nasikhDalam masalah naskh, manusia terbagi atas empat golongan:

1. Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurut mereka, naskh mengandung konsep al-bada’, yakni muncul setelah tersembunyi. Maksudnya mereka adalah, naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dani ini pun mustahil pula bagi-Nya.

Cara berdalil mereka ini tidak dapt dibenarkan, sebab masing-masing hikmah nasikh dan mansukh telah diketahui oleh Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari satu hukum ke hukum yang lain adalah karena sesuatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolute terhadap segala milik-Nya.

Orang Yahudi sendiri mengakui bahwa syari’at Musa menghapuskan syari’at sebelumnya. Dan dalam nash-nash Taurat pun terdapat naskh, seperti pengharaman sebagian besar binatang atas Bani Israil, yang semula dihahkan. Berkanaan dengan mereka Allah berfirman,

“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Nabi Ya’kub) untuk dirinya sendiri,” (Ali ‘Imran: 93)

Juga ayat: “Dan kepada orang-orang Yahudi Kami haramkan segala binatang yang berkuku.” (al-An’am: 146).

Ditegaskan dalam Taurat, bahwa Adam menikahkan anak laki-lakinya dengan saudara perempuannya. Tetapi kemudian Allah mengharamkan pernikahan demikian atas Musa, dan Musa memerintahkan Bani Israil agar membunuh siapa saja di antara mereka yang menyembah patung anak sapi namun kemudian perintah ini dicabut kembali.

2. Kalangan Syi’ah Rafidhah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh, bahkan memperluas lingkupnya. Mereka memandang konsep al-bada’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka kontradiktif dengan orang Yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan ucanam yang mereka nisbahkan kepada Ali radhiyallahu ‘anhu secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah:
“Allah menghapur apa yang ia kehendaki dan menetapkan (apa yang Ia kehendaki).” (Ar-Ra’d: 39), maknanya, Allah senantiasa bisa untuk menghapuskan dan menetapkan.

Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap Al-Qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah Allah menghapuskan sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantiannya jika penetapannya mengandung maslahat. Di samping itu penghapusan dan penetapan terjadi dalam banyak hal, misalnya menghapuskan keburukan dengan kebaikan:
“Sesungguhnya pebuatan-perbuatan yang baik itu dapat menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114). Juga penghapusan kekafiran dan kemaksiatan orang-orang yang bertaubat dengan taubatnya, serta penetapan iman dan ketaatan mereka. hal demikian ini tidak menuntut adanya kejelasan yang didahului kekaburan bagi Allah. Tetapi Ia melakukan itu semua berdasarkan pengetahuan-Nya tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi.

3. Abu Muslim Al-Asfahani. Menurutnya, secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi menurut syara’, tidak. dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi naskh dalam Al-Qur’an berdasakan firman-Nya,

“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari sisi Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushlat: 42). Hukum-hukum Al-Qur’an menurutnya, tidak akan dibatalkan untuk selamanya. Dan ia menjadikan ayat-ayat tentang naskh, sebagai ayat-ayat tentang takhshish(pengkhususan).

Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat diterima, karena makna ayat tersebut ialah, bahwa Al-Qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.

4. Jumhur ulama. Mereka berpendapat, nashk adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam huku-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:

a. Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dia-lah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.

b. Nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan terjadinya, antara lain:

a). Firman Allah:

“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain…” (An-Nahl: 101)

“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau Kami lupakannya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.” (Al-Baqarah: 106).

b). Dalam sebuah hadits shahih, dari Ibnu Abbas, Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Yang paling paham dan paling menguasai Al-Qur’an di antara kami adala Ubay. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: ‘Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,’ padahal Allah telah berfirman: ‘Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau Kami melupakannya…’ (Al-Baqarah: 106)

Sumber: Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,Syaikh Manna’ Al-Qaththan,Pustaka al-Kautsar, Hal. 288-291