Penulis : Izzudin Karimi

Sebuah bangunan tegak dengan kokoh karena ia ditopang dengan pondasi yang kuat dan mantap. Pondasi bagi bangunan merupakan iman dalam agama. Agama tanpa dasar iman tidak akan tegak dan kebaikan tanpa landasan iman akan sia-sia. Dari sini maka ahli ilmu menyatakan bahwa salah satu syarat sah sebuah amal kebaikan adalah hendaknya pelakunya beriman berdasarkan firman Allah, “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami menjadikannya debu yang beterbangan.” Al-Furqan: 23.

Imam Muslim menulis sebuah bab di Shahihnya, ‘Bab Man Lam Yu’min Lam Yanfahu Amalun Shalih Bab barangsiapa tidak beriman maka amal shalih tidak berguna baginya). Kemudian beliau meriwayatkan hadits Aisyah yang berkata, aku berkata kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, “Rasulullah, Ibnu Jud’an semasa jahiliyah bersilaturrahim dan memberi makan orang miskin, apakah ia berguna baginya?” Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tidak berguna baginya karena dia tidak pernah berkata di suatu hari, ‘Ya Rabbi ampunilah kesalahanku pada Hari Pembalasan.” Maksudnya dia tidak beriman, maka kebaikan yang dilakukannya berupa silaturrahim dan memberi makan fakir miskin tidak berguna baginya, Allah tidak memberikan pahala atasnya.

Hal yang sama terjadi pada Abu Thalib paman Nabi, walaupun dia telah berjasa besar dalam kehidupan Nabi sewaktu beliau belum diangkat sebagai Nabi dan Rasul, juga sesudahnya dalam bentuk pembelaan dan dukungan kepada beliau, namun karena semua itu tak didasari oleh iman kepada Nabi, maka semuanya tak berarti, dia tetap masuk neraka walaupun hanya di bagian paling dangkal darinya sebagaimana dalam hadits Abbas yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Jika memang kedudukan iman adalah demikian maka tidak sekedar layak, akan tetapi harus, bagi seorang muslim untuk mengetahui ilmu iman karena amal-amal kebaikannya bertumpu kepadanya.

Definisi Iman

Orang-orang berbeda pendapat tentang definisi iman, perbedaan ini dipicu oleh hawa nafsu seperti perbedaan ahli bid’ah atau dipicu oleh ijtihad dalam memahami dalil-dalil seperti perbedaan yang terjadi dalam barisan Ahlus Sunnah.

 Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, al-Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, ulama ahli hadits, berpendapat bahwa iman adalah pembenaran dalam hati, pengakuan dengan lisan dan pengamalan dengan anggota badan, inilah pendapat yang benar yang dipegang oleh salaf shalih.

Jumhur Hanafiyah berpendapat seperti apa yang disebutkan oleh ath-Thahawi, bahwa iman dalam pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati. Ath-Thahawi berkata, “Iman adalah pengakuan dengan lisan, pembenaran dengan hati.”

Ada yang berkata, pengakuan dengan lisan merupakan rukun tambahan bukan asli, ini adalah pendapat Abu Manshur al-Maturidi dan jumhur Asy’ariyah. Jadi menurut pendapat ini rukun iman yang utama adalah pembenaran dalam hati, sedangkan pengakuan dengan lisan hanya sebatas tambahan semata.

Karramiyah berpendapat bahwa iman hanyalah pengakuan dengan lisan saja. Al-Jahm bin Shafwan dan Abu al-Hasan ash-Shalihi, salah seorang tokoh Qadariyah berpendapat bahwa iman hanya sekedar pengetahuan dalam hati belaka.

Madzhab Khawarij dan Mu’tazilah berkata, iman adalah ucapan dan perbuatan, hanya saja mereka berlebih-lebihan dalam hal ini, maka mereka berkata siapa yang tidak beramal dengan melakukan dosa besar maka dia telah keluar dari iman, Khawarij memasukkannya ke dalam kekufuran, sedangkan menurut Mu’tazilah dia dalam satu kedudukan di antara dua kedudukan.

