Edisi Th. XVIII No. 865/ Jum`at lI/Rajab 1433 H/ 08 Juni 2012 M.

Di antara kemuliaan dan keagungan syariat Islam adalahkafalatul yatim (mengasuh anak yatim dan berbuat baik terhadap mereka).
Nabi Muhammad terlahir dalam keadaan yatim. Allah melindunginya, memberi petunjuk kepada beliau, dan memberi karunia rizki yang melimpah dari sisi-Nya. Allah berfirman, artinya, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (QS. adh-Dhuha:6-8)

Syariat yang mulia ini telah mengatur dan menjaga dengan berbagai cara dalam mengasuh dan memelihara anak yatim, memberikan hak-hak mereka, menjaga harta mereka dari orang yang tidak bertanggung jawab atau dimakan dengan cara yang batil.

Sesungguhnya al-Qur’an telah menjelaskan dengan begitu gamblang hal-hal yang mencakup aspek kehidupan anak yatim, sehingga mereka dapat menjadi salah satu individu yang dapat memperkokoh masyarakat muslim.

Siapakah yatim itu?
Kata “yatim” menurut bahasa adalah menyendiri dari segala sesuatu, yang membuat iba orang yang melihatnya. Yatim untuk manusia yaitu seseorang yang kehilangan/ditinggal wafat oleh ayahnya. Sedang yatim untuk hewan adalah, ditinggal mati oleh ibunya.

Kenapa demikian? Dikarenakan kewajiban memelihara dan mengasuh serta mendidik seorang anak adalah seorang ayah. Seseorang yang kehilangan ayahnyalah disebut yatim, bukan yang kehilangan ibunya. Sebaliknya, kewajiban memelihara dan mengasuh hewan adalah induknya.

Sedangkan pengertian yatim menurut para fuqaha (ahli fikih), adalah seseorang yang kehilangan ayahnya (meninggal) sebelum baligh (mimpi basah). Seseorang tidak lagi dikatakan yatim apabila dia telah sampai usia baligh, sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, “Tidak lagi disebut sebagai anak yatim setelah dia bermimpi basah”.

Dan terkadang kata yatim juga bisa disematkan kepada orang yang telah baligh atau dewasa, akan tetapi tidak mutlak, sebagaimana bangsa Arab dahulu menyebut Rasulullah sebagai yatimnya Abu Thalib. Karena Abu Thalib lah yang telah memelihara dan mengasuh beliau sepeninggal ayahnya. Sebagaimana Allah telah berfirman, artinya, “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka”(QS. an-Nisa: 2).

Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa anak yatim itu tidak dapat menerima harta mereka sebelum mereka dewasa, berakal dan berfikir. Dan setelah mereka baligh, hilanglah sifat yatim dari diri mereka.

Anak yatim dalam al-Quran
Kata yatim telah ‘termaktub’ di dalam ayat-ayat Allah pada al-Qur’an sebanyak dua puluh dua kali, dan barangsiapa yang menelaah dan mentadabburinya, maka dia dapat membagi ayat-ayat tersebut menjadi tiga bagian:
1. Penjabaran berbuat baik, dan berwasiat untuk mereka (di dalam syariat Islam ataupun syariat terdahulu)

Seorang anak yatim, walaupun telah kehilangan figur seorang ayah yang menanggung segala kebutuhan, dan juga kehilangan kasih sayang, perlindungan serta dekapan hangat seorang ayah, akan tetapi tidak kehilangan kasih sayang dari Allahsebagaimana yang telah tercakup dalam syariat. Allah berfirman, artinya,“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin….” (QS. an-Nisa: 36)

Allah juga berfirman, artinya, “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (QS. al-Insan: 8).

Merawat, memelihara dan mendidik anak yatim tidak hanya terdapat pada syariat Nabi Muhammad saja, hal tersebut juga terdapat pada syariat-syariat terdahulu, yaitu perjanjian yang telah Allah ambil dari bani Israil, Allah telah berfirman dalam kitab-Nya, artinya, “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.”(QS. al-Baqarah: 83).

