Oleh Ustadz Abu Yusuf Sujono.

Sisi Yang Kedua Dalam Masalah Tarjih

Yaitu Tarjih dengan sesuatu yang berkaitan dengan matan hadits (isi/teks hadits). Al-‘Allamah asy-Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah di dalam kitabnya ”Mudzakkirah Ushuulil Fiqh” menyebutkan beberapa murajjihat (faktor-faktor yang menjadikan suatu hadits dikuatkan/dipilih di atas hadits yang lain) dari jenis ini, di antaranya:

1. Salah satu nash dari kedua nash yang kontradiksi tersebut didukung oleh al-Kitab (al-Qur’an) atau as-Sunnah (Hadits) atau oleh dalil-dalil lain. Seperti hadits-hadits shalat Shubuh, karena sebagiannya menjelaskan bahwa shalat Shubuh dilakukan di waktu Ghalas, yaitu waktu gelap masih tersisa, dan sebagian hadits yang lain menjelaskan bahwa ia dilakukan diwaktu Isfar (waktu langit sudah mulai terang). Maka hadits-hadits tentang waktu Shubuh ketika Ghalas didukung/dikuatkan oleh keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ … { 133}

”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb kalian …” (QS. Ali ‘Imraan:133)

Seperti perbedaan dalam waqafnya (waqf/mauquf, yaitu hadits yang penyandarannya hanya sampai kepada Tabi’in) salah satu hadits kepada perawi, sedangkan hadits yang lain disepakati rafa’nya (rafa’/marfu’, yaitu hadits yang penyandarannya sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam)

Dan seperti jika perawi dari salah satu dari kedua riwayat tersebut telah dinukil darinya riwayat yang berbeda, sehingga terjadilah kontradiksi pada kedua riwayatnya, dan riwayat yang lain muttashil (bersambung). Maka riwayat yang muttashil lebih didahulukan, karena telah disepakati bahwa ia adalah hujjah, sedangkan ia (yang tidak muttashil) masih diperselisihkan kehujahannya.

2. Di antaranya adalah banyaknya dalil. Maka khabar (hadits) yang didukung/dikuatkan dengan dalil-dalil yang banyak didahulukan di atas hadits yang dikuatkan dengan dalil yang lebih sedikit.

3. Di antaranya adalah ketika matan hadits (isi hadits) tersebut berupa Qaul (perkataan/ucapan), maka ia (ucapan) didahulukan di atas Fi’il (perbuatan), sebagaimana perbuatan didahulukan di atas Taqrir (persetujuan/ketetapan).

Dan ucapan lebih didahulukan (lebih kuat) dibandingkan perbuatan dikarenakan adanya kemungkian bahwa perbuatan tersebut adalah kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan bisa difahami dari hal ini bahwa tidak setiap ucapan didahulukan (lebih kuat), akan tetapi ucapan/perkataan tersebut dimungkinkan sebagai sebuah kekhususan maka ia tidak didahulukan/dikuatkan atas perbuatan.

4. Di antaranya adalah Fashahah (kefasihan). Maka khabar (hadits) yang fasih lebih didahulukan di atas yang tidak fasih, dikarenakan teradapat kepastian bahwa khabar yang tidak fasih diriwayatkan dengan makna (bukan dengan lafazhnya). Hal itu karena kefasihan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidak dijadikan pertimbangan (bahan acuan) adanya tambahan dalam kefasihan, artinya tidaklah didahulukan khabar yang lebih fasih atas khabar yang fasih. Dan ada yang mengatakan bahwa ia (yang lebih fasih) didahulukan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang Arab yang paling fasih, maka sangat jauh kemungkinannya kalau ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan bahasa yang bukan paling fasih. Maka dengan demikian riwayat dengan bahasa Arab fasih adalah riwayat dengan makna, dan mungkin terjadi kekeliruan/cacat di dalamnya. Dan pendapat ini dijawab bahwasanya ucapan beliau dengan bahasa yang bukan paling fasih tetap dianggap/diperhitungkan, karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengajak bicara orang-orang Arab dengan bahasa mereka.

