Dari ‘Atha bin Abi Rabah rahimahullah berkata, “Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu  pernah berkata kepadaku, ‘Sudikah engkau jika kutunjukkan seorang wanita penghuni Surga?’ ‘Tentu!’ Jawabku. Ia berkata, ‘Wanita berkulit hitam ini, suatu ketika pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengatakan, ‘Sesungguhnya saya terkena penyakit ayan, dan aurat saya seringkali tersingkap, maka doakanlah saya!.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda:

إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ، وَلَكِ الْجَنَّةُ، وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ

 ‘Jika kamu mampu bersabar, bagimu Surga. Namun jika kamu ingin disembuhkan, maka aku akan berdoa kepada Allah agar menyembuhkanmu.’

Ia menjawab, ‘Saya akan bersabar. Akan tetapi aurat saya seringkali tersingkap (saat kambuh), sudilah paduka berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar auratku tidak tersingkap.’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mendoakannya.’” (HR. al-Bukhari no. 5328 dan Muslim no. 6736).

 

Sosok Jelita Penghuni Surga

Dalam redaksi lain, diketahui bahwa wanita tersebut bernama Su’airah(1) al-Asadiyah seorang wanita dari Habasyah (Ethiopia) yang memiliki panggilan Ummu Zufar. Beliau dahulunya adalah tukang sisir Ummul Mukminin Khadijah radhiyallahu ‘anha, yang acapkali datang mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah Khadijah wafat.(2)

Beliau disifati memiliki kulit hitam, dalam riwayat lain disebutkan bertubuh tinggi besar dan kekuning-kuningan(3), yang jika dikompromikan kemungkinan beliau memiliki kulit sawo matang yang mendekati hitam, atau boleh jadi orang Arab biasa mengungkapkan warna kulit hitam dengan warna kuning, sebagaimana mereka mengungkapkan warna putih dengan warna merah, itulah sebabnya kenapa ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha dipanggil dengan humaira.

Dalam hadits beliau juga disebut memiliki penyakit ayan, yang menurut Ibnu Hajar berdasarkan jalur-jalur periwayatannya disebabkan karena gangguan jin(4), sedangkan al-Bukhari memilih memberikan judul keutamaan orang yang terkena ayan karena angin (epilepsi), apapun sebabnya yang jelas dikarenakan musibah tersebut, wanita tadi berhak mendapatkan Surga, itulah kenapa sebagian ulama mengatakan bahwa ‘mengambil azimah(5) lebih baik daripada rukhsah’.

 

Malu Menampakkan Aurat Saat Kambuh

Meskipun berkulit hitam dan juga berusia tua, namun hal tersebut tidak menyurutkan rasa malu dalam diri seorang wanita penghuni Surga ini agar tetap menjaga auratnya, terlebih lagi hal tersebut ditunjang dengan penyakit beliau yang kerapkali kambuh, dimana dalam kondisi seperti ini terbukanya aurat adalah sesuatu yang dimaafkan di dalam syariat.

Dalam keadaan semacam ini, pada umumnya seorang lelaki tidaklah tertarik untuk melihat aurat, apalagi menikahi perempuan yang berkulit hitam, tua dan memiliki penyakit ayan, karena fitrah lelaki lebih cenderung untuk memilih yang putih dan cantik, itulah kenapa kulit yang putih disebut oleh Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha sebagai setengah daripada kecantikan.(6)

Namun demikian bagi wanita penghuni Surga, tertariknya seorang lelaki kepada dirinya bukanlah tujuan, namun tujuan utama mereka ialah agar meraih ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan rasa malu mereka ketika menampakkan aurat di depan lelaki adalah lebih besar dari keinginan bertubuh cantik, sehat dan bugar itu sendiri.