Pendapat yang benar

Pendapat yang shahih dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang dipegang oleh salaf shalih dan jumhur Ahlus Sunnah wal Jamaah, pendapat ini ditunjukkan oleh dalil-dalil, di antaranya:

Firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu.” Al-Hujurat: 15. Keragu-raguan ada dalam hati, dinafikannya keragu-raguan dari orang-orang beriman menunjukkan bahwa iman itu dalam hati.

Firman Allah, “Dan Allah tidak menyia-nyiakan imanmu.” Al-Baqarah: 143. Iman dalam ayat ini adalah shalat ke Baitul Maqdis, ia adalah amal perbuatan dan Allah menamakannya iman.

Imam al-Bukhari dan Muslim mereka dari hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda kepada delegasi Abdul Qais, “Aku memerintahkan kalian agar beriman kepada Allah semata. Tahukah kalian apa itu iman kepada Allah? Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata tiada sekutu bagiNya, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan hendaknya kalian memberikan seperlima dari harta rampasan perang.

Dalam hadits ini Rasulullah menafsirkan iman dengan syahadat yang merupakan ucapan, jadi iman adalah ucapan atau kesaksian dengan lisan. Beliau juga menafsirkannya dengan mendirikan shalat dan seterusnya, semua itu adalah amal perbuatan. Wallahu a’lam.

IMAN, SANGGAHAN DAN KOREKSI

Pertama: Pendapat yang berkata bahwa iman hanya sekedar mengucapkan atau pengakuan lisan semata. 

Pendapat ini rusak, karena konsekuensinya adalah bahwa orang-orang munafik adalah orang-orang mukmin dengan iman yang sempurna, karena mereka mengakui iman dengan lisan mereka, padahal Allah jelas-jelas berfirman,

وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ [البقرة/8]

Dan mereka bukanlah orang-orang yang beriman.” Al-Baqarah: 8. Dan Allah berfirman,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ [النساء/145]

Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada di lapisan neraka paling bawah.” An-Nisa`: 145. Karena pendapat ini jelas-jelas rusak, bertabrakan secara nyata dengan dalil-dalil pokok dan mendasar, maka tak perlu berpanjang lebar menguak kerusakannya, sebab ia sudah jelas.

Kedua: Pendapat yang berkata bahwa iman hanya sekedar mengetahui, ini adalah pendapat Jahmiyah dengan kepalanya al-Jahm bin Shafwan.

Pendapat ini lebih jelas kerusakannya daripada yang sebelumnya, karena konsekuensinya bahwa Fir’aun dan kaumnya adalah orang-orang beriman, karena mereka mengetahui kebenaran Musa dan Harun namun mereka tidak beriman kepada keduanya, oleh karena itu Musa berkata kepada Fir’aun, “Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata.” Al-Isra`: 102.

Allah Ta’ala berfirman,

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا [النمل/14]

Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan padahal hati mereka meyakini kebenarannya. ” An-Naml: 14.

Ahli kitab mengetahui Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam sebagaimana mereka mengetahui anak-anak mereka, namun mereka tidak beriman kepada Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam, sebaliknya mereka kafir kepada beliau, memusuhi beliau, hal sama terjadi pada Abu Thalib, menurut pendapat al-Jahm dia adalah mukmin, karena Abu Thalib berkata,

Sungguh aku mengetahui bahwa agama Muhammad
Termasuk agama terbaik bagi umat manusia
Kalau bukan karena takut celaan atau cibiran
Niscaya aku sudah menerima agama itu dengan lapang dada.

