Pada pembahasan yang lalu telah kami jelaskan tentang pengertian hadits Mukhtalaf dan macam-macamnya. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas tentang tatacara men-tarjih (menguatkan/memilih yang terkuat dari dua hadits yang bertentangan).

Mukhtalaful Hadits adalah datangnya dua hadits yang maknanya bertentangan (kontradiksi) secara zhahir (makna yang sekilas nampak), lalu keduanya dikaji dan dipadukan atau ditarjih (dihukumi lebih kuat) salah satunya dibandingkan yang lain atau yang lainnya.

Dan sebenarnya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat yang lain, antara ayat dengan hadits shahih dan antara satu hadits shahih yang satu dengan yang lain. Akan tetapi kontradiksi yang terkadang nampak antara nash-nash tersebut adalah kontradiksi secara zhahir (lahiriyah) saja, bukan kontradiksi yang sebenarnya, karena semuanya, baik dari ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan jika kenyataannya demikian, maka sesungguhnya syari’at ini tidak saling berentangan, dan satu nash tidak bertentangan dengan nash yang lain. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:


… وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًا {82}

”Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisaa’: 82)

Tatacara men-tarjih (memilih yang terkuat) di antara beberapa nash yang saling kontradiksi

Tarjih terhadap hadits-hadits yang secara zhahirnya kontradiksi bisa dilakukan dari tiga sisi:

1. Sisi yang pertama adalah yang berkaitan dengan sanad

2. Sisi yang kedua adalah yang berkaitan dengan matan (teks hadits)

3. Sisi yang pertama adalah yang berkaitan dengan faktor luar (selain sanad dan matan)

Adapun yang pertama, yaitu mentarjih dengan melihat sanad, maka bisa dengan beberapa pertimbangan:

1. Mentarjih dengan banyaknya riwayat.

2. Mentarjih dengan tsiqahnya (kredibilitas) perawi, kecermatan dan sedikitnya kekeliruan dalam meriwayatkan hadits.

3. Mentarjih dengan melihat sikap wara’ (sikap meninggalkan hal-hal yang bisa membahayakan agamanya), dan ketakwaan yang dimiliki perawi, dikarenakan kehati-hatiannya. Maka riwayatnya didahulukan dibandingkan perawi yang lebih rendah tingkatan wara’ dan ketakwaannya.

4. Mentarjih hadits yang perawinya adalah pemilik kisah (Shahibul Qisah) atau pelaku kejadian dalam hadits tersebut, seperti hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahinya dalam keadaan halal (tidak dalam keadaan muhrim).

5.Mentarjih hadits yang perawinya adalah orang yang bersinggungan langsung dengan suatu kisah/kejadian yang disebutkan dalam hadits tersebut. Seperti hadits Abi Rafi’ radhiyallahu ‘anhu tentang pernikahan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Maimunah pada hadits di atas. Karena dia (Abu Rafi’) adalah perantara (comblang) antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Maimunah radhiyallahu ‘anha. Maka keduanya, yaitu Maimunah Shahibul Qisah dan pelaku langsung dalam kisah tersebuat yaitu Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu menguatkan hadits tersebut di atas hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah sedangkan Nabi dalam keadaan muhrim.

Dan para ulama Ahli Ushul Fiqh di dalam mentarjih suatu hadits dari sisi sanad memiliki pertimbangan yang banyak, di antaranya;Tingginya sanad, maka sanad yang lebih tinggi (lebih sedikit jumlah perawinya yang) didahulukan dibandingkan sanad yang lain, karena sedikitnya perantara (perawi) antara Mujtahid (ulama) dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih kuat dibandingkan yang lebih banyak jumlahnya, karena sedikitnya perantara (perawi) secaar otomatis memperkecil kemungkinan lupa, kesamaran, tambahan dan pengurangan yang dilakukan oleh para perantara (perawi) tersebut.

Di antaranya Selamatnya perawi dari bid’ah, maka perawi yang bukan ahli bid’ah lebih kuat (rajih) dibandingkan perawi yang merupakan ahli bid’ah.

Di antaranya Pemahamannya dalam bidang yang berkaitan dengan hadits yang diriwayatkan, maka perawi yang lebih faqih (lebih paham) dalam masalah jual beli misalnya lebih didahulukan haditsnya dibandingkan perawi yang tidak faqih dalam masalah tersebut. Demikian juga didahulukan riwayat perawi yang lebih faqih atas yang lainnya. Oleh sebab itu para ulama madzhab Malikiyah mengatakan bahwa didahulukan khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dalam masalah Haji atas khabar yang diriwayatkan oleh Ibnul Qasim dalam masalah tersebut, karena dia (Ibnu Wahb) lebih faqih (dibandingkan Ibnul Qasim) dalam masalah tersebut, sekalipun Ibnul Qasim lebih faqih dibandingkan Ibnu Wahb dalam bidang fiqh yang lain.

