kriAtsar-atsar yang terdapat pada tingkatan kedua (masa para sahabat Nabi) dari Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu, Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan Ibnu Mas’udradhiyallahu ‘anhu, semunya berkaitan dengan pengingkaran terhadap sekelompok kalangan Tabi’in yang beralih dari bertasbih dengan jari-jari tangan kepada bertasbih dengan batu-batu kerikil. Terlebih-lebih atsar yang shahih dari kesemua atsar tersebut, yaitu atsar dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Semua atsar tersebut menjelaskan adanya gejala peralihan bertasbih dengan batu-batu kerikil atau biji-bijian, serta penging-karan para sahabat terhadap tindakan mereka. Di dalam periode ini terdapat kisah-kisah tentang pengingkaran. Apa yang akan saya sebutkan sepintas adalah bagian dari kisah-kisah yang dimuat di dalam berbagai pengetahuan umum dan sejarah. Akan tetapi, keba-nyakan kisah-kisah tersebut tentang biji-bijian dan yang sejenisnya yang sudah dirangkai, sebagaimana akan dijelaskan pada pemba-hasan: “Tahapan menghitung bacaan dzikir dengan alat tasbeh.” Di antara kisah-kisaha tersebut adalah:

Kisah Abdul malik bin Hilal al-Hana’i
Al-Jahizh (w. 255 H) di dalam kitabnya “al-Bayân wa at-Tabyîn” (3/228), dan Ibnu Qutaibah (w. 276 H) di dalam “’Uyûn al-Akhbâr” (2/59), menyebutkan, “bahwasanya Abdulmalik bin Hilal al-Hana’i mempunyai zanbîl (sebuah wadah/kantong) yang berisi batu-batu kerikil, lalu dia menghitung satu bacaan tasbîh dengan satu butir kerikil. Namun, jika ia jenuh dengan hal itu ia membuang batu kerikil tersebut dua-dua, lalu tiga-tiga. Lalu, jika ternyata ia jenuh juga, maka ia menggenggam satu genggaman batu kerikil dan meng-ucapkan: “Maha suci Allah sejumlah kerikil yang ada di dalam geng-gaman ini.” Lalu jika dia punya keperluan mendesak dan dia terburu-buru, maka dia melirik ke arah zanbil (bungkusan kerikil) tersebut sejenak dan mengucapkan: “Maha suci Allah sejumlah batu kerikil yang ada di dalamnya.”( Lihat komentar ‘Ubud asy-Syalanji (muhaqqiq) terhadap kitab “Nisywar al-Muhadharah”, (5/29).)