Bahkan Iblis menurut al-Jahm adalah mukmin dengan iman yang sempurna, karena Iblis mengetahui Tuhannya, tidak bodoh terhadapnya, “Iblis beliau, ‘Ya Tuhanku, kalau begitu maka beri aku tempo sampai hari manusia dibangkitkan.” Al-Hijr: 36. “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat.” Al-Hijr: 39. “Demi kekuasaanMu, aku akan menyesatkan mereka semuanya.” Shad: 82.

Kekufuran menurut al-Jahm adalah ketidaktahuan terhadap ar-Rabb Ta’ala. Kalau demikian maka tiada yang lebih bodoh terhadap Tuhannya daripada al-Jahm ini, karena dia menjadikan Allah adalah wujud mutlak, membuang segala sifat-sifatNya dan tidak ada kebodohan yang lebih besar dari ini, sehingga dia sendiri kafir oleh ucapannya sendiri.

IMAN KHARIJI DAN MU’TAZILI

Madzhab Khawarij dan Mu’tazilah berkata, iman adalah pengakuan, ucapan dan perbuatan, hanya saja mereka berlebih-lebihan dalam hal ini, mereka berkata siapa yang tidak beramal atau melakukan dosa besar maka dia telah keluar dari iman, Khawarij memasukkannya ke dalam kekufuran, sedangkan menurut Mu’tazilah dia dalam satu kedudukan di antara dua kedudukan.

Dasar yang mereka pegang adalah adalah bahwa iman adalah sesuatu yang utuh yang tidak berbagi, bila bagian darinya lenyap maka ia lenyap seluruhnya. Khawarij dan Mu’tazilah berkata, “Karena dalil-dalil telah menetapkan bahwa amal perbuatan termasuk ke dalam iman, maka orang yang meninggalkan sebagian amal perbuatan berarti meninggalkan iman, karena iman adalah sesuatu yang utuh tidak terbagi, sehingga yang bersangkutan masuk neraka.”

Sanggahan Terhadap Pendapat Mereka

Iman tidak lenyap seluruhnya hanya karena seorang mukmin melakukan dosa besar, artinya dosa besar tidak membuat mukmin kehilangan seluruh imannya, dosanya telah mengurangi kesempurnaan imannya, dengan imannya dia mukmin dan dengan dosanya dia fasik, bukan kafir, di akhirat dia berada di bawah masyi’ah Allah. Jika Allah berkehendak maka Dia mengampuni, jika tidak maka Dia menyiksanya sesuai dengan dosa-dosanya di neraka, setelah itu Dia mengeluarkannya darinya dan tidak menjadikannya kekal.

Banyak dalil baik dari al-Qur`an maupun sunnah yang menetapkan apa yang disebutkan di atas, di antaranya:

Firman Allah, “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya…” (Al-Hujurat: 9)

Allah menamakan dua kubu yang bertikai sebagai orang-orang yang beriman padahal pertikaian bisa membawa kepada peperangan yang di dalamnya adalah saling bunuh dan ini adalah dosa besar, meskipun begitu Allah tetap menyatakan mereka sebagai orang-orang yang beriman. Oleh karena itu Allah memerintahkan kelompok ketiga untuk mendamaikan kedua kubu dan menyatakan bahwa kelompok ketiga ini sebagai saudara bagi dua kubu yang bertikai dan saudara di sini adalah saudara iman.

Firman Allah, “Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (Al-Baqarah: 178).

Dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa pembunuh adalah saudara bagi korban meskipun pembunuhan merupakan dosa besar dan saudara di sini adalah saudara iman. Jadi pembunuh masih dianggap mukmin.

Sabda Nabi saw, “Allah memasukkan penduduk surga ke surga. Dia memasukkan orang-orang yang Dia kehendaki dengan rahmatNya. Dan Dia memasukkan penduduk neraka. Kemudian Allah berfirman, ‘Lihatlah, orang yang engkau dapatkan dalam hatinya iman seberat biji sawi maka keluarkanlah ia.’ Maka dikeluarkanlah mereka dari neraka dalam keadaan hangus terbakar, lalu mereka dilemparkan ke dalam sungai kehidupan atau air hujan, maka mereka tumbuh di situ seperti biji-bijian yang tumbuh di pinggir aliran air. Tidakkah engkau melihat bagaimana ia keluar berwarna kuning melingkar?” (HR. Muslim dan al-Bukhari).

