al-ijmaa3Sebagian kalangan mengingkari ijma’. Mereka berkata, “Tidak mungkin terjadi, alih-alih sebagai hujjah.” Mereka mengingkarinya dengan beberapa syubhat:

Pertama, ahli ijtihad berjumlah banyak tersebar di berbagai negeri, sebagian dari mereka tidak diketahui, maka sulit membayangkan mereka bisa bersepakat.

Jawaban atasnya, ahli ijtihad di setiap zaman tidak banyak, minoritas, mungkin diketahui, mereka dikenal oleh kaum muslimin karena kaum muslimin memerlukan mereka, mereka dikenal dengan kesungguhan mereka dalam menjelaskan hukum-hukum syar’i ke masyarakat, bila ada satu dua yang tidak diketahui, maka hal tersebut tidak bermasalah.

Kedua, bila diasumsikan ijma’ terwujud, maka untuk mengetahuinya sulit, dengan alasan di atas, di samping adanya kemungkinan tidak diketahuinya sebagian mujtahid atau ketakutannya terhadap pemimpin atau dia menarik pendapatnya dari kesepakatan.

Jawaban, semua kemungkinan di atas hanya sebatas kemungkinan yang tidak kuat untuk menolak ijma’ sebagai hujjah yang ditetapkan oleh dalil-dalil syar’i.

Madzhab Ahli Zhahir

Dawud azh-Zhahiri dan Ibnu Hazm hanya mengakui ijma’ para sahabat Rasulullah saja, ijma’ hanya khusus dari mereka.

Jawaban, para sahabat adalah bagian umat, bahkan mereka adalah umat terbaik, ijma’ mereka adalah ijma’ terbaik dan terkokoh, namun hal ini tidak berarti bahwa sesudah mereka tidak ada ijma’, karena dalil-dalil yang menetapkan ijma’ tidak membatasinya hanya pada mereka saja.

Imam Ahmad dan Ijma’

Pendapat yang mengingkari ijma’ dinisbatkan kepada Imam Ahmad, diriwayatkan dari beliau bahwa beliau berkata, “Barangsiapa mengklaim ijma’ maka dia dusta.”

Ibnul Qayyim mengarahkan maksudnya, kata beliau, “Maksud Ahmad bukan mengingkari adanya ijma’, tetapi Ahmad dan para imam hadits berhadapan dengan orang-orang menentang sunnah shahih dengan kesepakatan masyarakat untuk menyelisihinya…” Jadi ijma’ yang diingkari oleh Imam Ahmad adalah kesepakatan orang-orang untuk meninggalkan sunnah yang shahih.

Atau dikatakan, Imam Ahmad tidak mengingkari ijma’, beliau hanya merasa sulit memastikan adanya ijma’ sesudah sahabat, karena para ulama sudah betebaran di berbagai negeri, maka lebih baik diucapkan, “Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Ijma’ yang diketahui adalah ijma’ para sahabat, adapun sesudahnya, maka secara umum sulit, karena itu para ulama berbeda pendapat tentang ijma’ yang disebutkan sesudah para sahabat.” Beliau berkata di lain tempat, “Ijma’ yang akurat terakomodir adalah apa yang disepakati oleh salaf, karena sesudah mereka banyak terjadi perbedaan pendapat dan umat telah menyebar.”

Manhajul Istidlal ala Masa`il al-I’tiqad inda Ahlus Sunnah wal Jamaah, Utsman bin Ali Hasan.