5. Di antaranya adalah adanya tambahan. Maka khabar (hadits) yang ada tambahannya didahulukan atas hadits yang selainnya (tidak ada tambahan), karena di dalamnya ada tambahan ilmu (pengetahuan), seperti khabar (hadits) tentang takbir pada shalat ‘Ied sebanyak tujuh kali dengan khabar tentang takbir pada shalat tersebut dengan jumlah empat kali takbir, berbeda dengan pendapat ulama yang mengedapankan jumlah (takbir) yang sedikit, seperti madzhab Hanafiyyah.

6. Di antaranya adalah datangnya salah satu khabar (hadits) yang menggambarkan ketinggian kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan kekuatan beliau, sedangkan khabar yang lain menunjukkan (menggambarkan) kelemahan dan ketidak berdayaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka hadits-hadits yang mengisyaratkan adanya ketinggian kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam didahulukan atas selainnya, karena dengan perasaan akan tingginya kedudukan beliau diketahui bahwa hal itu adalah kondisi yang terakhir dari kehidupan beliau.

7. Di antaranya adalah bahwa khabar tersebut mengandung kisah yang terkenal. Maka hal itu didahulukan atas hadits yang mengandung kisah yang samar. Karena dalam kisah yang terkenal jauh sekali kemungkian terjadinya kedustaan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh al-Qaraafi rahimahullah .

8. Di antaranya adalah penyebutan sebab. Maka khabar yang disebutkan di dalamnya sebab (sebab munculnya hadits tersebut) maka didahulukan atas hadits yang tidak demikian. Hal itu dikarenakan dalam hadits yang disebutkan teradapat perhatian perawi pertama dengan sebab tersebut, dan perhatiannya itu adalah bukti kesempurnaan kecermatan dan ketelitiannya terhadap riwayat yang ia sampaikan, karena hal itu biasanya memiliki pengaruh terhadapnya.

Dan juga bahwasanya pengetahuan tentang sebab munculnya suatu hadits membantu dalam memahami maksud hadits tersebut. Dan oleh sebab itu para ahli Tafsir memberikan perhatian terhadap penyebutan Asbabu Nuzulil Ayat (sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an)

9. Dan di antaranya adalah bahwa salah satu hadits (dari kedua hadits yang kontradiksi) diriwayatkan oleh perawinya dari seorang syaikh (guru) perempuan tanpa hijab (tabir penghalang), sedangkan hadits yang kedua diriwayatkan dari balik hijab. Seperti didahulukannya riwayat al-Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Barirah radhiyallahu ‘anha dimerdekakan ketika suaminya masih dalam keadaan sebagai budak atas riwayat al-Aswad bin Yazid dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya ia (suami Barirah) dalam keadaan merdeka (ketika Barirah dimerdekakan). Karena al-Qasim adalah mahram bagi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha karena beliau adalah bibinya, maka ia (al-Qasim) mendengar dari beliau tanpa hijab, berbeda halnya dengan al-Aswad.

10. Di antaranya adalah bahwa khabar Madaniy (hadits Madaniy) didahulukan atas khabar Makkiy, dikarenakan khabar Madaniy lebih belakangan dibandingkan khabar Makiy. Dan sudah diketahui bersama bahwa khabar Madaniy adalah apa-apa yang diriwayatkan setelah hijrah dan Makiy adalah yang diriwayatkan sebelum hijrah. Maka Madaniy mencakup apa-apa yang datang/diucapkan (oleh Nabi) setelah keluarnya beliau dari Mekah dan sebelum sampai di Madinah dalam perjalanan hijrah.

Dan ini adalah istilah yang masyhur dalam masalah al-Madaniy dan al-Makiy. Oleh sebab itu telah masyhur di kalangan mereka (ahli Tafsir) tentang ayat:


إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآَنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ … (85)

”Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali…” (QS. Al-Qashash: 85)

Bahwasanya ia adalah ayat Madaniyah, padahal ia turun di Juhfah, dalam perjalanan hijrah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana oleh banyak ahli tafsir.