Hadits ini menetapkan dikeluarkannya orang-orang dengan iman paling rendah dari neraka setelah mereka diazab di dalamnya. Orang dengan iman yang demikian adalah pelaku dosa-dosa besar, dikeluarkannya dia dari neraka berarti dia tidak kafir karena jika dia kafir niscaya dia kekal di dalamnya.

Adapun ucapan mereka, “Iman adalah sesuatu yang satu yang tidak terbagi, lenyapnya sebagian darinya berarti lenyapnya seluruhnya.” Maka ia tidak shahih karena perkaranya tidak demikian, hilangnya sebagian iman tidak berarti hilangnya seluruh iman, dalil-dalil di atas membuktikan bahwa iman yang hilang karena berperang dengan sesama muslim dan membunuh muslim hanyalah sebagian saja bukan seluruhnya, buktinya Allah masih menamakan pelakunya beriman.

Memang ada bagian dari iman yang bila ia lenyap maka lenyaplah seluruh iman, yaitu bagian yang bertentangan secara total dengan iman sehingga membuat pelakunya keluar dari iman manakala dia kehilangan bagian ini, hal itu karena iman adalah cabang-cabang sebagaimana dalam hadits Nabi, “Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih yang paling utama adalah ucapan ‘La ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedang rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim).

Hadits di atas menetapkan bahwa cabang iman tertinggi adalah la ilaha illallah, cabang inilah yang bila tidak terwujud atau bila seseorang melakukan apa yang menghancurkannya maka imannya akan hancur. Wallahu a’lam.

IMAN HANAFI

Madzhab ini berkata bahwa iman adalah pembenaran dalam hati dan pengakuan dengan perkataan lisan, sebagaimana telah dijelaskan dan bahwa amal perbuatan bukan termasuk iman, akan tetapi konsekuensi dari iman. 

Di antara dalil-dalil madzhab ini:

1- Kata iman dalam bahasa adalah percaya. Allah berfirman tentang saudara-saudara Yusuf, “وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا [يوسف/17], dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami.” Yusuf: 17.

2- Makna iman secara bahasa yaitu membenarkan atau mempercayai dalam hati adalah yang wajib atas hamba sebagai hak Allah, yaitu seorang hamba mempercayai Rasulullah terkait dengan apa yang beliau bawa dari sisi Allah, barangsiapa membenarkan Rasulullah pada apa yang beliau bawa dari sisi Allah maka dia mukmin antara dirinya dengan Allah, sedangkan pengakuan hanyalah syarat diberlakukannya hukum-hukum Islam di dunia.

3- Iman adalah lawan kufur dan kufur adalah mendustakan dan mengingkari, keduanya ada dalam hati maka apa yang menjadi lawan keduanya juga di dalam hati. Firman Allah,

إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ [النحل/106]

”Kecuali siapa yang dipaksa sementara hatinya tenang dengan imannya.” An-Nahl: 106 menunjukkan bahwa tempat iman adalah hati.

4- Kalau iman tersusun dari kata-kata dan perbuatan niscaya semuanya akan lenyap bila sebagian darinya lenyap.

5- Dalam banyak ayat Allah mengathafkan, mengindukkan amal shalih kepada iman, itu menunjukkan bahwa amal shalih bukan bagian iman karena athaf berarti pembedaan antara ma’thuf (yang diindukkan) dengan ma’thuf alaihi (yang diindukkan kepadanya).

Ini adalah alasan-alasan Hanafiyah yang tidak memasukkan amal ke dalam iman. Sanggahannya akan hadir di makalah sesudah ini. insyaa Alloh. Wallahu a’lam.

