Manusia tidak hanya memiliki kebutuhan materi yang harus dipenuhi, lebih dari itu dia juga memiliki kebutuhan non materi atau kebutuhan jiwa yang juga menuntut untuk dipenuhi, bila kedua kebutuhan ini tidak dipenuhi maka manusia akan merasa lapar, sebuah rasa yang memberikan sinyal kepada pemiliknya agar segera mengangkatnya dengan memenuhi kebutuhan tersebut.

Istri sebagai manusia, keadaan hidupnya juga demikian, dia memerlukan nafkah lahir mencakup makan, pakaian dan tempat tinggal, tidak sebatas ini saja, dia juga memerlukan nafkah batin, karena

Pertama: Sebagai manusia, istri memiliki kebuthan yang sama dengan manusia lainnya, yaitu kebutuhan materi dan kebutuhan jiwa, kebutuhan lahir dan batin, dan keduanya sama-sama menuntut pemenuhan, bila salah satu saja yang dipenuhi maka yang bersangkutan akan oleng, ibarat burung yang salah satu sayapnya patah.

Kedua: Tidak hanya laki-laki saja yang berhasrat kepada wanita, akan tetapi wanita juga berhasrat kepada laki-laki dan di antara tujuan menikah adalah menjaga pelakunya dari perbuatan hewani yang bertentangan dengan fitrah luhur manusia dengan terpenuhinya sisi kebutuhan ini, dan dalam masalah ini istri tidaklah berbeda dengan suami, bila suami mendapatkan pemenuhan hajatnya dari istri, maka demikian juga dengan istri, sehingga dengan itu seorang suami dan seorang istri merasa sudah tercukupi dengan halal, maka tidak akan lagi menengok kepada yang haram.

Dari sini maka di antara hak istri dalam pernikahan adalah berhubungan suami istri, tidak sebatas sebagai kenikmatan halal, ia juga merupakan kewajiban kedua belah pihak sekaligus hak kedua belah pihak secara seimbang. Bila seorang istri dilarang menolak ajakan suami dan dilarang untuk shaum sunnah tanpa izin suami, hal itu demi menjaga hak suami, maka demikian juga dengan suami, dia diperintahkan agar bermu’asyarah kepada istri bil ma’ruf, dan di antara konsekuensinya adalah memberikan hak kenikmatan dalam kehidupan pernikahan.

Saat suami hendak mendatangi istrinya, dianjurkan untuk melakukan percumbuan, dalam rangka memenuhi kebutuhannya secara seimbang, dalam salah satu hadits Jabir saat dia menikah dengan janda, Rasulullah bersabda, “Ada apa denganmu dengan anak gadis? Apakah kamu tidak menyukai ludahnya?” Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 5080. Maksud menyukai ludahnya adalah mencumbunya, karena hal itu terjadi saat suami mencium istri di bibirnya dan menghisab lidahnya, maka ludah keduanya bertemu, jadi hadits ini menunjukkan dianjurkannya bercumbu sebelum melakukan.

Saat suami hendak mengulang hubungan, dia dianjurkan untuk berwudhu atau mandi, alasannya karena wudhu atau mandi memberikan kekuatan baru, karena bagaimana pun kekuatan suami sudah menurun selesai ronde pertama, maka pada ronde kedua suami memerlukan kekuatan baru dengan wudhu atau mandi untuk memberikan yang terbaik kepada istri.
Dalam Shahih Muslim no. 308 Rasulullah bersabda, “Bila salah seorang dari kalian telah mendatangi keluarganya dan dia hendak mengulang maka hendaknya dia berwudhu.”

Termasuk dalam rangka memenuhi kebutuhan batin istri apa yang disebutkan oleh para fuqaha` terkait dengan ‘azl, membuang sperma di luar, mereka menyatakan bahwa hal ini dibolehkan, karena ada dalil-dalil yang memang membolehkannya, namun mereka menetapkan salah satu syaratnya yaitu atas izin istri, mereka memberikan alasan karena istri berhak mendapatkan kenikmatan dari siraman suami kepadanya, bila siraman ini dibuang di luar maka hal itu mengurangi kenikmatan istri.

Termasuk dalam hal ini adalah larangan suami berila`, bersumpah tidak menggauli istrinya, karena hal ini melenyapkan hak batin istri. Bila suami melakukan ini maka temponya adalah empat bulan, selepas itu maka dia diminta kembali, dalam arti menggauli istrinya atau mentalaknya, hal ini demi apa? Menjaga hak batin istri, lha siapa kuat dianggurkan selama empat bulan?

Allah berfirman,artinya, “Orang-orang yang berila` terhadap istrinya diberi tempo empat bulan, bila mereka kembali [maksudnya menggauli istrinya] maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka bertekad untuk mentalak maka sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” Al-Baqarah; 226-227.

Diizinkannya suami istri melakukan hubungan dalam posisi apa pun selama istri tidak sedang haid dan hal itu dilakukan pada kelamin, termasuk melepaskan semua busana keduanya, lalu keduanya saling melihat dan memandang, Allah berfirman,artinya, “Istri-istri kalian adalah tempat bercocok tanam bagimu maka datangilah tempat itu bagaimana saja kamu kehendaki.” Al-Baqarah: 223, hal ini tidak sebatas demi suami tetapi demi istri juga, artinya bila suami misalnya menyukai variasi posisi berhubungan intim, lalu apa istri tidak atau tidak boleh? Satu posisi terus menerus bisa jadi membosankan, kalau suami bisa bosan, apakah istri tidak bisa?

Suami tidak diperkenankan menganggurkan istrinya begitu saja dan tidak menyentuhnya sekalipun dengan alasan sibuk beribadah, puasa dan shalat malam, apalagi alasan sibuk bekerja atau sibuk lainnya, karena dengan itu dia telah memenuhi satu hak tetapi melalaikan hak yang lain, padahal diri punya hak, dua mata punyai hak, istri punya hak dan tamu punya hak, maka “Berikanlah hak kepada setiap pemiliknya.” Sabda Nabi kepada Abdullah bin Amru sebagaimana dalam ash-Shahihain.

Bila suami memiliki ketidakmampuan di bidang ini karena sakit atau lainnya, maka istri memiliki hak untuk meminta talak, sebab dalam kondisi ini hak istri tidak terpenuhi oleh suami, sehingga dia berhak mencari hak tersebut pada suami lain yang memberikannya. Dalam buku-buku fikih disebutkan pembahasan tentang aib-aib yang karenanya pernikahan difasakh, salah satunya adalah faskhun nikah bil unnah, dibatalkannya pernikahan karena suami impoten, diriwayatkan dari Umar dan beberapa sahabat bahwa mereka memberikan tempo satu tahun bagi suami impoten, bila selama itu masih demikian maka istri berhak meminta pisah darinya.

Dari keterangan-keterangan di atas bisa disimpulkan bahwa hak nafkah batin bagi istri tidak kalah kuat dengan hak nafkah lahir, istri yang hanya dinafkahi lahirnya saja adalah istri yang tergantung, karena hanya separuh hajatnya yang terpenuhi, padahal membiarkan istri tergantung tercakup dalam firman Allah, “Fa tadzaruha kal mu’allaqah.” An-Nisa`: 129. Wallahu a’lam. Izzudin.