11. Di antaranya adalah adanya ancaman. Maka khabar yang berisi ancaman dan sesuatu yang menakut-nakuti di dahulukan atas khabar yang tidak seperti itu. Sebagian mereka memberikan contoh dengan hadits ‘Ammar radhiyallahu ‘anhu:

من صام يوم الشك فقد عصى أبا القاسم صلى الله عليه وسلم

”Barang siapa yang berpuasa pada hari yang meragukan (masuk atau belum bulan Ramadhan), maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abal Qasim (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Maka dalam hadits di atas ada ancaman bagi yang berpuasa pada hari yang meragukan, dan bahwasanya hal itu sebuah kemaksiatan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka hadits ini didahulukan atas hadits-hadits yang memberikan anjuran untuk berpuasa sunnah (secara umum).

Jika ada yang berkata:”Ancaman yang disebutkan adalah berasal dari perkataan perawi, maka ia bukan Tarjih dari sisi matan.” Maka dijawab bahwasanya hukum perkataan tersebut adalah hukum rafa’ (perkataan yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), karena tidak bisa dikatakan kalau perkataan (ancaman) tersebut datang dari perawi. Memang benar, seseorang yang ingin mengkaji masalah ini bisa mengatakan”Dalam pemberian contoh yang disebutkan di atas terdapat keganjilan, karena ia termasuk dalam masalah pendahuluan (mengedepankan) nash yang khusus atas nash yang umum, sehingga tidak ada kontradiksi sama sekali (antara keduanya).” Dan mungkin dapat dijawab, bahwasanya nash yang khusus hanyalah dirajihkan/dikuatkan atas nash yang umum pada kekhususan yang tidak saling kontradiksi saja. Wallahu A’lam.

12. Di antaranya adalah tidak adanya takhshish (pengkhususan). Maka nash yang umum yang tidak ditakhshish didahulukan atas nash umum yang ditakhshish. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama ahli Ushul fiqih. Asy-Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah berkata, ”Aku tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal ini, selain Shofiyuddin al-Hindi dan as-Subki”

Dan Mafhum Muwafaqah didahulukan atas Mafhum Mukhalafah menurut pendapat yang shahih, karenanya lemahnya Mahfum Mukhalafah dalam masalah khilaf tentang kehujahannya, sebagaimana penjelasan yang lalu. Dan janggal/asing pendapat yang mengatakan bahwa Mafhum Mukhalaf didahulukan. Dan tidak samar lagi lemahnya pendapat tersebut dan jauhnya dari kebenaran.

Sisi Yang Ketiga Dalam Masalah Tarjih

Men-Tarjih dengan faktor luar, Asy-Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah menyebutkan beberapa faktor di antaranya:

1. Didahulukan nash yang berisi (menunjukkan) larangan atas nash/dalil yang menunjukkan pembolehan. Dan alasan mendahulukan nash yang melarang atas nash yang membolehkan adalah dikarenakan meninggalkan sesuatu yang mubah (boleh) lebih ringan jika dibandingkan dengan melakukan hal yang diharamkan.

Dan sebagian ahli Ushul fiqih menambahkan, bahwasanya khabar/hadits yang menunjukkan perintah didahulukan atas nash yang berisi pembolehan. Alasannya adalah kehati-hatian supaya keluar/terbebas dari permintaan/beban (karena perintah adalah sebuah permintaan). Karena jika hal tersebut dia lakukan, dan ternyata hukumnya boleh berarti dia telah melakukan sesuatu yang boleh, namun jika ia meninggalkan perbuatan tersebut dan ternyata hal itu adalah perintah berarti dia telah meninggalkan suatu perintah. Maka dengan melakukan perbuatan tersebut dia lebih selamat dan lebih berhati-hati.