 KAJIAN ATAS IMAN HANAFI

Iman dalam madzhab Hanafi tidak mencakup amal perbuatan, dalil-dalil mereka sudah disebutkan di makalah sebelumnya, sekarang kami akan mengkaji dalil-dalil mereka. 

Sanggahan atas Dalil Pertama

Di antara dalil mereka adalah bahwa iman dalam bahasa adalah sama dengan percaya, dan percaya tidak mencakup perbuatan. Dalil ini disanggah dengan:

Pertama: Menolak kesamaan makna antara iman dengan percaya. Siapa yang mengabarkan tentang sesuatu yang nyata atau ghaib, mungkin dikatakan, “Saya percaya kepadanya.” Dan tidak, “Saya beriman kepadanya.” Karena kata iman hanya untuk hal yang ghaib.

Kedua: Dengan asumsi bahwa makna iman dengan percaya adalah sama, maka percaya juga bisa mencakup perbuatan, karena mempercayai tidak sebatas dengan ucapan, tetapi bisa juga dengan perbuatan. Sabda Nabi, “Dua mata berzina dan zina keduanya adalah melihat….Sampai beliau bersabda, “Dan kelamin mempercayai hal itu dan mendustakannya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari 6243 dan Muslim 2657. Kelamin mempercayai adalah dengan perbuatan nyata yaitu zina dalam arti berhubungan badan yang haram.

Sanggahan atas Dalil Kedua

Rasulullah telah menjelaskan kepada kita tentang makna-makna iman, beliau mengajari kita secara mendasar bahwa siapa yang percaya dalam hatinya namun tidak mengucapkan dengan lisan padahal dia mampu untuk itu, tidak shalat, tidak pusa, tidak menyintai karena Allah dan RasulNya, tidak takut kepada Allah, sebaliknya dia membenci Rasulullah, memerangi dan memusuhi Rasulullah, bahwa dia bukan mukmin, sebagaimana beliau telah menyampaikan kepada kita bahwa keberuntungan dan keselamatan dunia dan akhirat bergantung kepada pengucapan dua kalimat syahadat disertai keikhlasan dan mengamalkan tuntutan keduanya.

Sanggahan atas Dalil Ketiga

Iman adalah lawan kufur dan kufur bukan hanya dengan mendustakan dan mengingkari semata, seandainya seseorang berkata kepada Rasulullah, “Aku tahu bahwa engkau benar, aku tidak mendustakanmu dan tidak mengingkarimu, tetapi aku tidak mau mengikutimu, aku membencimu, memusuhimu dan memerangimu.” maka orang ini, walaupun dia membenarkan dan mengakui, adalah kafir bahkan kekufurannya lebih besar, dari sini diketahui bahwa iman bukan sekedar percaya atau membenarkan semata, sebagaimana kufur bukan sekedar mendustakan semata. Bila kufur bisa dengan mendustakan, bisa dengan menyelisihi, bisa dengan memusuhi, maka iman bisa dengan membenarkan, bisa dengan menaati dan bisa dengan ketundukan, dan semua itu adalah perbuatan.

Di samping itu, anggota badan yang tidak taat menunjukkan bahwa hati juga tidak taat, seandainya hati taat dan tunduk, niscaya anggota badan juga akan taat dan tunduk, lalu bagaimana hati bisa dikatakan beriman bila ia tidak terlihat pada anggota badan? Sementara Nabi bersabda, “Sesungguhnya pada jasad ada seonggok daging yang bila ia baik maka baiklah anggota badan, bila rusak maka rusaklah anggota badan, ia adalah hati.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari 52 dan Muslim 1599.