Menurut mereka (ahlu Ushul Fiqh) didahulukan perawi yang mengetahui bahasa Arab atas perawi yang tidak mengetahui, yang mengetahui ilmu Nahwu (tatabahasa Arab) didahulukan atas yang tidak mengetahuinya, karena kesalahan dari keduanya (ahli Bahasa Arab dan ahli Nahwu) dalam memahami maksud sebuah ucapan (hadits) lebih sedkit. Dan didahulukan riwayat orang yang cerdas atas perawi yang lebih rendah kecerdasannya.

Dan didahulukan perawi yang terkenal dengan ‘Adalah (keadilan) atas perawi yang dinyatakan adil dengan rekomendasi

Dan didahulukan perawi yang direkomendasikan oleh seorang Mujtahid dengan mengujinya langsung atas perawi yang direkomendasikan hanya berdasarkan berita yang dia dengar, karena pengetahuan lewat berita tidak sama dengan pengetahuan dengan melihat langsung.

Dan didahulukan perawi yang direkomendasikan dengan rekomendasi yang tegas atas perawi yang direkomendasikan dengan rekomendasi yang tersirat, seperti berhukum dengan kesaksiannya (kesaksian perawi yang direkomendasikan) dan beramal dengan riwayatnya.

Dan didahulukan perawi yang direkomendasikan oleh banyak ulama atas perawi yang direkomendasikan dengan oleh satu orang ulama

Dan didahulukan perawi yang tidak Mudallis atas perawi yang Mudallis (menyamarkan sesuatu dalam meriwayatkan hadits)

Dan didahulukan seorang hafizh (yang

Dan menurut mereka perawi laki-laki didahulukan atas perawi perempuan, kecuali jika diketahui bahwa ia (perawi perempuan) lebih kuat hafalannya. Demikian juga dia adalah pelaku kisah (kejadian), maka ia didahulukan atas perawi laki-laki. Sebagian mereka bekata:”Perawi perempuan dan laki-laki sama, dan ia (laki-laki) tidak didahulukan atas perempuan kecuali dengan sesuatu yang menjadikan perawi laki-laki didahulukan dari perawi laki-laki yang lain.” Dan sebagian yang lain memperinci dan mengatakan:”Didahulukan riwayat laki-laki pada selain hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita, berbeda dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan mereka seperti haidh, dan ‘Iddah, maka riwayat mereka dikuatkan atas laki-laki, karena mereka (para perempuan) lebih menguasai permasalahan itu”.

Dan didahulukan perawi yang riwayat haditsnya lebih jelas dalam memberikan faidah hadits yang diriwayatkan atas perawi yang dalam riwayatnya ada kesamaran seperti hadits yang masih global. Oleh sebab itu didahulukan perawi yang mengambil hadits dengan mendengar langsung dari gurunya atas perawi yang mengambil hadits dengan Ijazah (izin/pembolehan untuk meriwayatkan). Karena mendengar lebih jelas, gamblang dan terperinci dibandingkan ijazah yang bersifat global (garis besar)

Dan didahulukan riwayat perawi yang mukallaf (yang sudah baligh dan berakal) saat mengambil (mendapatkan) hadits atas perawi yang masih kecil (belum baligh) ketika mengambil hadits, dan keduanya menyampaikan hadits tersebut setelah ia baligh

Dan didahulukan perawi hadits yang meriwayatkan dengan lafazh (teksnya) atas perawi yang meriwayatkan hadits dengan makna (bukan secara tekstual) disebabkan selamatnya (terhindarnya) hadits yang diriwayatkan dengan lafazhnya dari kemungkinan terjadinya cacat atau kekeliruan.

Dan didahulukan hadits yang guru si perawi tidak mengingkari hadits yang ia sampaikan kepada atas hadits yang guru si perawi mengingkari dan menyangkal bahwa si perawi pernah mendengarkan hadits tersebut dari guru tersebut, sekalipun kami mengatakan bahwa pengingkaran/penyangkalan guru tersebut sebenarnya tidak berpengaruh negatif pada hadits tersebut.

Dan didahulukan hadits yang ada dalam ash-Shahihain atau salah satunya atas hadits-hadits yang tidak ada dalam keduanya. Dan lain-lain.

Dan kebanyakan di antara faktor penguat yang berkaitan dengan sanad yang telah disebutkan di atas, tidak lepas dari perbedaan pendapat. Akan tetapi semuanya memiliki sisi kebenaran.

Dan untuk menerapkan metode di atas seseorang harus mengumpulkan seluruh jalur hadits-hadits yang seolah-seolah bertentangan tersebut, lalau mengkaji para perawinya dengan melihat ke kutub Rijal (kitab tentang biograi perawi-perawi hadits) kemudian melihat komentar (kritik ataupun rekomendasi) mereka terhadap para perawi yang ada dalam sanad-sanad tersebut. sehingga dengan demikian ia bisa menerapkan metode/cara di atas. Wallahu A’lam. Bersambung Insyaa Allah…..

(Sumber:مختلف الحديث وطرق الترجيح بينها dari http://www.forsanelhaq.com/showthread.php?t=164969. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)