelaki tersebut):

لَا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ وَلَكِنْ سَلُوْا اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى الْعَافِيَةَ

“Janganlah kamu mengharapkan kematian, karena sesungguhnya kamu pasti bakal mati. Akan tetapi, mintalah kalian kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala ‘afiyah.” (az-Zuhdu, 1/256).

 

Zhahir Teks Melarang

Pembaca yang budiman…

Zahir teks-teks hadits di atas dan atsar Ibnu Umar ini menunjukkan bahwa mengharapkan kematian itu merupakan perkara terlarang. Artinya, hal tersebut tidak boleh dilakukan. Inilah yang difahami sahabat mulia Khabab -semoga Allah meridhainya-.

Haritsah bin Mudharrib mengatakan, “Kami mendatangi Khabab, menjenguknya, ia telah berobat dengan metode kay sebanyak tujuh kali, Khabab mengatakan,

     لَقَدْ تَطَاوَلَ مَرَضِي وَلَوْلَا أَنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ لَا تَمَنَّوْا الْمَوْتَ لَتَمَنَّيْتُ

‘Sungguh, benar-benar sakitku telah begitu lama dan berkepanjangan, andaikata aku tidak mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Janganlah kalian mengharapkan kematian’, niscaya aku telah mengharapkannya.’” (HR. at-Tirmidzi).

 

Imam an-Nawawi -semoga Allah merahmatinya- Memakruhkan

Sebagian ulama, seperti Imam an-Nawawi -semoga Allah merahmatinya- berpandangan bahwa larangan tersebut bersifat makruh saja dan hanya berlaku untuk perkara yang bersifat duniawi. Beliau -semoga Allah merahmatinya- berkata:

“Di dalam hadits tersebut terdapat informasi yang gamblang akan kemakruhan tindakan mengharapkan kematian karena suatu bencana yang menimpa berupa kemiskinan, atau ujian diserang oleh musuh, dan yang lainnya berupa kesulitan duniawi. Adapun bila takut terhadap sesuatu yang berbahaya atau fitnah dalam perkara agamanya, maka tidak dimakruhkan untuk mengharapkan kematian berdasarkan pemahaman hadits ini dan hadits yang lainnya, dan beberapa orang dari kalangan Salaf telah melakukannya karena bentuk yang kedua ini ketika takut fitnah pada agama mereka.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 9/43).

 

Ibnu Hajar -semoga Allah merahmatinya- Melarang Secara Mutlak

Al-Hafizh Ibnu Hajar -semoga Allah merahmatinya- berkata, “Saya katakan, ‘Zhahir hadits (menunjukkan) terlarangnya (mengharapkan kematian) secara mutlak, dan membatasi diri hanya dengan berdoa (yang disebutkan dalam hadis tersebut) secara mutlak. (Yakni,

اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي

‘Ya Allah, hidupkanlah aku, selagi kehidupan itu lebih baik bagiku dan matikanlah aku, selagi kematian itu lebih baik bagiku-pen). Akan tetapi, yang dikatakan asy-Syaikh (yakni, Imam an-Nawawi) (yakni, makruhnya mengharap kematian) tidak mengapa bagi orang yang terjadi pada dirinya pengharapan itu agar hal itu menjadi penolong (baginya) untuk meninggalkan mengharapkan (kematian).’” (Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari, 20/279).

 

Dalam Kondisi Tertentu Disyariatkan 

Meski mengharapkan kematian itu terlarang, namun ada kondisi-kondisi tertentu justru hal tersebut disyariatkan. Di antaranya, yaitu :

Pertama, Seseorang mengkhawatirkan adanya fitnah  terhadap agamanya.

Dalam hadits Mahmud bin Labid -semoga Allah meridhainya-, di dalamnya disebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَالْمَوْتُ خَيْرٌ لِلْمُؤْمِنِ مِنْ الْفِتْنَةِ

“Dan kematian itu (boleh jadi) lebih baik bagi seorang mukmin daripada fitnah…” (HR. Ahmad).

Tidak diragukan bahwa kematian seorang insan dalam keadaan jauh dari fitnah, meski amalnya sedikit, lebih baik baginya daripada terfitnah pada agamanya. Semoga Allah memberikan keselamatan kepada kita. Amin.

Hadits lainnya yang menunjukkan disyariatkannya mengharapkan kematian dalam kondisi ini adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam doanya,

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبَّ الْمَسَاكِيْنِ وَإِذَا أَرَدْتَ بِعِبَادِكَ فِتْنَةً فَاقْبِضْنِي إِلَيْكَ غَيْرَ مَفْتُوْنٍ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu (taufiq untuk dapat) mengerjakan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, dan mencintai orang-orang miskin. Dan, apabila Engkau menghendaki pada hamba-hamba-Mu sebuah fitnah, maka cabutlah (nyawaku) dalam keadaan tanpa terkena fitnah.” (HR. at-Tirmidzi).

Ibnu Rojab -semoga Allah merahmatinya- mengatakan, “Ini dibolehkan menurut kebanyakan ulama.”