Sanggahan atas Dalil Keempat

Anggapan bahwa bila amal perbuatan termasuk iman maka bila sebagian dari iman lenyap maka seluruhnya akan lenyap, maka ia disanggah dengan sanggahan yang sama terhadap pendapat Khawarij dan Mu’tazilah. Bahwa ia tidak shahih karena perkaranya tidak demikian, hilangnya sebagian iman tidak berarti hilangnya seluruh iman, ayat al-Qur`an menetapkan bahwa iman yang hilang karena berperang dengan sesama muslim dan membunuh muslim hanyalah sebagian saja bukan seluruhnya, buktinya Allah masih menamakan pelakunya beriman.

Memang ada bagian dari iman yang bila ia lenyap maka lenyaplah seluruh iman, yaitu bagian yang bertentangan secara total dengan iman sehingga membuat pelakunya keluar dari iman manakala dia kehilangan bagian ini, hal itu karena iman adalah cabang-cabang sebagaimana dalam hadits Nabi, “Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih yang paling utama adalah ucapan ‘La ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedang rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim).

Hadits di atas menetapkan bahwa cabang iman tertinggi adalah la ilaha illallah, cabang inilah yang bila tidak terwujud atau bila seseorang melakukan apa yang menghancurkannya maka imannya akan hancur.

Sanggahan atas Dalil Kelima

Amal shalih diathafkan kepada iman, hal ini menunjukkan bahwa keduanya berbeda. Dalil ini disanggah dengan mengatakan, diathafkannya sesuatu kepada sesuatu menunjukkan bahwa keduanya berbeda namun keduanya masih terikat oleh hukum yang sama. Misalnya, “Hasan dan Husain datang.” Berarti Hasan bukan Husain, namun keduanya sama-sama datang. Perbedaan di antara keduanya memiliki beberapa tingkatan:

Pertama: Keduanya sama sekali berbeda, salah satunya bukan yang lain, bukan bagian darinya dan tak ada keterkaitan di antara keduanya. Allah berfirman, ”Allah menciptakan langi dan bumi.” Al-An’am: 1.

Kedua: Di antara keduanya ada keterkaitan. Allah berfirman, ”Janganlah kamu mengaburkan kebenaran dengan kebatilan dan jangan menyembunyikan kebenaran sementara kamu mengetahui.” Al-Baqarah: 42.

Ketiga: Salah satunya adalah bagian dari yang lain. Allah berfirman, “Jagalah shalat-shalat dan shalat wustha.” Al-Baqarah: 238. Shalat wustha diathafkan kepada shalat-shalat, padahal ia adalah bagian darinya, karena shalat wustha adalah shalat Ashar sebagaimana dalam beberapa hadits shahih.

Keempat: Sesuatu diathafkan kepada sesuatu karena perbedaan sifat keduanya, Allah berfirman, ”Yang mengampuni dosa dan menerima taubat.” Ghafir: 3.

Bila athaf dalam perkataan memiliki sisi-sisi di atas, maka kita melihat perkataan peletak syariat, bagaimana peletak syariat menggunakan kata iman, kita mendapati bahwa bila kata iman hadir secara mutlak maka ia semakna dengan kata al-birr, at-takwa, ad-din dan al-Islam.

Imam al-Bukhari dan Muslim mereka dari hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda kepada delegasi Abdul Qais, “Aku memerintahkan kalian agar beriman kepada Allah semata. Tahukah kalian apa itu iman kepada Allah? Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata tiada sekutu bagiNya, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan hendaknya kalian memberikan seperlima dari harta rampasan perang.

Sudah dimaklumi bahwa amal-amal perbuatan di atas bukan merupakan iman kepada Allah tanpa iman hati, karena dalil-dalil lain menetapkan bahwa iman hati adalah keharusan, maka diketahui bahwa perbuatan-perbuatan di atas bersama iman hari adalah iman. Sebuah dalil yang sangat jelas yang menunjukkan bahwa amal perbuatan merupakan iman, karena Nabi menafsirkannya demikian tanpa menyinggung membenarkan. Wallahu a’lam.