Dan bahwasanya khabar yang menunjukkan larangan didahulukan atas khabar yang menunjukkan perintah. Alasannya menurut mereka adalah bahwasanya menolak mafsadat lebih didahulukan daripada mendatangkan maslahat. Dan di antara contohnya adalah tidak melakukan sholat tahiyatul Masjid ketika masuk masjid pada waktu-waktu yang dilarang sholat (dan dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan Ulama, ed).

2. Ketika salah satu khabar/nash memindahkan (merubah) hukum asal. Contohnya adalah antara hadits:

“من مس ذكره فليتوضأ

 ”Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu.” (HR. Ahmad: 6/406 dan 407, Abu Daud no. 181, At-Tirmidzi no. 82, An-Nasa`i no. 163, dan Ibnu Majah no. 479 dan dishahihkan oleh Imam at-Tirmidzi rahimahullah) dengan hadits:


” وهل هو إلا بضعة منك”

”Dan bukankah ia (kemaluan tersebut) hanyalah bagian dari tubuhmu?” (HR. Imam Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud dll, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban rahimahullah)

Bahwasanya hadits yang terakhir ini (kedua) menafikan (menolak) wajibnya wudhu, yang hal itu sesuai dengan bara’ah ashliyah (hukum asal yang menunjukkan bahwa seseorang pada asalnya tidak dikenai beban/taklif), sedangkan khabar yang mewajibkan wudhu merubah/memindahkannya dari hukum asal (sehingga mereka berpendapat batalnya wudhu dengan menyentuh kemaluan). Dan sebagian mereka (ulama) berpendapat yang sebaliknya, sehingga mereka merajihkan hukum asal dengan bara’ah ashliyah (sehingga mereka mengatakan bahwa wudhu tidak batal dengan menyentuh kemaluan) dan yang masyhur di kalangan ahli ushul fiqih adalah pendapat yang pertama.

3. Demikian juga riwayat yang menetapkan sesuatu didahulukan atas riwayat yang menafikan (menolak). Seperti hadits antara yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di dalam Ka’bah dengan hadits yang menunjukkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak shalat di dalamnya. Dan juga antara hadits yang menyatakan bahawa orang-orang yang haji Tamattu’ bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka melakukan Sa’i untuk haji mereka dan Sa’i untuk umrah mereka dengan hadits yang menyatakan bahwa mereka hanya melakukan satu Sa’i saja, yaitu Sa’i untuk umrah di awal saja dan tidak Sa’i untuk haji mereka.

Dan yang zhahir (nampak) adalah bahwasanya khabar yang menetapkan dan yang menafikan, apabila riwayat keduanya dalam satu kejadian tertentu dan waktu tertentu, maka keduanya kontradiksi. Maka jika salah satunya mengatakan:”Aku memasuki Ka’bah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pada waktu ini (waktu tertentu), dan aku tidak berpisah dengan beliau, dan beliau tidak pernah lepas dari pandanganku, hingga beliau keluar darinya (Ka’bah) dan beliau tidak shalat di dalamnya.” Dan yang lain mengatakan:”Aku melihat beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) pada waktu itu (waktu yang sama dengan yang diceritakan oleh yang pertama) shalat di dalamnya.” Maka keduanya saling bertentangan, sehingga dicari/dilakukan Tarjih dari sisi yang lain (faktor penguat yang lain). Wallahu A’lam.

Dan ini yang lebih tepat dibandingkan pendapat yang mengatakan didahulukan khabar yang menunjukkan penetapan secara mutlak, ataupun yang mendahulukan khabar yang menunjukkan penafian. Dan alasan yang mendahulukan riwayat yang menetapkan adalah dikarenakan ia memiliki tambahan ilmu (pengetahuan) yang tidak diketahui oleh orang lain. Dan anda telah mengetahui bahwasanya hal tersebut bukan suatu keniscayaan pada setiap gambaran/kejadian di antara kejadian-kejadian yang kami sebutkan tadi. Wallahu A’lam bish Shawaab

(Sumber: مختلف الحديث وطرق الترجيح بينها  dari http: www.forsanelhaq.com/showthread.php?t=164969)