 

Rasa Malu Para Wanita Teladan

Cerita tentang rasa malu para wanita shalihah dalam menjaga aurat begitu banyak, berikut kami sebutkan diantaranya:

 

Rasa Malu Aisyah Radhiyallahu ‘Anha Terhadap Orang Mati

Ibunda kita Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menuturkan, “Dahulu setiap kali aku masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ayahku, maka aku melepaskan hijabku, dan saya katakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah suamiku sedang Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah ayahku. Namun tatkala Umar radhiyallahu ‘anhu ikut dikuburkan bersama mereka, maka demi Allah Subhanahu wa Ta’ala, aku tidak pernah sekalipun masuk kecuali dengan mengenakan hijab rapat, karena merasa malu kepada Umar Subhanahu wa Ta’ala (yang merupakan ajnabi).”(7)

 

Rasa Malu Fathimah Setelah Mati

Dari Ummu Ja’far radhiyallahu ‘anha berkata, “Fathimah binti Rasulullah radhiyallahu ‘anha suatu ketika pernah berkata, ‘Wahai Asma, sungguh aku tidak menyukai apa yang diperbuat bagi (jenazah) wanita yang diletakkan begitu saja (di atas keranda) dengan berbalut kafan yang membentuk badannya.’ Maka Asma radhiyallahu ‘anha menjawab, ‘Duhai Putri Rasulullah! Maukah Anda kuperlihatkan sebuah cara yang pernah aku lihat di negeri Habasyah.’

Maka ia pun mendatangkan pelepah kurma basah dan memancangkannya, kemudian menutupkan di atasnya sebuah kain (menjadi penutup keranda). Maka Fathimah berkata, ‘Alangkah bagusnya benda ini, yang bisa menjadi pembeda antara (jenazah) lelaki dan perempuan. Jika aku wafat nanti, tolong, kamu dan Ali yang memandikan jenazahku.’”(8)

 

Menyambut Mati Dengan Jilbab

Telah masyhur berita-berita di media sosial, bahwasanya para wanita shalihah Palestina tidur di malam hari dengan mengenakan hijab rapat di seluruh tubuhnya, agar ketika rumah mereka terkena bom barrel di malam hari, dan mereka meninggal dunia tertimpa reruntuhan rumah, maka mereka ingin agar kaum lelaki dari kaum Muslimin menemukan mereka dalam keadaan menutup aurat.

 

Oase Di Tengah Sahara

Demikianlah, potret rasa malu wanita shalihah, yang patut dijadikan teladan bagi para wanita di zaman ini. Rasa malu mereka bukan hanya muncul dalam keadaan sehat dan bernyawa saja, ataupun malu terhadap lelaki asing yang masih hidup, namun rasa malu mereka melebihi batasan itu, dan rasa malu seperti inilah yang akan mendatangkan kebaikan yang amat banyak dalam hidup bermasyarakat.

Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

الْحَيَاءُ لا يَأْتِي إِلا بِخَيْرٍ

“Rasa malu tidak datang kecuali disertai dengan kebaikan.”(9)

Akan tetapi sudah sunatullah, bahwa semakin bertambah hari maka keadaan moral manusia semakin bertambah buruk, sehingga wanita-wanita shalihah yang gigih menjaga auratnya di zaman ini benar-benar sedikit jumlah mereka, itulah sebabnya mengapa mereka dijuluki sebagai oase di tengah gersangnya sahara, dimana sosok wanita shalihah seperti merekalah yang dirindukan oleh setiap suami, yang akan menyejukan hati dan mengobati dahaga batin.

Jika rasa malu seperti ini hilang dalam diri para wanita, maka cepat atau lambat tatanan masyarakat akan mengalami kehancuran, perzinahan merajalela, stabilitas keamaanan tercabut, dan merebaknya berbagai macam musibah. Nas’alullahal ‘afiyah was salamah. Wallahu A’lam. (Abu Ukasyah Sapto B. Arisandi).

 

Footnote:

  1. Dalam redaksi lain beliau disebut bernama Suqairah dan Sukairah.
  2. Lihat Mir’atul Mafatih 5/269, Dalilul Falihin 1/204.
  3. Dalam Ma’rifatus Shahabah milik Abu Nu’aim, dari riwayat ‘Atha al-Khurasani.
  4. Lihat Fathul Bari 10/115.
  5. Hukum yang telah ditentukan oleh syariat namun dalam kondisi yang memberatkan bagi seorang manusia, semisal berpuasa dalam safar.
  6. Aisyah i berkata, “Kulit putih adalah setengah daripada kecantikan”. Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (4/396) dari Abdullah bin Ja’far.
  7. Ahmad, 52/137.
  8. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 4/34.
  9. HR. al-Bukhari no. 5652 dan Muslim no. 53.