Kata benda menunjukkan makna tsubuut (tetap) dan istimraar (terus-menerus/kontinyu), sedangkan kata kerja menunjukkan makna tajaddud (sesuatu yang berulang-ulang/berganti baru) dan huduuts (terjadi setelah sebelumnya tidak ada). Dan masing-masing dari keduanya memiliki tempat (posisi) yang tidak bisa/cocok ditempati oleh selainnya. Sebagai contoh misalnya, datang ungkapan (penyampaian makna) dalam masalah nafkah dengan menggunakan kata kerja, seperti dalam firman-Nya:

الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ … {134}

” (yaitu) Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit…” (QS. Ali ‘Imraan: 134)

Lafazh يُنفِقُونَ adalah kata kerja. Dan dalam ayat di atas tidak menggunakan kata benda الْمُنْفِقُوْنَ.

Dan datang ungkapan (penyampaian makna) dalam masalah iman dengan menggunakan kata benda, seperti dalam firman-Nya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ… {15}

” Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya…” (QS. Al-Hujuraat: 15)

Lafazh الْمُؤْمِنُوْنَ adalah kata benda.

Hal itu karena nafkah adalah perkara yang berkaitan dengan perbuatan, keadaannya huduuts (terjadi pada waktu-waktu tertentu) dan tajaddud (terus berulang-ulang), berbeda dengan keimanan, maka ia memiliki hakekat yang tegak bersamaan dengan keberadaan sesuatu yang menjadi keharusannya (konsekwensinya).

Dan yang dimaksud dengan Tajaddud pada masa lampau adalah terjadinya hal tersebut secara bergantian, dan pada masa kini atau yang akan datang adalah bahwa keadaan hal (peristiwa) tersebut berulang-ulang, dan terjadi secara bergantian, dan penyembunyian kata kerja (kata kerja tidak ditampakkan) dalam hal ini sama seperti penampakkannya.

Oleh sebab itu mereka (para ulama Ahli) berkata:”Sesungguhnya salam yang diusapkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam lebih mendalam maknanya (lebih tegas) dibandingkan salam Malaikat dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلاَمًا…{25}

“Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan:”Salaman”,….”(QS. Adz-Dzaariyaat: 25)

Maka kata “Salaaman”, ia manshub sebagai mashdar (kata dasar) yang menggantikan posisi kata kerjanya. Dan aslinya adalah:“Nusallimu ‘alaika Salaaman” (Kami mengucapkan salam kepadamu dengan sebuah ucapan salam). Dan ungkapan ini menunjukkan munculnya salam dari mereka (setelah sebelumnya tidak ada), berbeda dengan balasan Ibrahim ‘alaihissalam:

… قَالَ سَلاَمٌ … {25}

“…Ibrahim menjawab:”salamun” …”(QS. Adz-Dzaariyaat: 25)

Maka jawaban ini beralih (dari manshub) ke marfu’ (dengan dhammah) dengan posisi sebagai mubtada’ (subyek) dengan khabar (predikat) yang dihapus. Dan maknanya adalah:” ‘Alaikumussalaam (Semoga salam tetap tercurah atas kalian).” Untuk menunjukkan tetapnya (kontinyu) salam. Seolah-olah Ibrahim ‘alaihissalam bermaksud untuk membalas ucapan selamat mereka dengan ucapan yang lebih baik, sebagai pengamalan dari adab yang diajarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَآ أَوْ رُدُّوهَآ … {86}

” Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). …”(QS. An-Nisaa’: 86)

Dan hal itu juga salah satu bentuk penghormatan Ibrahim ‘alaihissalam kepada mereka.

(Sumber:مباحث في علوم القرآن karya Syaikh Manna’ al-Qaththaan rahimahullah, cet. Maktab al-Ma’arif, Riyadh hal. 209-210. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)