علوم القرآنKhash (khusus) adalah lawan kata ‘am, karena ia tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa pembatas. Takhshish adalah mengeluarkan sebagian apa yang dicakup lafadz ‘am. Dan mukhashsish (yang mengkhususkan) terkadang muttashil (antara ‘am dengan mukhashsish tidak dipisah) oleh sesuatu hal, tetapi juga ada kalanya munfashil, kebalikan dari muttashil.

Muttashil ada lima macam:

a) Istitsna’ (pengecualian), seperti dalam “Walladzina yarmunal muhshanati tsumma lam ua’tu bi arba’ati syuhadaa’a fajliduuhum tsamanina jaldatan wala taqbalu lahum syahadatan abada wa ulaa’ika humul fasiqun, illalladzina tabu….” (An-Nur: 4-5) dan “Innama jazaa’ulladzina uharibunallaha wa rasulahu wa yas’auna fil ardhi fasadan an yuqtalu aw yushallabu aw tuqaththa’a aydihim wa arjulahum min khilafin aw yunfau minal ardh. Dzalika lahum khizyun fid dunya wa lahum fil akhirati ‘adzabun ‘azhim, illalladzina tabu min qabli an taqdiru ‘alaihim” (Al-Maa’idah: 33-34)

b) Menjadi sifat, misalnya dalam “Wa rabaa’ibukumul-lati fi hujurikum min nisaa’ikumul-lati dakhaltum bihinna” (An-Nisa: 23). Lafadz “Allati dakhaltum bihinna” adalah sifat bagi lafadz “nisa’ikum” maksudnya, anak perempuan istri yang telah digauli itu haram dinikahi oleh suami, dan halal bila belum menggaulinya

c) Menjadi syarat, misalnya dalam “Kutiba ‘alaikum idza hadhara ahadakumul mautu in taraka khaeran al-washiyyatu lil walidaini wal aqrabina bil ma’ruf haqqan ‘alal muttaqin” (Al-Baqarah: 180). Lafadz “In taraka khairan” yakni meninggalkan harta adalah syarat dalam wasiat. Contoh lain dalam “Walladzina yabtaghunal kitaba mimma malakat aymanukum fakatibuhum in ‘alimtum fihim khaira” (An-Nur: 33), yakni mengetahui adanya kesanggupan untuk membayar atau kejujuran dan penghasilan.

d) Sebagai ghayah (batas sesuatu), seperti dalam “Wala tahliqu ru’usakum hatta yablughal hadyu mahillah” (Al-Baqarah: 196 dan 222).

e) Sebagai badal ba’dh min kull (pengganti sebagai dari keseluruhan). Misalnya dalam “Wa lillahi ‘alan-nasi hijjul baiti manistatha’a ilaihi sabila” (Ali-Imran: 97). Lafadz “Man istatha’a” adalah badal dari “An-nas” maka kewajiban haji hanya khusus bagi mereka yang mampu.

Adapun mukhashish munfashil adalah mukhashish yang terdapat di tempat lain, baik ayat, hadits, ijma’, ataupun qiyas. Contoh yang ditakhsish oleh Al-Qur’an ialah “Wal muthallaqatu yatarobbashna bi anfusihinna tsalatsata quru” (Al-Baqarah: 228). Ayat ini adalah beersifat umum, mencakup setiap istri yang dicerai, baik dalam keadaan hamil maupun tidak, sudah digauli maupun belum. Tetapi keumuman ini ditakhsish oleh ayat “Wa ulatul ahlami ajaluhunna an yadha’na hamlahunn” (Ath-Thalaq: 4), dan “Idza nakahtumul mu’minati tsuma thallaqtumuhunna min qabli tamassuhunna fama lakum ‘alaihinna min ‘iddah” (Al-Ahzab: 49).

Beberapa dalil yang ditakhsish oleh hadits ialah seperti “Wa ahallallahul bai’a wa harramar riba” (Al-Baqarah: 257). Ayat ini ditakhsis oleh jual beli yang fasid sebagaimana dalam sejumlah hadits. Antara lain disebutkan dalam kitab shahih al-Bukhari, dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengambil upah dari air mani kuda jantan.”

Juga dalam Ash-Shahihain diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli janin binatang yang masih dalam kandungan, seperti tradiso jual beli oernag jahiliyah. Biasanya seseorang membeli seekor onta sampai onta itu dilahirkahn, kemudian anaknya itu beranak pula. (Lafazh hadits Al-Bukhari). Dan lain-lainnya.

Tentang jual-beli jenis riba ‘araya, ada dispensasi, yakni menjual korma basah yang masih di pohon denga korma kering. Jual beli ini dibolehkan oleh Sunnah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah memberi keringanan untuk jual beli arayah dengan ukuran yang sama jika kurang dari lima wasaq. (Muttafaq Alaih)

Contoh ‘am yang ditakhsis oleh ijma’ adalah ayat tentang warisan, seperti “Yushikumullahu fi auladikum lidz-dzakari mitslu hazhzhil untsayain” (An-Nisa: 11). Berdasarkan ijma’, budak tidak mendapat warisan karena sifat budak merupakan factor penghalang hak waris.

Sedangkan yang ditakhsis oleh qiyas adalah ayat tentang zina dalam “Az-zaniyatu waz zni fajlidu kulla wahidin minhuma mi’atajaldah” (An-Nur: 2). Budak laki-laki ditakhsiskan dengan cara diqiyaskan kepada budak perempuan. Pentakhsisannya ditegaskan dalam “Fa ‘alaihinna nishfu ma ‘alal muhshanati minal ‘adzab” (An- Nisa: 25)

Sumber: Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an/Syaikh manna’ Al-Qaththan/Pustaka al-Kautsar/hal: 278