119513Menikah tanpa wali bisa terjadi, tetapi yang bisa belum tentu baik dan syar’i. Menikah tanpa wali adalah kebebasan yang diidamkan oleh orang-orang yang ingin ucul, lepas dari ajaran agama, bebas dari ikatan asal usul. Karena itu, seiring dengan gencarnya angin kebebasan, bermunculan suara-suara yang menyerukan dan mengajak menikah tanpa wali. Seiring dengan giatnya propaganda dan iklan kesetaraan gender dan emansipasi yang gebyah uyah, lahir relawan-relawan yang tidak rela sehingga mereka ingin mendobrak tatanan menikah dengan wali.

Berikut ini adalah pertimbangan syar’i terhadap menikah tanpa wali.

Jumhur ulama berpendapat bahwa wali merupakan syarat sah pernikahan, wanita tidak menikahkan dirinya tanpa wali, bila dia melakukan maka pernikahannya batal, berdasarkan hadits Abu Musa di mana Nabi bersabda, “Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali.” Hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dan hadits Aisyah di mana Nabi bersabda, “Wanita mana pun yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya batal.” Beliau mengucapkannya tiga kali. Hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah.

Inilah pendapat yang shahih, karena ia sejalan dengan hadits shahih.

Sementara madzhab Hanafi berpendapat wali bukan syarat sah pernikahan bila yang menikah adalah wanita dewasa dan berakal, mereka mengqiyaskan akad pernikahan kepada akad muamalat seperti jual beli, sewa-menyewa dan lainnya, menurut mereka jika jual beli wanita sah tanpa wali, maka akad nikah juga demikian. Dalam hadits, “Janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Pendapat Hanafi ini lemah, patut ditinggalkan karena tidak sejalan dengan hadits. Qiyas yang mereka gunakan rusak, karena menabrak hadits shahih, kaidah ushul berkata, “La qiyasa ma’a an-nash.” Tidak ada qiyas di depan nash.

Lalu apa beda antara jual beli dan menikah? Dua sisi: Pertama, dalil membedakan keduanya. Kedua, dampak keduanya berbeda, jual beli mengalihkan sesuatu yang aslinya halal dari satu tangan ke tangan yang lain, menikah di samping mengalihkan, ada sisi menghalalkan sesuatu yang pada dasarnya haram, yaitu kehormatan wanita, jadi menikah lebih berat. Orang salah beli, mudah saja meralatnya, tetapi orang salah menikah, bisa menyesal sampai ke ubanan.

Tentang hadits yang dijadikan pegangan oleh madzhab Hanafi, maka ia tidak mengandung dalil bagi mereka, karena berhaknya janda atas dirinya tidak mengotomatiskan boleh menikah tanpa wali, karena makna hadits adalah janda lebih berhak atas walinya bila terjadi perbedaan antara wali dengan janda, maka pilihan janda didahulukan dan selanjutnya walinya yang menikahkannya.

Berikut ini adalah pertimbangan moral dan sosial terhadap menikah tanpa wali.

Seorang wanita, gadis atau janda, punya asal-usul, sebab kelahirannya, yaitu bapaknya, Anda tidak keluar dari batu, Anda bisa sampai sekarang dan seperti ini adalah karena jasanya, apakah patut dan pantas bila dalam keadaan ini Anda menikah yang menentukan jalur dan jalan kehidupan Anda selanjutnya tanpa wali Anda? Bila Anda berkata, patut maka di mana moral membalas kebaikan Anda? Bagaimana kiranya perasaan Anda bila seandainya Anda yang menjadi wali lalu anak gadis atau janda Anda tiba-tiba pulang membawa pasangan? Hanya orang yang menginjak bara api yang merasakan panasnya.

Menikah tanpa wali merupakan salah satu bentuk kedurhakaan anak kepada orang tuanya, seandainya yang menikah adalah anak lelaki, maksud saya bila ada anak lelaki menikah tanpa sepengetahuan orang tuanya, maka orang tuanya akan tetap kecewa, padahal lelaki tidak membutuhkan wali untuk menikah, lalu bagaimana bila yang menikah adalah anak perempuan yang memerlukan wali?

Banyak serigala berbulu domba, mereka lihai menipu, licin berkedok, mahir menjerat dan banyak kaum wanita yang tertipu, menyangka ayam ternyata musang, mengira baik ternyata busuk, menduga mulia ternyata rendah, dan alhasil pernikahan tak butuh waktu lama untuk bubar atau si wanita terkungkung dalam kubangan kerendahan dan kezhaliman yang sulit dientaskan, bukan salah bapak yang berselimut sarung, bukan salah bunda yang mengandung, tetapi salah diri yang tak mendengar nasihat agung. Wassalam.