nusyuzKata ini dari kata an-nasyzu yang berarti tempat tinggi. Maksudnya adalah kedurhakaan istri terhadap suami dalam urusan di mana dia diwajibkan menaatinya. 

Definisi ini mengandung dua sisi: Pertama, kedurhakaan istri terhadap hak suami, dengan catatan suami tidak rela terhadapnya, karena ia menyangkut haknya. Kedua, dalam urusan di mana dia diwajibkan menaatinya, artinya bila istri menolak ajakan suami saat dia haid, maka ia bukan nusyuz.

Allah berfirman,

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا [النساء : 34]

Istri-istri yang kamu khawatirkan nusyuz mereka, nasihatilah mereka, tinggalkanlah di tempat tidur dan pukullah mereka, bila mereka telah menaatimu maka jangan mencari alasan untuk menyusahkan mereka.” An-Nisa`: 34.

Ayat ini menunjukkan bahwa nusyuz istri haram, karena perintah menasihatinya menunjukkan bahwa dia melakukan kesalahan.

Mengatasi Nusyuz

Bila tanda-tanda nusyuz terlihat, misalnya istri menunaikan hak suami dengan terpaksa dan malas-malasan atau menampakkan wajah masam atau mengeluarkan kata-kata kasar, atau bahkan nusyuz sudah nampak padanya misalnya menolak ajakan suami atau memasukkan orang tanpa izin suami, maka suami melakukan:

Nasihat

Suami menasihatinya dengan baik dan lembut, mengingatkan besarnya kewajiban kepada suami dan besarnya pahala dalam menunaikannya, bahwa mematuhi suami adalah perintah Allah, menjelaskan bahwa salah satu sifat wanita shalihah adalah ketaatan kepada suami, memperingatkannya terhadap ancaman mendurhakai suami yang otomatis mendurhakai Allah dan RasulNya. Bila cara ini berhasil, bila tidak maka,

Hajr

Para ulama memiliki beberapa tafsir tentang maksud hajr. Ada yang berkata, tidak menggaulinya. Ada yang berkata, tetap menggaulinya tetapi tanpa mengajaknya berbicara. Ada yang berkata, tidak menggaulinya saat istri berhasrat. Yang shahih adalah meninggalkannya dengan cara yang menurut dugaan suami istri menyadari.

Namun hendaknya hajr ini dilakukan di rumah, karena Rasulullah bersabda, “Dan jangan menghajrnya kecuali di rumah.” Hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan karena menghajrnya di luar rumah membuat benang tambah kusut.

Yang shahih tidak ada batas untuk hajr ini, karena prinsipnya adalah kebutuhan demi menyadarkan istri, bila tujuan sudah terwujud maka tidak diperlukan lagi. Namun bila hajrnya dengan mendiamkan, tidak mengajak berbicara dan tidak menjawab pembicaraan, maka para ulama berbeda pendapat apakah ada batasnya? Jumhur berkata tidak lebih dari tiga hari berdasarkan hadits, “Tidak halal bagi seorang muslim menghajr saudaranya lebih dari tiga hari.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Memukul

Cara ini adalah cara terakhir, karena akhirud dawa` al-kay, pengobatan terakhir adalah besi panas. Dilakukan dengan ketentuan:

Pertama, dua cara pertama sudah dilakukan dan tidak berhasil, sesuai dengan petunjuk ayat.

Kedua, tujuan dari cara ini adalah menyadarkan bukan menyakiti, maka memukulnya tidak mematahkan dan tidak membekas.

Ketiga, tidak lebih dari sepuluh.

Keempat, bukan wajah dan bagian sensitif tubuh yang bisa mencelakakan.

Kelima, diharapkan menyadarkan, karena ia adalah cara, sebuah cara tidak dilakukan manakala tidak ada harapan terhadap hasilnya.

Islam dituduh sebagai agama pemboleh KDRT, alasan penuduh karena Islam membolehkan suami memukul istri.

Jawaban atas tuduhan ini.

Pertama: Buruknya pemahaman dan pengamalan sebagian suami yang memukul tanpa memperhatikan syarat-syarat, berarti kesalahan pada sebagian orang Islam dan bukan pada Islam.

Kedua: Memukul hanya dibolehkan dengan syarat-syarat di atas dan itu pun bukan merupakan keharusan.

Ketiga: Bila istri memang nusyuz dan dia adalah istri shalihah, maka memukul tidak diperlukan, karena nasihat sudah cukup menyadarkannya.

Kempat: Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam. Aisyah berkata, “Aku tak pernah melihat Rasulullah memukul pelayan dan wanita sekali pun, kecuali bila beliau berjihad di jalan Allah.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam mencela sifat Abu Jahm, beliau bersama kepada Fatimah binti Qais, “Kalau Abu Jahm, maka dia tidak menanggalkan tongkatnya dari pundaknya.” Diriwayatkan oleh Muslim. Wallahu a’lam.