ANTARA IMAN HANAFI DENGAN IMAN PARA IMAM

Perbedaan antara iman Hanafi dengan iman para imam terletak pada amal perbuatan, iman Hanafi tidak memasukkannya ke dalam iman, sementara imam-imam lain memasukkannya. Sejauh mana dampak perbedaan di antara mereka? Pensyarah Thahawiyah, Ibnu Abdul Izz al-Hanafi memandang bahwa perbedaan di antara mereka adalah perbedaan shuri, lafzhi, perbedaan bungkus atau cover saja. Beliau berkata, “Perbedaan di antara Abu Hanifah dengan para imam yang lain dari Ahlus Sunnah adalah perbedaan shuri.” 

Tetapi ada sebuah mulahazhah, pengkajian dari Syaikh Abdul Akhir Hammad al-Ghunaimi dalam al-Minhah al-Ilahiyah fi Tahdzib Syarh ath-Thahawiyah di mana beliau menjelaskan bahwa perbedaan di antara Abu Hanifah dengan imam-imam lainnya memiliki dampak yang bukan sekedar bungkus.

Syaikh Abdul Akhir menjelaskan bahwa bila ditilik dari sisi hukum terhadap mukmin pelaku dosa besar, maka perbedaan hanya sebatas perbedaan shuri lafzhi, karena kedua kubu sepakat tidak mengkafirkan pelaku dosa besar dan tidak menetapkannya kekal di dalam neraka. Kepada makna inilah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dibawa, bahwa kebanyakan perbedaan dalam masalah ini adalah perbedaan lafzhi.

Syaikh Abdul Akhir menjelaskan, namun bila ditilik dari seluruh sisinya, maka diketahui bahwa perbedaan di antara mereka tidak sebatas lafzhi shuri, ternyata lebih dari itu. Syaikh Abdul Akhir menukil ucapan Syaikh Bin Baz yang berkata, “Mengeluarkan amal perbuatan dari iman adalah pendapat Murji`ah, khilaf di antara mereka dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah bukan khilaf lafzhi, akan tetapi lafzhi dan maknawi, berdampak kepada hukum-hukum yang banyak, siapa yang merenungkan ucapan Ahlus Sunnah dan pendapat Murji`ah maka dia akan mengetahuinya.”

Syaikh Abdul Akhir menjelaskan, di antara dampak khilaf di antara Imam Abu Hanifah dan imam-imam lainnya dalam masalah ini adalah:

Pertama: Pendapat yang mengeluarkan amal perbuatan dari iman menyeret kepada pendapat bahwa barangsiapa sama sekali tidak beramal maka dia tidak kafir, sebaliknya Ahlus Sunnah melihat bahwa dia kafir.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa berkata iman yang wajib diraih tanpa melakukan kewajiban apa pun, baik dia menjadikan kewajiban itu sebagai tuntutan iman atau bagian darinya, ini adalah khilaf lafzhi, maka dia sangat keliru sekali, ini adalah bid’ah Murji`ah di mana salaf dan para imam berkata berat terkait para pengucapnya, mereka mengucapkan kata-kata yang keras sebagaimana sudah dimaklumi.”

Kedua: Pendapat yang mengeluarkan amal perbuatan dari iman menyeret kepada pendapat tidak ada perbedaan di antara orang-orang beriman dalam iman mereka, ini adalah pendapat yang batil menyimpang dari akidah salaf.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Murji`ah berkata bahwa iman manusia adalah sama, tidak diragukan bahwa pendapat mereka ini termasuk kesalahan yang fatal, bahkan orang-orang tidak sama dalam membenarkan, dalam cinta, dalam takut dan dalam ilmu, padahal mereka dalam semua itu berbeda-beda dari banyak sisi. Mengeluarkan amal perbuatan dari iman mengisyaratkan bahwa mereka juga mengeluarkan amal perbuatan hati, ini batil secara pasti, karena barangsiapa membenarkan Rasulullah tetapi dia membenci dan memusuhi beliau dengan hati dan badannya maka dia kafir, bila mereka memasukkan amal perbuatan hati ke dalam iman maka mereka juga salah karena tidak mungkin iman berdiri dalam hati tanpa ada gerakan badan.”