2. Pandangan kejiwaan dan sosial masyarakat

Al-Qur’an juga telah mensyariatkan agar menanggung semua kebutuhan anak yatim, mewasiatkan agar mempunyai sifat lemah lembut dan kasih sayang, serta memberikan pendidikan yang baik, sehingga menjadi pribadi yang shalih, dan tidak terlihat hidup sebatangkara. Nabi Muhammad hidup dan tumbuh sebagai yatim, kemudian Allah menjelaskan bahwa Dialah yang memberi nikmat dan menanggungnya serta memberinya karunia, seperti firman Allah, artinya, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.”(QS. ad-Dhuha 6-8)

Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa untuk memelihara serta mendidik anak yatim supaya tumbuh menjadi pribadi yang baik, bermanfaat bagi umat maka mereka harus menyediakan tempat tinggal yang aman, kebutuhan yang cukup serta pendidikan yang layak, dan hal itu baru bisa terwujud dengan adanya yayasan-yayasan sosial, serta panti asuhan.

Telah banyak ayat-ayat al-Qur’an menjelaskan tentang tanggung jawab memelihara anak yatim dari segi kejiwaan serta sosial masyarakatnya, dan kita dilarang untuk merendahkan, serta menghina kondisi mereka, Allah berfirman,artinya, “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang”(QS. ad-Dhuha: 9)

Sebaliknya Allah telah menghinakan orang-orang yang menghina dan menganggap rendah anak yatim, karena hal itu bukanlah sikap seorang mukmin, Allah berfirman, artinya, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?. Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (QS. al-Ma’un: 1-3)

Dari beberapa ayat di atas diketahui keharusan memuliakan anak yatim, yaitu; menyediakan tempat tinggal, biaya hidup, dan pendidikan yang baik. Bukanlah memuliakan mereka hanya dengan memberinya biaya hidup saja, tetapi juga harus diimbangi dengan pendidikan baik agama maupun sains, dan segala bentuk pemuliaan terhadap mereka.

3. Pemeliharaan hak-hak harta anak yatim

Al-Qur’an telah memberikan perhatian begitu besar dalam menjaga hak-hak anak yatim termasuk hartanya, sehingga tidak diselewengkan, dan disalahgunakan pemanfaatannya, Allah berfirman, artinya, “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,”(QS. al-Baqarah 177), dan beberapa ayat lain yang menjelaskan bahwa mereka juga berhak mendapatkan bagian dari ghanimah (harta rampasan yang diperoleh dari musuh setelah terjadi pertempuran), fai’ (harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa terjadinya pertempuran), bahkan harta warisan kalau seandainya mereka hadir di sana. Allah berfirman, artinya, “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik” (QS. an-Nisa: 8)

Siapakah yang ingin menyia-nyiakan, menghinakan, serta menghardik mereka sungguh ia telah merugi, Rasulullah telah menjanjikan Surga bagi orang yang merawat dan menanggung anak yatim? Beliau bersabda, “Aku dan orang yang menanggung anak yatim akan berada di dalam Surga seperti ini” Beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya serta ada sedikit celah di antara keduanya.” (Muttafaq ‘alaih) dan sabda beliau, “Sebaik-baik rumah kaum muslimin adalah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim dan dia berbuat baik kepadanya, dan seburuk-buruk rumah kaum muslimin adalah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim dan dia berbuat jahat kapadanya” (HR. Ibnu Majah). Wallahu a‘lam bish ash-shawab. (Ustadz Rifki Solehan)

[Sumber: Diterjemahkan secara bebas dari kitab, “Inayatu al-Qur’an al-Karim bi Tarbiyati wa Hukuki al-Yatim (Syamilah),” penulis Sayyid Mukhtar al-Ashariy]