Kedua, Kematian yang diharapkan di jalan Allah.

Banyak hadits yang menunjukkan disyariatkannya mengharapkan kematian dalam kondisi ini, di antaranya, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

انْتَدَبَ اللَّهُ لِمَنْ خَرَجَ فِي سَبِيْلِهِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا إِيْمَانٌ بِي وَتَصْدِيْقٌ بِرُسُلِي أَنْ أُرْجِعَهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ أَوْ غَنِيْمَةٍ أَوْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَلَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي مَا قَعَدْتُ خَلْفَ سَرِيَّةٍ وَلَوَدِدْتُ أَنِّي أُقْتَلُ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيَا ثُمَّ أُقْتَلُ ثُمَّ أُحْيَا ثُمَّ أُقْتَلُ

“Allah menjamin bagi orang yang keluar (dari rumahnya) (untuk berjihad) di jalan Allah di mana tidak ada sesuatu pun yang mengeluarkannya melainkan keimanan kepadaku dan pembenaran terhadap kerasulanku, niscaya ia dipulangkan dengan apa yang ia dapatkan berupa pahala atau ghanimah atau dimasukkan Surga. Dan, andai aku tidak memberatkan ummatku, niscaya aku tak akan duduk di belakang sariyah (pasukan perang) dan sungguh aku mengharapkan aku dibunuh di jalan Allah, kemudian aku dihidupkan lagi, kemudian aku dibunuh lagi, kemudian aku dihidupkan kembali, kemudian aku dibunuh lagi.” (HR. al-Bukhari).

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ

“Barangsiapa meminta kepada Allah syahadah (mati syahid di medan jihad di jalan Allah) dengan jujur niscaya Allah menyampaikannya ke kedudukan para Syuhada meskipun ia mati di atas tempat tidurnya.” (HR. Muslim).

 

Kematian di Jalan Allah Dicintai Para Salaf

Para Salafush Shaleh (genderasi terdahulu yang baik) -semoga Allah meridhai mereka semua- mencintai kematian di jalan Allah ‘Azza wa Jalla ini.

Di antara yang menunjukkan hal ini adalah perkataan dua orang sahabat Nabi yang mulia, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Khalid bin Walid -semoga Allah meridhai keduanya-.

Abu Bakar -semoga Allah meridhainya- mengatakan perihal Musailamah al-Kadzdzab ketika mengklaim dirinya sebagai seorang nabi,

وَاللهِ لَأُقَاتِلَنَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّوْنَ الْمَوْتَ كَمَا يُحِبُّ الْحَيَاةَ

Demi Allah, sungguh aku benar-benar akan memeranginya bersama sekelompok orang yang mana mereka mencintai kematian seperti dia (Musailamah al-Kadzdzab) mencintai kehidupan.

Khalid bin Walid -semoga Allah meridhainya- pernah mengirimkan surat ke pembesar Persia, di antara isinya adalah ungkapan beliau,

وَاللهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَآتَيْنَكُمْ بِقَوْمٍ يُحِبُّوْنَ الْمَوْتَ كَمَا تُحُبُّوْنَ الْحَيَاةَ

Demi Allah Dzat yang tidak ada sesembahan yang hak selain Dia, kami benar-benar akan mendatangi kalian dengan membawa serta sekelompok orang yang mereka mencintai kematian sebagaimana kalian mencintai kehidupan.” (Sunan Sa’id bin Manshur, 1/350).

Kesimpulannya, dimakruhkan bagi seorang muslim untuk mengharapkan kematian jika hal tersebut disebabkan karena suatu bencana yang menimpanya terkait urusan dunia. Semestinya ia bersabar dan memohon pertolongan kepada Allah ‘Azza wa Jalla serta tidak berkeluh kesah karenanya.

 

Akhirnya…

Semoga Allah memberikan keselamatan dan ‘afiyat kepada kita. Amin.

Semoga pula Allah segera mengangkat musibah dan bala yang menimpa setiap orang yang beriman kepada-Nya. Amin. Wallahu A’lam.

 

(Redaksi)

 

Referensi:

  1. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi.
  2. Al-Musnad, Imam Ahmad bin Hambal.
  3. At-Tafsir al-Muyassar, Kumpulan Pakar Tafsir di bawah bimbingan Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh.
  4. Az-Zuhd, Hanad bin as-Sari al-Kufi.
  5. Fatawa al-Islam Sual Wa Jawab, Muhammad bin Shalih al-Munajjid.
  6. Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani.
  7. Jami’ al-Bayan Fii Ta’wili al-Qur’an, Muhammad bin Jarir ath-Thabari.
  8. Shahih al-Bukhari, Muhammad bin Ismail al-Bukhari.
  9. Shahih Muslim, Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi.
  10. Sunan at-Tirmidzi, Muhammad bin Isa As-Sulami.
  11. Sunan Sa’id bin Manshur, Sa’id bin Manshur bin Syu’bah al-Khurasani al-Makki.