Ketiga: Karena Hanafiyah mengeluarkan amal perbuatan dari iman, maka mereka melarang ucapan, “Saya mukmin insya Allah.” Alasan mereka, karena iman adalah sesuatu yang satu, tidak bertambah dan tidak berkurang, maka insya Allah menunjukkan keraguan dan keraguan melenyapkan iman, padahal salaf shalih membolehkan ucapan ini dari satu sisi dan melarang dari sisi yang lain. Wallahu a’lam. Dan masalah saya mukmin insya Allah akan diperjelas pada makalah berikutnya insya Allah.

SAYA MUKMIN INSYA ALLAH

Iman adalah keyakinan yang bersifat pasti, tidak menerima keraguan, di sisi lainnya, seseorang tidak mengetahui apa yang terjadi padanya di kemudian hari, maka bolehkah seseorang berkata, “Saya mukmin insya Allah?” Mengembalikan imannya kepada kehendak Allah.

Dalam masalah ini ada tiga kelompok pendapat, dua berseberangan dan satu di tengah. Kelompok mengharuskan. Kelompok melarang. Kelompok membolehkan dengan pertimbangan dan melarang dengan pertimbangan.

Kelompok yang Mengharuskan

Kelompok ini memiliki dua alasan:

Pertama, Iman yang benar-benar iman adalah iman di mana seseorang mati di atasnya, manusia di sisi Allah mukmin atau kafir adalah pada saat dia mati, boleh jadi sekarang dia mukmin namun dia mati di atas kufur, sebagaimana boleh jadi sekarang dia kafir namun dia mati di atas iman, jadi yang dianggap adalah keadaan di mana seseorang mati di atasnya dan sebelum ia tiba, tak seorang pun bisa memastikan, karenanya harus dikembalikan kepada kehendak Allah dengan ucapan, “Insya Allah.”

Kedua, Iman mutlak adalah melaksanakan segala apa yang Allah perintahkan dan menjauhi segala apa yang Allah larang, bila seseorang berkata, “Saya mukmin.” dan maksudnya adalah di atas, maka dia mengakui dirinya termasuk orang-orang beriman dengan iman yang mutlak, wali-wali Allah yang dekat kepadanya, hal ini termasuk tazkiyah, menyucikan diri, padahal, فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ , jangan mengatakan dirimu suci.” An-Najm: 32.

Kelompok yang Melarang

Kelompok beralasan bahwa mengucapkan, “Saya mukmin insya Allah.” menunjukkan keraguan dan ketidakpastian, padahal iman tidak menerima hal ini, karena Allah berfirman, “ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا , kemudian mereka tidak ragu-ragu.” Al-Hujurat: 15. Barangsiapa mengembalikan imannya kepada kehendak Allah maka dia sendiri meragukannya dan hal ini bertentangan dengan iman itu sendiri.

Kelompok yang Membolehkan dan Melarang

Membolehkan dengan pertimbangan dan melarang dengan pertimbangan. Bila maksud, “Saya mukmin insya Allah.” adalah keraguan dan ketidakpastian terhadap imannya maka ucapan di atas tidak boleh. Bila maksudnya adalah bahwa dia termasuk orang-orang beriman dengan iman yang sempurna, atau karena tidak mengetahui masa depan, atau karena memulangkan perkara kepada kehendak Allah bukan karena ragu, maka ucapan di atas boleh.

Kelompok akhir ini adalah kelompok tengah, paling berbahagia dengan dalil kedua kelompok sebelumnya, mengambil kebenaran pada kelompok pertama dan kebenaran pada kelompok kedua dan menyelaraskan keduanya, pendapat mereka adalah yang paling shahih. Wallahu a’lam.