nikah syighar & muhallilNikah Syighar

Seorang wali menikahkan wanita yang berada dalam perwaliannya dengan orang lain dengan syarat orang lain tersebut menikahkannya dengan wanita yang berada dalam perwaliannya, baik dengan mahar atau tanpa mahar. Misalnya, Amru berkata kepada Zaid, “Saya menikahkan kamu dengan saudara perempuanku dengan syarat kamu menikahkan aku dengan anak perempuanmu.”

Para ulama sepakat pernikahan ini haram, jumhur (mayoritas) dari mereka berkata sekaligus batal, berdasarkan ucapan Jabir, “Rasulullah melarang syighar.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Abu Hurairah berkata, “Syighar adalah seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain, ‘Nikahkan aku dengan putrimu dan aku menikahkan kamu dengan putriku.’ Atau nikahkan aku dengan saudara perempuanmu dan aku menikahkan kamu dengan saudara perempuanku.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Pernikahan ini merampas hak wanita dalam memilih suaminya bila pernikahan dengan mahar, bila tanpa mahar maka ia merampas maharnya. 

Nikah Muhallil

Seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang ditalak suaminya dengan talak tiga agar wanita tersebut halal (bisa dinikahi kembali) oleh suami yang mentalaknya. Ibnu Mas’ud berkata, “Rasulullah melaknat muhill dan muhallal lahu.” Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dan Said bin Manshur dengan sanad shahih.

Pernikahan ini haram dan batal, baik disyaratkan atau tidak disyaratkan akan tetapi diniatkan, pernikahan tetap tidak sah, dan pertimbangan batal atau sahnya pernikahan adalah syarat atau niat suami baru, (suami kedua).

Adapun suami lama atau istri, maka niatnya tidak dipertimbangkan, karena suami lama tidak memiliki hak sedikit pun dalam akad yang baru, istri juga tidak memiliki kewenangan, karena hak talak bukan di tangannya, tetapi di tangan suaminya yang baru.

Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits istri Rifa’ah al-Qurazhi, dia berkata kepada Rasulullah, “Rasulullah, Rifa’ah mentalakku secara putus, lalu sesudahnya aku menikah dengan Abdurrahman bin az-Zubair, tetapi punya Abdurrahman hanya seperti ujung baju.” Nabi bertanya, “Kamu ingin kembali kepada Rifa’ah? Tidak bisa, sebelum dia mencicipi madumu dan kamu mencicipi madunya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Dalam hadits ini Nabi tidak mempertimbangkan niat dan keinginan wanita ini.

Suami baru tidak lepas dari dua kemungkinan.

Pertama: Berniat menghalalkan istri untuk suaminya yang pertama, baik dengan permintaan atau inisiatif sendiri, maka pernikahannya batal dan dia dilaknat.

Kedua: Suami pertama mensyaratkan tahlil atasnya tetapi dia tidak menerima syarat tersebut, sebaliknya dia berniat menikah secara benar, maka pernikahannya sah.

Jadi suami bisa menikahi istri yang sudah ditakaknya dengan talak tiga dengan syarat: Istri menikah dengan suami baru, pernikahan yang sebenarnya bukan rekayasa, sudah terjadi hubungan suami istri dalam pernikahan ini, suami baru mentalak istri, dalam masa idaah dia tidak merujuknya, bila demikian maka suami pertama bisa menikahi istri kembali. Wallahu a’lam.